Implementasi kecerdasan buatan dan blockchain untuk mengatasi krisis pangan
By Stania Puspawardhani
Ketahanan pangan merupakan isu yang menjadi perhatian para pemimpin dunia dan mendominasi forum global yang berlangsung pada bulan November kemarin. Setidaknya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang berlangsung di Bali dan Konferensi Perubahan Iklim COP27 yang berlangsung di Sharm el-Sheikh. Keduanya menghasilkan kesepakatan strategis di bidang pangan.
Krisis pangan dunia menjadi perhatian utama para pemimpin dunia dalam konferensi global G20 di Bali dan COP27 UNFCCC di Sharm el-Sheikh. Foto: Canva
Dalam Deklarasinya, para pemimpin G20 menekankan mengenai ketahanan pangan dalam enam butir utama diantara total 51 butir pernyataan, yaitu pada butir 5, 6, 7, 8, 9 dan 10.
Pada butir 5, para pemimpin G20 berseru untuk “mengambil tindakan dalam meningkatkan keamanan pangan dan energi serta menjaga stabilitas pasar, menyediakan dukungan sementara untuk melindungi dari dampak kenaikan harga pangan, meningkatkan dialog antara produsen dan konsumen, meningkatkan perdagangan dan investasi untuk kebutuhan jangka panjang pangan dan energi, serta sistem pangan, pupuk dan energi yang lestari.”
Negara-negara anggota G20 mendukung pelaksanaan Global Agriculture and Food Security Program dan inisiatif global, regional serta nasional untuk menjaga ketersediaan pangan. Perhatian khusus diarahkan kepada perkembangan yang telah dilaksanakan oleh Sekjen PBB dalam Global Crisis Response Group on Food, Energy and Finance.
Yang tak kalah penting adalah mengintegrasikannya dengan Deklarasi Matera yang dicanangkan tahun lalu oleh menteri-menteri luar negeri dan pembangunan anggota G20 di Italia. Deklarasi tersebut bertujuan untuk mengatasi krisis pangan dunia dan mengakhiri kelaparan dalam satu dekade. Upaya yang dilakukan antara lain mencakup adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, menghentikan kepunahan biodiversitas, diversifikasi pangan serta menguatkan rantai nilai pangan untuk mengurangi mubazir pangan.
Selain itu, para pemimpin G20 juga sepakat untuk mengimplementasikan konsep “One Health”, yaitu sebuah upaya kolaboratif dari berbagai sektor di tingkat lokal, nasional, maupun global untuk mencapai kesehatan yang optimal. Riset pangan serta kapasitas pemangku kepentingan sepanjang rantai pasok pangan juga akan ditingkatkan, utamanya dari pihak perempuan, pemuda serta petani dan nelayan yang termajinalkan.
Pada butir 8, negara-negara anggota G20 menyambut dua Perjanjian Istanbul yang dimediasi oleh Turki dan PBB pada tanggal 22 Juli 2022 mengenai “Inisiatif Transportasi Aman untuk Pangan dan Gandum dari Pelabuhan Ukraina” yang lebih dikenal sebagai Inisiatif Gandum Laut Hitam) serta “Nota Kesepahaman antara Rusia dan PBB dalam Mempromosikan Produk Pangan dan Pupuk Rusia ke Pasar Dunia”.
Inisiatif lain yang digagas berbagai pihak seperti Lajur Solidaritas Uni Eropa, Inisiatif Arab Coordination Group serta donasi pupuk Rusia melalui Program Pangan Dunia turut diapresiasi. Selain itu G20 juga akan membangun Sistem Informasi Pasar Pertanian atau AMIS yang akan digunakan uneuk mengurangi ketidakpastian pasar serta mendukung koordinasi kebijakan terhadap ketersediaan pangan.
Kesepakatan COP27 dalam krisis pangan
Dalam kesepakatan final COP27, para pihak mendukung “prioritas fundamental untuk menjaga ketahanan pangan dan mengatasi kelaparan” serta kerentanan produksi pangan terhadap perubahan iklim. Pernyataan tersebut juga “menyadari bahwa perubahan iklim memperburuk krisis pangan global dan sebaliknya, terutama di negara berkembang”.
Pernyataan tersebut juga menyadari bahwa “situasi geopolitik global dan dampaknya terhadap energi, pangan dan ekonomi” bukan alasan untuk “mundur dari komitmen perubahan iklim”.
Tahun ini, inisiatif Tranformasi Pangan dan Pertanian Lestari atau FAST (Food and Agriculture for Sustainable Transformation) diluncurkan oleh Presiden COP27, Shameh Shoukry.
Ada tiga aksi utama yang termaktub dalam FAST, yaitu:
Pemberian akses pembiayaan, dimana negara-negara anggota akan diminta untuk mengumpulkan informasi mengenai pendaan iklim dan investasi dalam sistem pangan berkelanjutan. Kesenjangan keuangan khusus sub-sektor juga perlu untuk diidentifikasi. Peta jalan untuk pembiayaan dan mengatasi kesenjangan ini yang menjadi bagian dari solusi.
Aksi kedua adalah fasilitasi arus informasi melalui platform pengetahuan digitak yang sedang dibangun. Platform ini mencakup praktik baik dan studi investasi serta teknologi baru pangan. Selain berkontribusi, negara anggota juga akan membuat pedoman serta klaster khusus berdasarkan wilayah dan minat.
