Tantangan kebijakan integrasi AI pada ekosistem kesehatan nasional

By Suci Wulandari

Asisten Profesor dari Duke-NUS Centre for Outbreak Preparedness membahas bagaimana Indonesia dapat membangun ekosistem kesehatan digital yang tangguh dan berorientasi pada masyarakat.

Asisten Profesor dari Duke-NUS Centre for Outbreak Preparedness, Suci Wulandari, menyoroti strategi investasi yang terencana dalam pengembangan sumber daya manusia multidisiplin sebagai bagian dari transformasi kesehatan digital di Indonesia. Foto: Canva

Perlombaan global untuk memperkuat sistem kesehatan pasca-pandemi telah mempercepat upaya transformasi kesehatan digital di seluruh dunia. Momentum ini terlihat sangat jelas di Indonesia.  


Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia berada di titik persimpangan dalam perjalanan kesehatan digitalnya – hal ini ditekankan dalam APAC Health and Life Sciences Summit yang diadakan di Jakarta pada 3 Juni. 


Di dalam lanskap sistem kesehatan digital Indonesia terdapat SATUSEHAT, platform integrasi data kesehatan nasional yang dirancang untuk menyatukan informasi kesehatan di seluruh penyedia layanan publik dan swasta. 


Namun, infrastruktur hanyalah langkah pertama, dan platform saja tidak akan menjamin transformasi. Fase berikutnya lebih kompleks – dan lebih manusiawi. 


Jika Indonesia ingin sistem kesehatan yang digital dan adil benar-benar berhasil, hal itu harus didorong oleh strategi ganda: investasi yang terencana pada sumber daya manusia multidisipliner dan pengembangan tata kelola yang fleksibel dan etis secara bersamaan. 


Mengambil wawasan dari pertemuan di atas, artikel ini menguraikan kerangka kerja berorientasi kebijakan untuk mencapai fase kompleks berikutnya berupa kesehatan digital yang lebih matang.  

Dua pilar ekosistem kesehatan digital yang berkelanjutan 


Pertemuan APAC Health and Life Sciences Summit mengumpulkan pemimpin dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), bersama mitra regional dan global. 


Tema yang kembali mencuat? Sistem yang tangguh membutuhkan lebih dari sekadar teknologi. Dibutuhkan orang-orang dengan keterampilan yang tepat dan kebijakan yang mendukung kepercayaan dan inovasi. 


Pilar pertama adalah mengembangkan sumber daya manusia untuk kesehatan digital dan kecerdasan buatan (AI). Agenda puncak berulang kali menekankan kebutuhan untuk “meningkatkan kapasitas tenaga kerja”. Untuk ekosistem digital, hal ini melampaui peran tradisional di bidang kesehatan. 


Indonesia perlu mengembangkan tiga kelompok profesional khusus: 

  1. Profesional kesehatan yang memahami pentingnya data: Dokter dan praktisi kesehatan masyarakat harus melihat data sebagai aset inti untuk meningkatkan layanan kepada pasien dan efisiensi sistem. 
  2. Ahli teknis khusus: Ahli informatika kesehatan, bioinformatika, bioteknologi, ilmuwan data, dan insinyur AI dalam negeri yang dapat mengelola platform nasional dan mengembangkan alat digital berbasis AI yang relevan secara lokal.  
  3. Spesialis regulasi dan etika: Kelompok profesional baru yang menguasai teknologi dan kebijakan untuk mengatasi kompleksitas privasi data, bias algoritma, dan implementasi etis AI dalam sektor kesehatan. 

Tanpa kapasitas manusia ini, SATUSEHAT berisiko menjadi alat yang kurang dimanfaatkan untuk mendukung prioritas kesehatan nasional seperti program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).  


Berlangganan bulletin GovInsider di sini 


Pilar kedua adalah menetapkan tata kelola yang fleksibel dan etis. 


Tema utama dalam pertemuan puncak adalah pentingnya “memperkuat lingkungan regulasi untuk mendukung inovasi”.  


Dalam konteks kesehatan digital, tata kelola bukanlah hambatan tetapi prasyarat untuk kemajuan, dengan dua fungsi utama. 


