Menavigasi adopsi AI dan ‘super app’ di sektor publik Indonesia
By Hafiz Noer and Pravitasari
Meskipun teknologi dapat menjadi pendorong yang kuat, namun tidak selalu menjadi cara yang paling tepat atau berkelanjutan untuk mengembangkan layanan publik.

Pemerintah Indonesia telah secara aktif mempromosikan struktur tata kelola digital yang mulus. Namun, upaya ini disertai dengan asumsi implisit bahwa inovasi teknologi adalah obat mujarab untuk tantangan masyarakat. Foto: Canva
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah secara aktif mempromosikan struktur tata kelola digital yang mulus, yang sejalan dengan semangat "manajemen publik baru" - sebuah sebuah pendekatan yang mengadopsi prinsip-prinsip bisnis modern untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efisien, tidak terlalu hierarkis, dan kompetitif dalam menyampaikan layanan publik.
Namun, upaya ini disertai dengan asumsi implisit bahwa inovasi teknologi adalah obat mujarab untuk tantangan masyarakat.
Meskipun teknologi dapat menjadi pendorong yang kuat, namun tidak selalu menjadi jalan yang paling tepat atau berkelanjutan untuk maju. Banyak permasalahan sektor publik memerlukan solusi sistemik yang lebih luas yang melampaui perbaikan hal-hal yang bersifat teknis.
Pendekatan saat ini sangat dipengaruhi oleh determinisme teknologi – keyakinan optimis bahwa kapasitas teknologi menjadi pendorong kemajuan manusia – cenderung menyederhanakan realitas yang kompleks dan mengabaikan konsekuensi yang tidak diinginkan dari ketergantungan semata-mata pada solusi teknologi.
Di Indonesia, terdapat sekitar 27.000 aplikasi pemerintah di seluruh negeri. Sayangnya, sistem ini tidak dapat dioperasikan bersama (interoperable), terfragmentasi, dan sebagian besar tidak efektif dalam memberikan layanan publik.
Selama dua tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah berupaya mengatasi masalah ini dengan mengadopsi kecerdasan buatan (AI) dan mengembangkan aplikasi super yang bertujuan untuk mengintegrasikan layanan di berbagai sektor, termasuk pelaporan pajak, pendidikan, kesehatan, dan layanan keluarga.
Meskipun AI sendiri bukanlah konsep baru, kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam pendekatan 'techno-solutionism'.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Keterbatasan AI dalam layanan publik
Untuk menghindari jebakan techno-solutionism, pertama-tama kita harus mengakui batasan teknologi dalam mengatasi tantangan sektor publik yang kompleks.
Dalam contoh dunia nyata, AI dan/atau teknologi digital gagal mencapai tujuan yang diharapkan ketika dimensi sosial diabaikan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam konteks negara berkembang.
Misalnya, chatbot AI Kota New York, yang dimaksudkan untuk membantu usaha kecil dengan panduan hukum, akhirnya menyebabkan lebih banyak kebingungan daripada kejelasan.
Alih-alih memberikan saran yang akurat, chatbot tersebut tidak dapat menafsirkan skenario hukum yang spesifik pada konteksnya, dan sering kali memberikan panduan yang terlalu disederhanakan atau menyesatkan. Faktanya, pemilik bisnis membutuhkan saran hukum yang dipersonalisasi yang memerlukan pengawasan manusia.
Contoh kedua adalah Coretax, yang diluncurkan oleh Kementerian Keuangan pada bulan Desember 2024 untuk mengotomatiskan dan mengintegrasikan proses administrasi pajak, yang dimaksudkan untuk mempercepat prosedur dan mengurangi kesalahan.
