Mengapa Indonesia butuh lebih banyak bangunan tahan gempa?
By Mochamad Azhar
Mitigasi bencana alam telah menjadi bagian penting dari aspek konstruksi bangunan di Indonesia, mengingat letak geografis kepulauan yang rawan gempa bumi. Direktur Jenderal Perumahan pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Iwan Suprijanto, menceritakan upaya pemerintah dalam membangun hunian yang memenuhi standar keselamatan dari ancaman gempa bumi.
Kementerian PUPR membangun hunian baru bagi penduduk yang rumahnya hancur akibat gempa di Cianjur, Jawa Barat. Struktur bangunan menggunakan teknologi RISHA. Sumber: Kementerian PUPR
Baru-baru ini, dunia dikejutkan dengan gempa besar magnitudo 7,8 yang meluluhlantakkan sejumlah kota di Turki dan Suriah. Total korban jiwa akibat gempa Turki mencapai lebih dari 41.000 jiwa, dan Suriah 5.800 jiwa. Gempa Turki dan Suriah menjadi bencana kemanusiaan terbesar di awal tahun 2023.
Gempa bumi tidak membunuh orang. Bangunan yang roboh adalah penyebab jatuhnya korban jiwa. Karena tidak ada seorang pun yang bisa memprediksi kapan dan di mana terjadinya gempa bumi, maka mitigasi terhadap gempa menjadi keharusan.
Iwan Suprijanto, Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menceritakan kepada GovInsider bagaimana pemerintah berupaya melakukan mitigasi dengan membangun rumah tahan gempa yang dikenal dengan nama Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA).
Teknologi RISHA sebagai upaya mitigasi bencana
Indonesia berada di kawasan cincin api pasifik dan menjadi muara pertemuan tiga lempeng dunia, lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Menurut laporan Badan Geologi Kementerian ESDM, telah terjadi 254 gempa bumi destruktif pada kurun waktu tahun 2000 hingga 2022 dengan persebaran lokasi dari Aceh hingga Papua.
Pada tahun 2022, terjadi 24 gempa bumi destruktif yang menimbulkan banyak korban. Salah satunya gempa magnitudo 5,6 di Cianjur, Jawa Barat, yang menewaskan 635 orang dan menyebabkan 1.083 luka-luka. Gempa tektonik yang berpusat di kedalaman 10 kilometer ini juga menyebabkan 22.189 bangunan rusak.
Iwan mengungkapkan, bencana alam berdampak pada kerusakan infrastruktur dan bangunan. Tidak hanya itu, gempa turut mengguncang aspek sosial dan ekonomi masyarakat. Kerusakan akibat gempa membuat korbannya tidak dapat beraktivitas, serta harus mengeluarkan biaya untuk memperbaiki bangunan yang rusak.
“Itulah alasan mengapa pemerintah membangun rumah tahan gempa. RISHA bertujuan untuk meminimalkan dampak korban jiwa dan kerugian ekonomi ketika terjadi bencana.”
RISHA merupakan salah satu inovasi dalam sektor konstruksi bangunan yang dikembangkan oleh Kementerian PUPR. RISHA menggunakan teknologi struktur beton pracetak modular dengan sistem copot-pasang atau knockdown.
Konstruksi dari rumah tahan gempa ini tidak menggunakan komponen semen dan batu bata, akan tetapi menggunakan beton bertulang yang kokoh dan tidak mudah retak. “Kualitas beton bertulang dengan mutu tinggi memastikan bangunan struktur rumah aman terhadap guncangan gempa bumi dalam skala tertentu,” ungkap Iwan.
Selain relatif tahan terhadap guncangan, RISHA memiliki keunggulan instalasi yang lebih cepat dan lebih mudah dari rumah biasa. Hal ini karena panel-panel beton cukup disambungkan di struktur bangunan dengan menggunakan baut, sehingga mudah dipasang dan mudah dibongkar apabila diperlukan.
