Pentingnya keberagaman dan inklusi dalam layanan publik
By Sol Gonzalez
Para pemimpin di sektor publik berbagi strategi untuk menciptakan ruang kerja yang inklusif yang memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam dan menumbuhkan perspektif holistik.

Sentimen yang muncul dalam sesi ini adalah bahwa sektor publik tidak dapat secara efektif melayani kebutuhan warganya tanpa adanya keragaman. Foto: GovInsider
Pada hari pertama Festival of Innovation 2025 GovInsider yang diselenggarakan di Sands Expo, 25 Maret, para panelis dalam sesi “Diverse Voices, Unified Mission: Managing Diversity in Public Service” membahas tantangan dan peluang dalam menerapkan praktik yang lebih beragam dan inklusif di sektor publik.
Memulai sesi diskusi, moderator Kepala Manajemen Perubahan Organisasi Air Selangor, Malaysia, Diana Jayasauri, meminta para hadirin untuk mengangkat tangan jika keragaman dan inklusi merupakan nilai inti dari organisasi mereka. Sebagian besar hadirin mengangkat tangannya.
“Nilai-nilai inti menentukan sikap sebuah organisasi untuk menjunjung tinggi kepercayaan dan keyakinan. Untuk menjadikan keberagaman dan inklusi sebagai bagian dari DNA organisasi, penting untuk menambahkannya sebagai nilai inti,” ujarnya.
Para pembicara menyoroti pentingnya suara yang beragam dalam meningkatkan pemberian layanan publik, membahas kesulitan dalam mengelola kuota, dan berbagi langkah-langkah praktis untuk memanfaatkan keragaman di sektor publik.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Pergeseran pola pikir menuju inklusi
Para panelis menekankan bahwa tantangan utama adalah menciptakan perubahan pola pikir.
“Keberagaman adalah tentang jumlah, dan inklusi adalah tentang pola pikir,” kata Asisten Manajer Produk Open Government Products (OGP) Singapura, Kolonel Vicky Wang.
“Jika Anda mempekerjakan jumlah orang yang Anda inginkan ke dalam organisasi, Anda mencentang sebuah kotak dan berkata, 'perusahaan saya beragam'. Namun masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Bagaimana Anda membuat mereka merasa diikutsertakan setelah mereka menjadi bagian dari tim?”
Menggeser perspektif dari menegakkan kuota keberagaman menjadi merangkul inklusi sangat penting untuk menciptakan lingkungan di mana setiap orang merasa menjadi anggota tim yang dihargai dan dapat berkontribusi secara bermakna, tambah Wang.
Para pembicara menambahkan bahwa untuk menciptakan perubahan pola pikir ini, penting untuk mengenali dan menghilangkan kecenderungan bias yang tidak disadari oleh manusia, terutama ketika merekrut.
“Kita harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan talenta... sistem manajemen SDM yang lebih berbasis kompetensi yang tidak memandang perbedaan gender, ras, atau usia,” ujar Kepala SDM dan Penasihat Divisi Layanan Publik Singapura bidang Pengembangan Tenaga Kerja, Low Peck Kem.
Pergeseran menuju pertumbuhan yang digerakkan oleh kompetensi memungkinkan setiap anggota tim, tanpa memandang identitas mereka, untuk merasa diikutsertakan.
Memahami konteks
“Terkadang, semakin Anda mengatakan kepada orang-orang bahwa Anda harus memiliki rasio tertentu [untuk mempekerjakan karyawan yang beragam], semakin Anda mendapatkan penolakan. Menurut saya, keragaman lebih dari sekadar menetapkan kuota dan menetapkan target,” kata Low.
Namun, dalam konteks tertentu, kuota dapat membantu membuka jalan menuju praktik yang lebih inklusif. Hal ini terjadi di sektor publik Indonesia, kata Direktur Eksekutif Satu Data Indonesia, Dini Maghfirra.