Pertama, tata kelola berfungsi untuk memperoleh kepercayaan publik. Kerangka tata kelola yang kokoh yang mencakup privasi data, keamanan, dan model persetujuan, amatlah penting untuk memperoleh kepercayaan publik yang diperlukan untuk menggapai partisipasi yang luas.


Kepercayaan ini merupakan landasan bagi terbentuknya ekosistem berbagi data (data-sharing) yang sukses. 


Kedua, tata kelola memfasilitasi inovasi yang bertanggung jawab dengan menyediakan regulasi yang jelas dan dapat diprediksi yang dibutuhkan oleh inovator swasta dan akademis untuk berinvestasi dalam pengembangan solusi kesehatan digital baru. 


Seperti yang diungkapkan oleh pembicara utama, Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Kemenkes, L. Rizka Andalucia, dukungan kebijakan sangat penting untuk inovasi di industri ilmu tentang makhluk hidup (life science industry). 


Kerangka kerja tata kelola yang fleksibel harus mampu mengevaluasi dan mengatur teknologi canggih seperti diagnostik berbasis AI dan perangkat lunak sebagai perangkat medis (SaMD) tanpa menghambat pengembangan.  

Menuju SATUSEHAT yang siap AI 


Platform SATUSEHAT mewakili unifikasi data – sebuah langkah pertama yang menentukan.    

Namun, peluang sesungguhnya terletak pada pemanfaatan data terintegrasi ini untuk aplikasi canggih yang dapat meningkatkan outcome dari sistem kesehatan.

  

Langkah berikutnya adalah menjadikan ekosistem ini benar-benar siap AI.

   

Hal ini melibatkan fokus kebijakan yang diarahkan pada: 

  1. Jaminan kualitas data: Menerapkan standar nasional dan mekanisme audit untuk memastikan data yang masuk ke SATUSEHAT akurat, lengkap, dan tepat waktu sehingga dapat digunakan untuk melatih model AI yang andal. 
  2. Kerangka kerja AI etis: Mengembangkan pedoman khusus untuk pengembangan, validasi, dan penerapan AI dalam konteks kesehatan Indonesia, dengan fokus pada keadilan dan mitigasi bias.  
  3. Kapasitas R&D lokal: Membuat lingkungan “sandbox” yang aman di mana peneliti Indonesia dapat menggunakan data kesehatan yang dianonimkan untuk membangun dan menguji model AI yang mengatasi tantangan kesehatan.  

Langkah ke depan 


Indonesia berada dalam posisi yang baik untuk menjadi pemimpin regional dalam kesehatan digital, tetapi kesuksesan memerlukan upaya yang berkelanjutan dan terkoordinasi.


Berdasarkan semangat kolaboratif dari pertemuan APAC Health and Life Sciences Summit yang melibatkan mitra dari sektor publik, swasta, dan filantropi, beberapa langkah konkret dapat membantu mempercepat jalur ini:  

  1. Mengintegrasikan kesehatan digital ke dalam pendidikan: Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan harus berkolaborasi untuk mengintegrasikan ilmu data, informatika kesehatan, dan etika digital ke dalam kurikulum sekolah kedokteran dan kesehatan masyarakat.  
  2. Bentuk tim satuan tugas nasional untuk tata kelola kesehatan digital dan AI: Kelompok lintas sektor yang terdiri dari perwakilan sektor publik, akademisi, kelompok advokasi pasien, dan mitra swasta, harus bersama-sama mengembangkan regulasi yang fleksibel untuk AI dan mekanisme berbagi data.  
  3. Manfaatkan kemitraan internasional: Memanfaatkan keahlian internasional dan akademis untuk mempercepat transfer pengetahuan dalam ilmu regulasi, Health Technology Assessment (HTA) untuk alat digital, dan analisis data canggih. 

Meskipun fondasi teknologi telah terbentuk, kesuksesan jangka panjang transformasi kesehatan digital Indonesia akan ditentukan oleh investasi sumber daya manusia dan prinsip-prinsip.


Dengan secara sistematis mengembangkan sumber daya manusia dan kerangka kerja tata kelola, Indonesia dapat memastikan ekosistem kesehatan digitalnya menciptakan masa depan kesehatan yang lebih adil dan tangguh bagi warga. 



Penulis adalah Asisten Profesor di Duke-NUS Centre for Outbreak Preparedness, Singapura.