Namun, aplikasi ini menghadapi masalah mulai dari proses pendaftaran hingga pembuatan kode penagihan karena peluncuran massal yang menyebabkan gangguan layanan, dan pada akhirnya menuai kritik publik. Perangkat lunak Commercial Off-The-Shelf (COTS) yang tertanam dalam Coretax juga gagal mengatasi karakteristik pajak Indonesia yang unik, seperti ketidakmampuan untuk menghitung PPN menggunakan basis pajak alternatif.
Kasus-kasus ini menggambarkan bahwa hanya mengandalkan solusi teknologi akan mengabaikan pengaruh penting dari kendala sosial dan kelembagaan.
Yang dibutuhkan dalam membangun ekosistem digital
Keterbatasan AI dan inisiatif digital di sektor publik menunjukkan kekurangan determinisme teknologi, karena sering kali mengarah pada fokus yang sempit pada perbaikan teknologi tanpa membahas faktor sosial, kelembagaan, dan kontekstual yang membentuk bagaimana alat-alat ini dirancang, diterapkan, dan digunakan.
Aplikasi super pemerintah atau layanan berbasis AI hanya akan berjalan efektif pada ekosistem yang sudah tertanam. Berbagai komponen ekosistem tersebut meliputi infrastruktur data, arsitektur perangkat lunak, tata kelola, insentif, desain yang inklusif, serta tenaga kerja digital.
Setidaknya ada tiga hambatan struktural yang harus diatasi pemerintah Indonesia untuk membangun ekosistem digital yang efektif.
Pertama, kebijakan anggaran Indonesia yang kaku membatasi kelincahan dan kemampuan beradaptasi upaya transformasi digital. Kebijakan anggaran harus dinamis dan responsif terhadap kebutuhan pengguna, karena ekosistem digital bergerak cepat. Kebijakan anggaran yang membentuk pasar akan memungkinkan alokasi dan investasi tepat waktu untuk infrastruktur digital penting, seperti sistem pencadangan data, penyimpanan cloud, dan alat keamanan siber.
Kedua, proses pengadaan yang terfragmentasi menyebabkan inefisiensi dalam beradaptasi dengan standar teknologi terkini. Pemerintah harus memiliki standar yang jelas dan pasti untuk pengadaan perangkat digital yang dibutuhkan. Proses pengadaan yang efisien, dilengkapi dengan pemasok yang andal, akan memfasilitasi transisi yang lancar menuju digitalisasi, yang memungkinkan lembaga pemerintah mendapatkan solusi teknologi yang tepat dan sejalan dengan tujuan mereka.
Seperti yang ditunjukkan oleh serangan ransomware pada pusat data nasional Indonesia, gangguan dalam sistem pengadaan dapat menimbulkan konsekuensi yang parah, yang menyebabkan ketidakmampuan penyedia layanan cloud pihak ketiga. Insiden ini juga mengungkap kurangnya sertifikasi wajib dari penyedia layanan dan kegagalan otoritas untuk menegakkan uji kesesuaian oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
Ketiga, kebijakan sumber daya manusia saat ini dalam sektor publik tidak mampu menarik keahlian yang penting. Perlu adanya pemetaan tenaga kerja untuk menilai keterampilan yang tersedia di pasar kerja digital dan mengidentifikasi kesenjangan dalam sektor publik. Saat ini, kebijakan tersebut tetap difokuskan terutama pada memaksimalkan efisiensi staf yang ada daripada merekrut bakat digital khusus.
Singkatnya, janji AI dan aplikasi super dalam mengubah pemberian layanan publik harus didekati melalui lensa sosio-teknis – sebuah pendekatan yang mengamati interaksi dinamis antara teknologi dan masyarakat dalam satu analisis tanpa mengutamakan salah satu daripada yang lain.
Tanpa mengatasi faktor sosial dan kelembagaan, Indonesia berisiko memprioritaskan alat daripada tujuan dan mengulang siklus determinisme teknologi.
Hafiz Noer adalah Kepala Penelitian di Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada, sementara Pravitasari adalah Perencana Kebijakan di Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Pendapat yang dikemukakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.