Bagaimana e-SID Kemenhub lindungi pelaut Indonesia di laut lepas

By Mochamad Azhar

Kementerian Perhubungan mendorong perlindungan dan pengakuan internasional pelautnya melalui penerbitan dokumen identitas kepelautan elektronik (e-SID).

Kementerian Perhubungan mendorong penggunaan identitas pelaut elektronik untuk melindungi para pelaut dalam menjalankan tugas-tugasnya di perairan luar negeri. Foto: Canva

Sebagai bangsa maritim, Indonesia dikenal sebagai salah satu pemasok tenaga kerja maritim terbesar ketiga di dunia setelah Filipina dan Rusia. Tak kurang dari 1,5 juta pelaut Indonesia mengarungi samudra.  

 

Berdasarkan data Badan Perdagangan PBB (UNCTAD), tak kurang dari 143.000 pelaut bekerja lintas batas dan menghadapi risiko di perairan luar negeri. 

 

Untuk memudahkan tata kelola, pengakuan dan pemenuhan hak-hak para pelaut yang bekerja secara lintas batas, Kementerian Perhubungan Indonesia menerbitkan kartu identitas pelaut internasional (electronic seafarers identity document/e-SID).

 

Direktur Perkapalan dan Kepelautan pada Direktorat Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Samsuddin, menjelaskan bahwa e-SID merupakan kartu identitas yang berfungsi layaknya KTP bagi pelaut. 

 

“E-SID bukanlah sekadar kartu. Ia adalah simbol modernisasi dan pengakuan yang memastikan para pelaut terdata, terlindungi, dan diakui secara internasional. 

 

Kartu ini dilengkapi chip yang mampu menyimpan identitas, data biometrik, hingga rekam jejak profesional pelaut. Setiap pelaut wajib memilikinya dan pendaftarannya tersedia secara daring melalui situs kementerian.

 

Kepada GovInsider, Samsuddin berbagi tentang bagaimana kementeriannya memasikan identitas pelaut dan menjami hak-hak para pelaut diakui dan dijamin secara global 

Pentingnya alat identifikasi internasional 

 

Penerbitan identitas pelaut internasional tak bisa dilepaskan dari isu keamanan global. 


Menurut Samsuddin, serangan teror 11 September 2001 di Amerika Serikat telah mengubah cara dunia memandang keamanan sampai hari ini, termasuk di sektor maritim. 

 

Sejak itu, Organisasi PBB untuk Perburuhan Internasional (ILO) memperbarui aturannya  untuk menciptakan sistem pengakuan internasional yang lebih baik atas dokumen identitas pelaut, dengan tujuan memfasilitasi akses pelaut ke pelabuhan dan mempermudah identifikasi mereka.  

 

“E-SID hadir untuk memastikan pelaut kita – yang meliputi kapten kapal, awak kapal, hingga juru masak – adalah benar-benar pekerja profesional yang menjalankan tugasnya di atas lautan, bukan disalahartikan sebagai ancaman,” jelasnya. 

 

Sebelumnya, banyak pelaut Indonesia yang bekerja secara mandiri di luar negeri tanpa tercatat di pemerintah, sehingga sulit dilacak atau dilindungi ketika terjadi insiden keamanan. 

 

“Dengan e-SID, semua pelaut otomatis terdaftar. Identitasnya aman, kariernya bisa dilacak, dan mereka terlindungi ketika berada di perairan internasional,” tambahnya.

 

Berlangganan bulletin GovInsider di sini. 

Memperkaya kartu pelaut dengan data biometrik 

 

Berbeda dengan sistem lama yang berbasis kartu fisik, kartu e-SID sudah diperkaya oleh chip yang memuat informasi biometrik, data profesional pelaut dan dapat terbaca oleh sistem imigrasi berbagai negara sesuai dengan standar ILO.