Jika terjadi gempa, kemungkinan kerusakan pada masing-masing panel beton akan lebih kecil dibanding bangunan yang menggunakan hanya satu panel beton untuk satu rangka bangunannya. Jika satu bagian panel beton mengalami kerusakan, maka tinggal diganti dengan panel beton lainnya tanpa membongkar seluruh struktur bangunan.
Selain itu, keunggulan lain dari RISHA ialah instalasi panel beton pada struktur bangunan tidak menggunakan penyangga kayu sehingga mengurangi limbah dan lebih ramah lingkungan.
Didesain untuk keselamatan penghuni
Menurut Iwan, sebuah hunian yang tahan gempa harus memenuhi persyaratan teknis keandalan struktur mengacu pada SNI 1726:2019 mengenai Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non-Gedung. “Struktur bangunan didesain sedemikian rupa sehingga dapat bertahan dan memberikan keselamatan kepada penghuninya ketika terjadi gempa besar.”
Meski demikian, bukan berarti sebuah rumah yang mengadopsi teknologi tahan gempa tidak akan rusak saat ada guncangan. Rumah tahan gempa juga bisa rusak, namun bisa memberikan kesempatan lebih besar kepada penghuni untuk menyelamatkan diri ketika terjadi gempa besar.
“Berdasarkan analisis tim, keandalan dan desain struktur RISHA cukup teruji, dengan mensimulasikan pembebanan gempa dari tingkat ringan hingga berat dengan mengacu pada Peta Gempa dalam SNI 1726:2019,” Iwan melanjutkan.
Kerusakan fatal akibat gempa sebetulnya bisa diminimalkan apabila seluruh masyarakat dan pengembang properti telah menerapkan standar struktur bangunan tahan gempa dalam setiap rancangannya. Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Perumahan dan Direktorat Jenderal Cipta Karya pun terus melakukan sosialisasi aturan SNI 1726:2019.
Karena pengerjaannya yang relatif lebih cepat dan mudah, RISHA diperuntukkan sebagai hunian tetap bagi warga yang rumahnya hancur total akibat bencana alam. Pembangunan 93 unit RISHA untuk keperluan relokasi warga korban gempa Cianjur, Jawa Barat, telah diselesaikan dalam waktu kurang lebih 3 bulan sejak Desember 2022 hingga Februari 2023.
RISHA pertama kali diperkenalkan Kementerian PUPR sebagai hunian tetap bagi warga yang menjadi korban gempa dan tsunami Aceh yang terjadi pada Desember 2004. Sekitar 1.000 unit RISHA dibangun untuk memenuhi kebutuhan korban tsunami yang kehilangan tempat tinggal sepanjang 2005-2006.
RISHA juga digunakan pasca tanggap darurat gempa Padang (2009), Erupsi Gunung Merapi (2010), Erupsi Gunung Sinabung (2010, 2016), Gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat (2018), gempa dan likuifaksi Palu dan Donggala (2018) serta Erupsi Gunung Semeru (2021).
“Hingga tahun ini, pemerintah telah membangun kurang lebih 36.000 unit hunian tetap menggunakan teknologi RISHA,” ungkap Iwan.
Tidak hanya diperuntukkan sebagai hunian tetap korban bencana, ke depannya pemerintah juga akan menggunakan teknologi RISHA untuk mengatasi backlog perumahan rakyat, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah perbatasan, daerah tertinggal dan daerah pesisir.
Program RISHA akan diintegrasikan dengan program penyediaan perumahan yang menjadi tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR.
Iwan menambahkan, teknologi RISHA sebetulnya juga bisa dikembangkan untuk aspek komersial di luar program pemerintah. Pengembang swasta dapat melakukan pengadaan rumah tahan gempa melalui marketplace atau dapat menghubungi aplikator RISHA di Kementerian. “Saat ini penerapan teknologi RISHA sudah mulai banyak dibangun di rumah-rumah komersial dengan desain arsitektur yang lebih menarik,” tutup dia.