Komitmen Indonesia melawan perubahan iklim dengan transisi energi

By Stania Puspawardhani

Pemerintah Indonesia berupaya untuk menghentikan sejumlah operasional pembangkit listrik berbahan bakar batu bara untuk memenuhi target pengurangan emisi pada 2060. Indonesia juga akan mendapatkan bantuan internasional dalam proses transisi energi.

Sektor energi berkontribusi paling besar dalam emisi karbon Indonesia. Foto: Canva 

Memasuki tahun 2023, sejumlah komitmen yang diteken Indonesia pada konferensi perubahan iklim global di penghujung tahun sebelumnya mewarnai perencanaan pembangunan ke depan. 

 

Sedikitnya ada dua komitmen besar Indonesia di bidang aksi melawan perubahan iklim yang disepakati di penghujung tahun lalu, yaitu peluncuran platform Energy Transition Mechanism dan Just Energy Transition Partnership yang disepakati pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali. 

 

Kedua kesepakatan tersebut bersamaan dengan pembaharuan Nationally Determined Contribution Indonesia pada konferensi perubahan iklim COP 27 di Sharm el-Sheikh, Mesir. Apa saja komitmen yang disepakati serta tantangan implementasinya?  

 

Transisi energi Indonesia untuk mitigasi perubahan iklim 

Energi merupakan sektor pembangunan yang berkontribusi paling besar terhadap emisi gas rumah kaca nasional di Indonesia, yaitu 39 persen. Berurutan setelah itu adalah sektor Forest and Other Land Uses  sebesar 20 persen, kebakaran hutan sebesar 20 persen, sektor pertanian sebesar 9 persen,  limbah sebesar 8 persen serta sektor industri sebesar 4 persen (data akumulatif tahun 2000–2019 dari BPS, diolah oleh CORE Indonesia). 

 

“Emisi karbon dari sektor energi tersebut setara dengan lebih dari 450 juta CO2 per tahun,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif di sela perhelatan G20 tahun lalu.    

 

Untuk itu, Indonesia telah mencanangkan target pengurangan emisi atau Net Zero Emission pada tahun 2060 melalui Roadmap Transisi yang dibagi ke dalam tahapan per lima tahun. Menurut Arifin, roadmap tersebut berisi dua program, yaitu supply dan demand

 

Dari sisi supply, Indonesia berencana untuk memberhentikan secara dini operasional 33 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan dasar batu bara.  PLTU yang diusulkan akan menjalani ‘pensiun dini’ tersebut antara lain PLTU Cirebon, Pelabuhan Ratu dan Paiton. 

 

Khusus untuk PLTU Cirebon-1, pemerintah Indonesia telah menandatangani nota kesepakatan dengan Bank Pembangunan Asia (ADB) terkait Rencana Pensiun Dini untuk Pembangkit Listrik Berbasis Batu Bara Pertama di bawah Mekanisme Transisi Energi. Penandatanganan kesepahaman itu dihadiri oleh pemimpin ADB, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Cirebon Electric Power (CEP) serta Indonesia Investment Authority (INA) di sela KTT G20 di Bali tahun lalu, sekaligus meluncurkan platform Energy Transition Mechanism (ETM).   

 

Keputusan akhir dari daftar 33 PLTU yang pensiun dini lebih lanjut akan diambil oleh tiga menteri, yaitu Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri BUMN Erick Thohir dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. 

 
 

Pensiun dini PLTU berbasis batu bara merupakan target ETM dan JETP. Foto: Canva 


Dalam Peta Jalan Transisi Energi Indonesia, pemerintah berencana membangun pembangkit listrik berkapasitas total 600 gigawatt yang berasal dari energi terbarukan sampai tahun 2060. Tetapi, tentu saja hal tersebut bukan sesuatu yang mudah karena membutuhkan pendanaan yang besar serta akses teknologi tinggi.  

 

Di sinilah Energy Transition Mechanism memainkan peranannya sebagai instrumen pembiayaan campuran (blended finance) dalam memfasilitasi dukungan pendanaan dari pihak swasta, industri jasa keuangan serta filantropi untuk program transisi energi.     

 

Komitmen besar kedua terkait perubahan iklim yang dibuat Indonesia pada G20 lalu adalah peluncuran program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang disepakati oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia serta Inggris dalam mendukung program melawan perubahan iklim di sektor energi dengan mengucurkan dana dukungan sebesar 20 miliar dolar Amerika Serikat.  

 

Skema ini akan menjadi payung rencana investasi yang mengatur lebih spesifik terkait sistem energi listrik on-grid, off-grid dan captive. Termasuk di antaranya rencana pensiun dini pembangkit listrik berbasis batu bara serta percepatan energi terbarukan sebesar 34 persen di tahun 2030.  

 

Kedua kesepakatan besar terkait transisi energi tersebut merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri atau sebesar 43,20 persen dengan dukungan internasional, seperti yang disampaikan dalam Enhanced NDC di COP27. 

 

Kebijakan lain di bidang perubahan iklim yang dicanangkan pemerintah adalah pemanfaatan limbah dari Institusi Pembuangan Air Limbah (IPAL), kebijakan B40 dan penggunaan kendaraan listrik.  

 

Kritisisme dan tantangan implementasi transisi energi 

 

Bukanlah sebuah hal yang mudah untuk mewujudkan transisi energi, apalagi sektor tersebut berkelindan dengan kepentingan ekonomi dan sumber penghasilan banyak orang.  

 

Menurut International Energy Agency, Indonesia merupakan negara penghasil batu bara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India pada tahun 2022. Meskipun demikian, batu bara merupakan salah satu komoditas ekspor penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Batu bara juga merupakan sumber listrik bagi 60 persen ekonomi Indonesia.  

 

Untuk itu, transisi energi Indonesia tidak bisa berjalan secara sekaligus, tetapi bertahap. Menteri ESDM Arifin Tasrif menggarisbawahi masa transisi menuju target Net Zero Emission, di mana energi fosil masih akan dimanfaatkan untuk sementara waktu sebagai sumber energi, sebelum energi yang lebih bersih tersedia.

  

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menargetkan bauran energi terbarukan pada total energi nasional sebesar 23 persen di tahun 2025 dan 31 persen di tahun 2030.  

 

Kritik juga datang dari kelompok masyarakat sipil terhadap skema transisi energi yang dicanangkan pemerintah. Banyaknya konflik kepentingan dalam realisasi transisi energi dipaparkan oleh Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, yang melihat aktor-aktor pembuat kebijakan juga terlibat dalam industri batu bara.  

 

Aktivis lingkungan yang juga Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat, Pius Ginting menyatakan kepada GovInsider di Jakarta bahwa program pensiun dini PLTU seharusnya diterapkan di PLTU yang usianya tidak lebih dari 3 tahun atau relatif baru. “Karena jika yang dipensiunkan PLTU yang lama, tanpa intervensi JETP pun sudah tidak kompetitif,” tegasnya.  

 

Sementara Program Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini menyerukan rencana investasi JETP harus memastikan tanggung jawab terhadap polusi lingkungan yang dihasilkan serta penyelesaian konflik terhadap masyarakat sekitar operasi yang terdampak.