 
Kartu pelaut elektronik (e-SID) memudahkan identifikasi pelaut Indonesia dengan menggunakan biometrik. Foto: Kemenhub

“Di negara tujuan, e-SID memungkinkan pelaut untuk bisa langsung turun ke darat (shore leave) tanpa harus mengurus izin tambahan. Sama seperti pilot yang punya ID khusus, pelaut juga kini punya pengakuan resmi,” ujar Samsuddin.

 

Sebelumnya, untuk mendapatkan izin mendarat bisa memakan waktu karena para pelaut harus mengurus dokumen sementara dari otoritas setempat. Dengan e-SID, birokrasi itu dipangkas. 

 

Bagi pemerintah, kartu ini juga memudahkan tata kelola dan pengawasan. Dengan adanya layanan online, pemerintah juga dapat memberikan layanan yang fleksibel bagi pelaut mengingat profesi ini berbeda dari mereka yang bekerja di daratan, kata dia. 

 

Meski pendaftaran dilakukan secara online, namun perekaman data biometrik seperti sidik jari dan foto wajah tetap harus dilakukan secara tatap muka di kantor-kantor penyedia layanan untuk menjamin keaslian, keamanan dan mencegah duplikasi.  

 

Saat ini, terdapat lima titik layanan utama yang menjadi kantong terbesar pelaut Indonesia yakni di Jakarta, Surabaya, Makassar, Bali, serta Singapura melalui kantor atase Perhubungan Indonesia. 

 

“Kami ingin menghadirkan layanan sedekat mungkin dengan pengguna,” kata Samsuddin seraya menambahkan bahwa ke depan layanan ini akan diperluas ke Malaysia serta KBRI di berbagai negara. 

 

Hingga kini, sekitar 30 persen pelaut Indonesia sudah memiliki e-SID, mayoritas mereka yang bekerja di kapal asing.  

Tantangan yang dihadapi 

 

Samsuddin menyoroti sejumlah hambatan pengembangan layanan ini dari sisi teknis, salah satunya pasokan chip elektronik yang masih harus dipenuhi dari luar negeri.

 

“Dengan spesifikasi setara sistem penerbangan, belum ada produsen lokal yang bisa memenuhi kebutuhan. Saat ini kartu masih pesan dari China melalui proses tender,” katanya seraya berharap di masa depan produsen lokal dapat memenuhi rantai pasok.  

 

Meski demikian, ia memastikan bahwa walau chipnya berasal dari luar negeri, tapi semua data biometrik tetap disimpan di pusat data Indonesia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. 

 

Tantangan berikutnya adalah literasi digital. Tidak semua pelaut terbiasa dengan sistem daring. Kesalahan input data sering muncul, terutama bagi mereka yang kerap pindah domisili.  

 

Untuk mengatasinya, pemerintah telah menyiapkan tim pendampingan di setiap titik lokasi pendaftaran. 

 

Selain itu, interoperabilitas antarinstansi juga kerap menjadi  hambatan dalam proses onboarding pengguna. 

 

Samsuddin menambahkan, pihaknya berambisi mengintegrasikan layanan e-SID dengan data kependudukan dan keimigrasian.   

 

“Target kami adalah satu ekosistem data. E-SID harus terhubung dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dan Direktorat Jenderal Keimigrasian, sehingga pelaut tidak perlu bolak-balik mengurus dokumen.” 

 

Bagi Samsuddin, digitalisasi identitas pelaut merupakan satu bagian dari transformasi digital di Kementerian Perhubungan.  

 

Berbagai layanan kini telah terdigitalisasi, mulai dari pendaftaran kapal, penggantian bendera, dan penerbitan izin pemilik kapal. 

 

Digitalisasi proses bisnis juga telah dilakukan melalui tanda tangan elektronik. “Dengan tanda tangan digital, kami tidak perlu lagi menghabiskan waktu berjam-jam di depan tumpukan dokumen,” tutup Samsuddin.