“Kami mencoba memadukan antara sistem merit dan tindakan afirmatif. Kami memberikan kesempatan kepada masyarakat yang kurang terwakili untuk bergabung di sektor pemerintahan,” ujar Dini.
Ia menambahkan bahwa pemerintah mulai menyediakan program bimbingan dan pengembangan kepemimpinan sebagai cara untuk menciptakan jaringan yang memberdayakan perempuan dan komunitas yang kurang terwakili untuk berpartisipasi di semua tingkat pemerintahan.
Ini adalah tentang “breaking the glass ceilling” [mendobrak penghambat tak kasat mata], kata Dini.
Dengan menggunakan contoh lokal, Wang memuji pekerjaan yang dilakukan oleh Women in Tech untuk merayakan partisipasi perempuan di bidang yang didominasi oleh laki-laki dan memberdayakan anak perempuan dan perempuan yang lebih muda untuk menjelajahi bidang ini tanpa rasa takut atau malu.
Layanan publik yang mencerminkan pengalaman nyata
Sentimen yang paling menonjol dalam sesi ini adalah bahwa sektor publik tanpa keragaman tidak dapat secara efektif melayani kebutuhan warganya.
“Adalah tanggung jawab kita untuk menjunjung tinggi kepercayaan. Bagaimana Anda dapat membuat orang mempercayai Anda jika Anda tidak menerima suara semua orang?” Jayasauri bertanya.
“Anda harus memiliki jalan bagi masyarakat untuk menyuarakan pandangan yang berbeda,” tambah Low. “Jika Anda memiliki layanan publik yang mencerminkan demografi populasi yang Anda layani, maka Anda akan bisa mendapatkan pandangan yang beragam dari berbagai sudut pandang.”
Menumbuhkan ruang di mana perspektif yang beragam dihargai sangat penting untuk meningkatkan penyediaan layanan publik, karena hal ini memfasilitasi pengembangan kebijakan yang lebih terinformasi dan pemecahan masalah secara holistik.

Agar tidak ada yang tertinggal, organisasi harus menyadari bahwa program atau inisiatif bukanlah solusi yang cocok untuk semua orang, kata Dini.
Ia memberikan contoh program yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan gizi di Indonesia.
Mengingat beragamnya kelompok etnis dan karakteristik geografis di setiap daerah di Indonesia, program gizi harus diadaptasi dengan memperhatikan preferensi budaya masing-masing daerah, seperti mengganti beras dengan tapioka untuk beberapa daerah.
Bagaimana cara meningkatkan keragaman dan inklusi?
Sebelum sesi ditutup, para hadirin bertanya kepada panel mengenai strategi khusus untuk meningkatkan praktik keberagaman dan inklusi.
Pada tingkat praktis, Low menyampaikan bahwa rotasi pekerjaan dapat membantu memupuk pertumbuhan kompetensi dan mendorong inklusi dalam tim dan konteks yang berbeda.
Dengan rotasi pekerjaan yang lebih terstruktur, orang dapat memperluas keahlian mereka dan memberikan perspektif yang berbeda di setiap posisi yang mereka temui, yang juga menghapus stigma seputar berganti pekerjaan atau berpindah sektor.
Dalam hal praktik perekrutan, Wang menyarankan untuk menerapkan pelatihan untuk mempelajari cara mengelola bias yang tidak disadari dan mengadopsi perekrutan yang lebih inklusif dan berorientasi pada kompetensi.
Jayasauri juga mencatat bahwa langkah kecil seperti berbicara dalam bahasa yang berbeda di tempat kerja juga dapat menciptakan kebiasaan untuk merangkul perbedaan dan mempromosikan inklusi.
Yang terpenting, kebijakan tanpa toleransi terhadap segala bentuk diskriminasi harus ada untuk mendorong sektor publik yang inklusif, tambah Dini.
Anda dapat menonton sesi panel ini secara lengkap di sini