Siapkah kita menerapkan pembelajaran AI dan “coding” di sekolah?
By Yuniar A.
Dalam sebuah panel di Jakarta baru-baru ini, pemimpin pendidikan dan teknologi berbagi tentang bagaimana mempersiapkan pembelajaran kecerdasan artifisial (AI) dan coding di ruang kelas.

Pemerintah Indonesia akan memperkenalkan pembelajaran AI dan coding bagi siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah mulai tahun ajaran baru 2025/2026. Foto: Canva
Sistem pendidikan di Indonesia saat ini bergerak sejalan dengan tren global dengan mengintegrasikan pembelajaran AI dan kemampuan coding ke dalam ruang kelas. Namun, pertanyaan yang mengemuka adalah siapkah komunitas pendidikan Indonesia dalam menerapkan pembelajaran baru tersebut?
Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang saat ini sedang dibuat, mulai tahun ajaran baru 2025/2026 sekolah dasar dan menengah dapat menerapkan pembelajaran AI dan kemampuan coding sebagai mata pelajaran pilihan bagi siswanya.
"Dengan menguasai keterampilan tersebut, siswa diharapkan tidak hanya mampu menghadapi revolusi industri yang sedang terjadi, namun juga siap menjadi pemimpin teknologi masa depan Indonesia,” kata Direktur Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Winner Jihad Akbar.
Winner berbicara pada panel berjudul “Memberdayakan Sekolah dalam Menghadirkan Pembelajaran AI dan Coding di Kelas” pada acara Centre for Indonesian Policy Studies’ Digiweek 2025 baru-baru ini di Jakarta.
Dalam implementasinya, siswa akan mendapatkan alokasi waktu sebanyak dua jam pelajaran per minggu di SD tingkat lima dan SMP, serta hingga lima jam pelajaran di SMA. Untuk kelas 11–12 di SMA/SMK, pembelajaran bersifat opsional dengan alokasi maksimal empat jam pelajaran.
Dengan mengacu pada sejumlah kerangka global seperti UNESCO ICT Competency Framework for Teachers (2018), UNESCO K-12 AI Curricula (2022), serta AI Competency Framework for Students (2024), pembelajaran ini tidak semata-mata menitikberatkan pada aspek teknis pemrograman, tetapi juga mengembangkan keterampilan berpikir komputasional, pemecahan masalah sistematis, dan logika algoritmik, dia menambahkan.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Pendekatan fleksibel dan menyesuaikan konteks lokal
Menurut Winner, kementerian mengadopsi strategi implementasi yang fleksibel dan kontekstual untuk mengatasi tantangan tingkat adopsi sekolah yang berbeda-beda.
Bagi sekolah yang sudah memiliki infrastruktur lengkap seperti laboratorium multimedia atau koneksi internet yang stabil, pembelajaran dapat berlangsung dengan metode interaktif dengan menggunakan tablet atau laptop.
Namun bagi sekolah yang belum memiliki akses terhadap fasilitas dasar, termasuk listrik dan internet, pemerintah akan membantu menyediakan internet satelit bagi mereka sekolah-sekolah yang membutuhkan.
“Kita juga menyiapkan solusi alternatif berupa kurikulum 'unplugged', yakni pendekatan pembelajaran tanpa perangkat digital dalam bentuk permainan edukatif seperti lego untuk mengasah keterampilan berpikir komputasional.”
Solusi ini juga memberikan ruang otonomi bagi daerah untuk menentukan strategi dan metode pengajaran yang sesuai dengan kondisi lokal.
Fokus pada cara pikir komputasional guru dan murid
Ketua Pengurus Harian Yayasan Guru Belajar, Maman Basyaiban, menyoroti bahwa tantangan mendasar dalam kurikulum ini adalah bagaimana memastikan guru dan murid “tidak terjebak pada alat”, melainkan pada “cara berpikir” yang menjadi tujuan pembelajaran.
ia membagikan kisah reflektifnya ketika masih menjadi mahasiswa yang pernah belajar menggunakan aplikasi Flash dan HTML, namun beberapa tahun kemudian, ternyata tools-nya sudah tidak dipakai lagi,
“Bagaimana cara mengasah kemampuan berpikir komputasional adalah yang terpenting ... Inilah yang akan dipakai ketika zaman berubah dengan perangkat-perangkat yang juga sudah berbeda,” kata Maman.
Tantangan berikutnya ialah kesiapan guru dan perbedaan level kemampuan antara guru dan murid. Dalam banyak kasus, guru justru merasa murid mereka lebih mahir menggunakan teknologi. Ini menciptakan dinamika yang unik di mana guru tidak lagi sekadar menjadi sumber ilmu tunggal, tetapi fasilitator proses belajar yang terus berkembang.
Menurut Maman, satu hal yang kerap luput dalam desain kebijakan pendidikan adalah kebutuhan guru untuk belajar dengan cara yang serupa dengan murid.
"Kalau kita ingin guru menyesuaikan cara ajarnya dengan murid, maka kita juga harus menyesuaikan cara kita mendukung para guru,” dia menambahkan.
Dukungan dari sektor swasta
Dengan transformasi pendidikan tidak bisa dilakukan sendirian, maka kerja sama dengan sektor swasta diperlukan untuk meningkatkan kapasitas pembelajaran sebagai bentuk investasi kolektif untuk masa depan.
AI National Skills Director Microsoft Indonesia, Arief Latu Suseno, menyatakan kemitraan perusahaannya dengan pemerintah Indonesia akan diarahkan pada program AI untuk sektor pendidikan.
"Untuk tingkat sekolah menengah, Microsoft akan memperkenalkan siswa dengan bahasa pemrograman Phyton. Sementara untuk tingkat sekolah dasar, Microsoft akan menyediakan materi perkenalan dengan AI dan memperkenalkan siswa tentang keamanan data," kata Arief.
Microsoft juga telah meluncurkan pelatihan AI dan coding berbasis Minecraft Education Edition (MEE), sebuah pilot yang ditujukan kepada guru dan murid untuk memahami konsep AI serta implementasinya dalam bentuk permainan edukatif, dengan tujuan menjadikan pembelajaran lebih interaktif dan relevan dengan konteks digital saat ini.
Senada dengan Maman, Education Lead Canva Indonesia, Pipit Indrawati, menyoroti pentingnya memberdayakan guru sebagai ujung tombak yang akan membawa AI kepada peserta didik.
Baru-baru ini, Canva meluncurkan fitur baru Canva Code untuk mendukung guru menciptakan pembelajaran yang kreatif dan interaktif.
"Canva juga menyediakan pelatihan bagi komunitas guru yang kini memiliki seratus ribu anggota dalam bentuk roadshow dan webinar dengan topik pelatihan yang disesuaikan bagi para guru," kata Pipit.
