Bagaimana e-health membantu kesetaraan akses kesehatan di Indonesia dan Filipina
Oleh Mochamad Azhar
Pejabat pemerintah, eksekutif rumah sakit, serta praktisi teknologi bergabung pada diskusi panel “Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Pedesaan dan Daerah Terpencil di Indonesia dan Filipina” yang diselenggarakan GovInsider bekerja sama dengan Zoom di Jakarta beberapa pekan yang lalu. Diskusi tersebut diselenggarakan untuk mencari solusi atas tidak meratanya akses pelayanan kesehatan di dua negara.
Para pengambil kebijakan kesehatan dan praktisi e-health di Indonesia dan Filipina sepakat untuk menciptakan ekosistem kolaborasi di dalam universal healthcare. Image: GovInsider
“Adopsi teknologi informasi di sektor pelayanan kesehatan (e-health) dapat membantu pemerintah Indonesia maupun Filipina meningkatkan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan,” kata dr Hariadi Wisnu Wardana, Wakil Direktur Tata Kelola Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Indonesia, menjawab tantangan yang dihadapi dalam memberikan pelayanan kesehatan di pelosok.
Di samping dr Hariadi, panelis lainnya adalah Chief Health Program Officer pada Departemen Kesehatan Filipina Ray Justine Ventura, Zoom Head of UCaas APAC Nathan Guy (tampil secara online), Chairman CareSpan Asia Nonoy Colayco, dan Founder & CEO MiyaHealth Ramesh Rajentheran.
Dalam diskusi itu, para panelis menyepakati pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan penyedia layanan kesehatan demi mencapai pemeriksaan pasien yang lebih baik dan biaya perawatan yang lebih murah.
Teknologi sebagai solusi
Zoom Head of UCaas APAC, Nathan Guy, menjelaskan bahwa pembukaan akses layanan konsultasi kesehatan jarak jauh bisa menjadi solusi yang cepat dan murah, mengingat kondisi geografis Indonesia dan Filipina yang merupakan negara kepulauan.
“Penanganan pasien bisa lebih efisien dengan menggunakan konsultasi audio atau video, dengan kualitas yang sama dengan konsultasi secara fisik,” ujar Nathan.
Zoom menawarkan solusi yang dapat mengintegrasikan platform aplikasi medis dengan pelayanan kesehatan, serta menyediakan jalur-jalur teknologi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan pelayanan kesehatan di Indonesia dan Filipina.
Chairman CareSpan Asia Nonoy Colayco mengatakan bahwa sebuah platform aplikasi medis memungkinkan pasien mengkonsultasikan kondisi kesehatannya kepada dokter secara online tanpa harus menempuh jarak yang jauh dan antre terlalu lama di klinik.
“Konsultasi dilakukan secara komprehensif melalui clinic-in-the-cloud, diikuti pemantauan pasien jarak jauh dan hasil perawatan kesehatan akan disimpan pada rekam medis elektronik terintegrasi,” ujar Nonoy.
Founder & CEO MiyaHealth dr Ramesh Rajentheran menambahkan, platform e-health juga didukung oleh tampilan antar muka yang sederhana sehingga mudah digunakan oleh siapapun, termasuk oleh lansia atau orang yang kurang familiar dengan perangkat teknologi informasi.
“Pasien dibantu avatar yang akan mengidentifikasi keluhan-keluhan simptom, apakah sakit ringan, sakit sedang, atau sakit berat. Proses navigasi di dalam aplikasi akan menentukan tindakan lebih lanjut berupa monitoring atau perawatan kesehatan,” ujar dr Ramesh.
MiyAruga, adopsi platform MiyaHealth berbasis komunitas di Filipina, juga melibatkan organisasi sosial yang berperan mengedukasi dan memberikan pendampingan kepada pasien dalam menggunakan platform layanan kesehatan sehingga hasilnya bisa lebih maksimal.
Tantangan yang dihadapi
Selama diskusi, panelis dari pemerintah mengungkap tantangan yang dihadapi saat mengadopsi e-health, diantaranya masalah biaya, infrastruktur digital yang belum memadai serta implementasi program yang lemah.
Wakil Direktur Tata Kelola Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan dr Hariadi Wisnu Wardhana menjelaskan upaya pemerintah Indonesia dalam menerapkan e-health yang dipadukan dengan Pelayanan Kesehatan Bergerak (PKB), sebuah program pengiriman tim pemeriksa kesehatan ke daerah pelosok secara berkala.
Namun, investasi yang dibutuhkan untuk menjalankan program amat besar. Sementara pemerintah tidak memiliki cukup sumber daya untuk memenuhi permintaan semua kelompok target pada waktu yang bersamaan.
