Melindungi hak cipta industri kreatif dari gempuran AI

By Yuniar A.

Pemerintah Indonesia tengah merancang aturan baru untuk membentuk kembali cara karya kreatif dinilai, dilindungi, dan dimonetisasi di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI).

Kementerian Hukum akan menerbitkan aturan untuk melindungi pemilik hak cipta di tengah semakin maraknya kecerdasan buatan (AI). Foto: Kementerian Hukum

Kementerian Hukum sedang merancang kebijakan baru yang akan memungkinkan sertifikat kekayaan intelektual (KI) digunakan sebagai aset untuk jaminan pinjaman bank.

  

Dalam pidato pembuka di acara Indonesia Digital Conference (IDC) 2025 pada 22 Oktober di Jakarta, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa langkah ini akan mentransformasi cara para kreator, seniman, dan jurnalis dalam memanfaatkan karya mereka sebagai aset yang nyata.

 

“Kebijakan ini bertujuan membuka akses pembiayaan bagi kreator, membantu mereka mengembangkan usaha, serta memperkokoh fondasi ekonomi kreatif nasional,” kata Supratman.  

 

Melalui kebijakan baru ini, kekayaan intelektual akan diakui sebagai aset tak berwujud (intangible asset) yang memiliki nilai finansial terukur. 

 

Artinya, karya seperti musik, film, tulisan, desain, hingga konten jurnalistik tidak hanya diakui secara hukum, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk memperkuat modal usaha kreatif.  

 

Jika diterapkan, Indonesia akan menyusul negara-negara lain di dunia seperti Amerika Serikat, China, Jepang, Singapura, atau Malaysia, yang telah secara resmi mengakui KI sebagai aset tak berwujud yang memiliki nilai ekonomi dan dapat dijadikan jaminan bank. 

 

Untuk mendukung aturan tersebut, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) di bawah Kemenkumham akan memperkuat layanan pendaftaran kekayaan intelektual agar lebih cepat, mudah, dan transparan.  

 

“Dengan digitalisasi proses pendaftaran hak cipta melalui website DJKI, sertifikat bisa diterbitkan dalam waktu kurang dari dua menit,” kata Supratman. 

Melindungi pencipta dari gempuran AI 

 

Penyusunan kebijakan baru ini, menurut Supratman, dimaksudkan untuk memastikan adanya kompensasi yang adil bagi para pencipta di dalam ekosistem digital Indonesia yang saat ini sedang menghadapi disrupsi akibat teknologi kecerdasan buatan (AI). 

 

“Bagi kami, tugas utama pemerintah dalam ekosistem royalti adalah menciptakan perlindungan yang mampu memberikan manfaat ekonomi bagi penciptanya,” ia menambahkan. 

 

Ia juga menjelaskan bagaimana jurnalisme, sebagai pilar utama demokrasi, harus dilindungi dengan hak penerbit (publisher rights) dalam menghadapi disrupsi digital khususnya AI.  

 

Dengan menempatkan karya jurnalistik sebagai karya cipta yang dilindungi undang-undang, media berhak atas lisensi dan kompensasi ketika konten mereka digunakan oleh pihak lain, termasuk kreator konten dan platform AI. 

 

“Dengan menjaga kemampuan media untuk mengoptimalkan nilai dari karya jurnalistiknya, demokrasi tak kehilangan daya hidupnya,” ujarnya. 

 

Berlangganan bulletin GovInsider di sini. 

 

Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dhyatmika, pada sesi pembukaan IDC 2025, menyoroti perkembangan AI yang berpotensi membawa ancaman besar bagi keberlangsungan bisnis media.  

 

Berdasarkan riset AMSI, hampir 30 persen kunjungan ke situs media saat ini berasal dari crawler bot AI yang mengambil konten media untuk melatih model kecerdasan buatan tanpa memberikan kompensasi. 

 

“Mereka mengambil konten media untuk membuat konten baru, tapi tidak membayar kita. Sementara media harus membayar redaksi dan servernya. Ini adalah krisis eksistensi media,” ujar Wahyu, seraya menambahkan bahwa tanpa akses ke audiens media akan kehilangan nilai di mata pengiklan. 

Protokol Jakarta sebagai diplomasi hak cipta 

 

Dalam forum IDC 2025, Menteri Supratman juga memperkenalkan “Protokol Jakarta”, sebuah inisiatif multi-sektor yang fokus pada perlindungan dan pemanfaatan karya digital, khususnya di bidang musik, audiovisual, dan karya jurnalistik dalam ekosistem platform daring global. 

 

Menurutnya, Protokol Jakarta lahir dari kebutuhan mendesak negara berkembang untuk mendapatkan keadilan dalam ekosistem digital global – suatu hal yang kerap disuarakan di dalam forum-forum international yang diselenggarakan lembaga PBB yang menangani isu hak kekayaan intelektual (World Intellectual Property Organization/WIPO). 

 

Ia menyoroti bahwa selama ini para pencipta dari negara berkembang sering tidak mendapatkan distribusi royalti yang seimbang, meskipun karya mereka digunakan secara luas. 

 

“Saya tidak bicara soal tarif, tapi soal keadilan. Mengapa platform digital global mendapat porsi yang besar, sementara pencipta hanya 15 persen? Ini yang harus diperjuangkan,” tegasnya. 

 

Supratman berencana membawa Protokol Jakarta ke Jenewa untuk dibahas dalam pertemuan WIPO mendatang. Langkah ini bertujuan menjadikan Protokol Jakarta bukan hanya kerangka kerja nasional, tetapi juga referensi global bagi pembagian royalti yang lebih adil di era digital.  

 

“Protokol Jakarta adalah kontribusi nyata Indonesia untuk memastikan kekayaan intelektual menjadi katalis bagi pembangunan ekonomi global yang lebih adil, transparan, inklusif, dan berkelanjutan,” ujarnya.