Sementara pilar ketiga FAST adalah pembuatan kebijakan. Para pihak akan didukung untuk menilai peran sistem pangan dalam pembuatan kebijakan serta meningkatkan advokasi dan jangkauan untuk memastikan semua pihak terlibat dalam pembuatan kebijakan dalam sistem pangan. Untuk itu, FAST akan mengadvokasi pembuatan kebijakan berbasis sains di tingkat nasional dan internasional sebagai tindak lanjut COP27 dalam program ketahanan pangan.
Inovasi teknologi dalam mengatasi krisis pengan
Digitalisasi dan penggunaan teknologi maju sudah diterapkan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) dalam kebijakan dan pelaksanaannya. Bapanas sendiri baru saja resmi beroperasi pada tahun 2022 ini setelah Presiden melantik Ketua Badan, Arief Prasetyo pada bulan Februari 2022 dan jajarannya pada bulan Juli 2022.
Bapanas sendiri merupakan lembaga yang bertanggungjawab untuk urusan pangan di Indonesia dan bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan pangan ketahanan pangan dan kemandirian pangan. Meskipun badan ini sudah dimandatkan dalam UU No. 18 tahun 2012, kelembagaannya baru saja dibentuk sembilan tahun kemudian, yaitu pada tanggal 29 Juli 2021.
Saat ini Bapanas sudah merancang Peta Jalan Rencana Aksi dan yang memuat penguatan teknologi informasi dan komunikasi, antara lain meliputi integrasi data importasi pangan, ketersediaan di tingkat produsen, wilayah rentan pangan dan gizi, serta pengendalian dan pengawasan stok pangan sekaligus distribusinya.
Ketua Bapanas, Arief Prasetyo menegaskan bahwa lembaganya akan mendigitalisasi data stok dan harga pangan melalui yang dapat dilihat dalam bentuk dashboard neraca pangan. Hal ini akan membuat Bapanas menjadi pusat data untuk semua pemangku kepentingan. Menurut Arief, hal ini dilakukan "untuk kemudahan masyarakat dalam mengakses ketersediaan pangan,” ujarnya dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) V Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) yang digelar dari Yogyakarta tahun ini. Panel harga secara real-time saat ini sudah bisa diakses oleh publik dalam bentuk website di laman http://panelharga.badanpangan.go.id yang diperbarui secara konstinyu.
Pakar agroindustri dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Yandra Arkeman menyampaikan bahwa di era 4.0, arah ketahanan pangan di Indonesia harus menggunakan strategi pull factor, yaitu memproduksi pangan sesuai kebutuhan dan kerentanan di lokasi riil. Bukan lagi menggunakan strategi push factor, atau memproduksi saja tanpa tahu kebutuhan pasar, surplus atau defisit pangan tersebut di daerahnya serta fluktuasi harga pasar serta perubahan iklim. Hal ini dapat mencegah food loss and waste alias mubazir pangan serta mematangkan rencana impor maupun ekspo pangan.
Dalam seminar “Peluang dan Tantangan Pengembangan Agroindustri 4.0 untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional” yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Yandra memaparkan sejumlah teknologi maju yang dapat digunakan untuk mengembangkan agroindustri Indonesia.
Prediksi permintaan dan ketersediaan dalam sistem rantai pasok yang akurat dapat menggunakan Deep Learning; ketelusuran (traceablity) produk pertanian dapat menggunakan blockchain untuk pencatatan yang terpercaya dan transparan. Sektor agroindustri juga harus dibuat efisien dengan otomatisasi industri, proses kendali cerdas dengan IoT dan pabrik robotik atau unmanned factory. Peluncuran produk baru pertanian baik yang bernilai tambah maupun pokok dapat dianalisa dengan sentiment analysis, opinion mining dan e-commerce cerdas. Di tingkat pengambilan keputusan dan kebijakan, dapat digunakan fuzzy expert system, natural language processing (NLP) serta algoritma regulasi untuk menelaah persoalan kompleks. Jika hal ini dilakukan, tidak mungkin Indonesia dapat menjadi lumbung pangan dunia.
Lebih lanjut, Prof Yandra menyatakan kepada GovInsider bahwa kemajuan teknologi adalah sebuah keniscayaan dan Indonesia juga harus bersiap untuk menguasainya. “Melalui teknologi maju, para petani dapat mengetahui sebab kegagalan panen dan penurunan mutu hasil pertanian mereka,” jelasnya. Selain itu, para pelaku agroindustri dapat melakukan validasi jika ada klaim terhadap produk-produk mereka yang rusak sehingga harus ditarik kembali (recall). Para distributor pun dapat melakukan penarikan produk rusak sesuai target. Sementara para pelaku logistik bisa menurunkan biaya transportasi dan distribusi. Di sektor hilir, peritel dapat meyakinkan konsumen bahwa produk yang mereka distibusikan aman untuk dikonsumsi.
Meskipun dalam praktiknya, rantai pasok pangan Indonesia masih menggunakan metode konvensional, inovasi teknologi di sektor pangan sudah tersedia di depan mata dan berpeluang untuk meningkatkan nilai tambah produksi pangan Indonesia. Tantangan lain adalah belum terintegrasinya data antar kementerian dan lembaga serta hambatan ego-sektoral. Krisis pangan yang saat ini menjadi pusat perhatian global dapat menjadi momentum untuk melihat pentingnya teknologi maju sebagai bagian dari solusi dalam strategi pengelolaan pangan nasional.