“Masyarakat desa dan daerah terpencil ini yang ingin diperiksa kesehatannya sangat banyak, sementara dokter dan tenaga medis yang terlibat dalam program jumlahnya sedikit,” kata dia.
Kedua, akses internet dan kelistrikan juga kurang memadai. “ketika petugas kesehatan melakukan telekonsultasi, tiba-tiba jaringan internetnya mati atau listrik padam sehingga menghambat penanganan pasien,” dr Hariadi melanjutkan.
Dengan keterbatasan yang dialami, dr Hariadi berharap pelayanan telemedicine bisa dioptimalkan di masa depan untuk mengurangi ketimpangan.
Chief Health Program Officer pada Departemen Kesehatan Filipina Ray Justine Ventura menambahkan, hambatan lain yang juga muncul saat mengadopsi e-health adalah implementasi program yang lemah. Ia mencontohkan integrasi rekam medis elektronik (EMR) secara nasional, di mana 80% masih menggunakan data sistem asuransi kesehatan pemerintah.
Data pasien yang tersebar di fasilitas kesehatan belum terintegrasi sepenuhnya ke dalam sistem EMR nasional. “Kami memulai e-healthcare sebagai strategi nasional sejak 25 tahun yang lalu. Kebijakan dan regulasi sudah baik, tapi implementasinya soal lain,” ujar Ray.
Dr Hariadi dan Ray juga mengakui kurangnya keterlibatan pemerintah daerah, padahal pemerintah lokal juga berkewajiban membantu pemerintah pusat dalam pelayanan kesehatan di wilayah pedesaan.
Dr Hariadi mencontohkan Kementerian Kesehatan telah mengirim alat-alat kesehatan ke pemerintah daerah, namun alat tersebut terbengkalai karena sarana dan prasarana daerah tidak siap.
Platform kesehatan yang murah dan ramah bandwith
Penyedia layanan kesehatan menawarkan solusi untuk mengatasi tantangan biaya operasional dan infrastruktur digital yang buruk di pedesaan dan daerah terpencil.
Dr Ramesh Rajentheran menggarisbawahi, mahal atau murah biaya platform kesehatan tergantung pada sejauh mana capaian sukses sebuah program. Pada titik ini, semakin banyak orang yang mendapatkan pelayanan kesehatan melalui platform online dengan kualitas yang sama seperti di fasilitas pelayanan kesehatan primer, maka capaiannya akan semakin baik.
Platform MiyAruga memungut biaya US$ 5 per warga negara untuk terhubung ke layanan. “Biaya perawatan dan tindakan medis lebih lanjut akan dikenakan kepada pembayar karena platform ini terhubung dengan sistem asuransi kesehatan pemerintah,” ujar dr Ramesh.
Terkait masalah kelistrikan dan konektivitas di daerah terpencil, dr Ramesh menuturkan bahwa MiyAruga adalah platform berbasis telepon pintar sehingga akan tetap menyala meski listrik padam. Aplikasinya pun sederhana dan tidak membutuhkan banyak bandwith.
Bagaimana jika listrik dan jaringan internet padam bersamaan? Penyedia layanan bisa mengirimkan notifikasi kepada pasien melalui SMS sehingga bandwith-independent. “Dalam keterbatasan apapun, solusinya selalu ada di sekitar kita,” kata dia.
Membangun ekosistem kolaborasi
Para pembicara panel sepakat bahwa kesetaraan akses kesehatan tidak mungkin tercapai jika hanya melibatkan kerja satu pihak. Semua stakeholders, baik pemerintah pusat, pemerintah lokal, rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, dan penyedia layanan e-health harus mengambil bagian dalam ekosistem universal healthcare.
Kolaborasi antara rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta juga dibutuhkan, dengan keunggulannya masing-masing, untuk menghasilkan perawatan kesehatan pasien yang lebih baik. Pemerintah pusat juga bisa mempertimbangkan insentif/dana kompensasi kesehatan untuk rumah sakit swasta yang mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan di daerah terpencil.
Di Indonesia, 25% dari sekitar 10 ribu fasilitas kesehatan primer (puskesmas) berada di daerah terpencil dan sangat terpencil dengan sarana dan prasarana minimal. Dokter dan tenaga medis pun lebih banyak terdistribusi di area perkotaan.
Di Filipina, 60 juta dari 110 juta populasi tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Terdapat 4.200 fasilitas kesehatan di tingkat komunitas yang tidak memiliki dokter dan perawat.