Bagaimana pusat data nasional (PDN) mengatasi tantangan pemerintahan digital
Oleh Mochamad Azhar
Pusat Data Nasional berstandar global tier-4 akan menjadi infrastruktur utama digitalisasi pemerintahan serta mendorong penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pelayanan publik lebih efektif dan efisien. Direktur LAIP Kominfo Bambang Dwi Anggono membeberkan sejumlah alasannya.
Pemerintah Indonesia membangun Pusat Data Nasional untuk mendukung layanan administrasi pemerintahan berbasis elektronik. Sumber: Canva
Hambatan yang kerap muncul dalam pelaksanaan e-government di Indonesia ialah masing-masing instansi bergerak sendiri-sendiri dalam mencapai tujuan.
Namun, setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden mengenai Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang mewajibkan seluruh pemerintahan pusat maupun lokal wajib menerapkan e-government pada 2025, seluruh aparat negara memulai untuk berkolaborasi.
Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintahan pada Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Bambang Dwi Anggono, bercerita kepada GovInsider tentang bagaimana Pusat Data Nasional (PDN) akan mengatasi silo dan memastikan tujuan e-government berjalan pada jalur yang tepat.
“PDN akan menjadi infrastruktur digital hulu untuk memastikan terselenggaranya e-government dengan baik dan berkesinambungan sesuai arahan presiden,” ungkap Bambang.
Mengatasi tumpang tindih data antar instansi
Bambang mengumpamakan Indonesia sebagai negara kesatuan, tapi dalam hal data ibarat negara serikat karena masing-masing instansi memiliki data center sendiri.
Berdasarkan data Kementerian Kominfo, saat ini terdapat lebih dari 2.700 data center yang dimiliki oleh 629 instansi, baik instansi yang berada di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Kementerian juga mencatat ada lebih dari 24.000 aplikasi pemerintahan dan pelayanan publik yang dikembangkan oleh instansi-instansi tersebut.
Database yang dimiliki tiap instansi juga banyak terduplikasi sehingga menyulitkan petugas untuk menggunakan data yang tepat. Padahal, validitas dan reliabilitas data dibutuhkan sebagai input kebijakan publik.
Contohnya pada kebijakan bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19. Kementerian Sosial memiliki database penduduk miskin sendiri, lalu tiap-tiap pemerintah lokal juga punya database sendiri.
Akibatnya distribusi bantuan sosial menjadi tidak merata. Ada penduduk yang dapat 2 paket bantuan, ada penduduk yang hanya dapat 1 paket bantuan, dan ada penduduk yang tidak mendapat paket bantuan sama sekali.
“Pembangunan PDN ini diharapkan mampu mengintegrasikan seluruh data center yang tersebar dan mengatasi tumpang tindih data antar instansi,” papar Bambang.
Selain itu, tidak semua data center mempunyai infrastruktur kelistrikan yang stabil. Ketika listrik padam, sejumlah data center tidak berfungsi dan akhirnya menghambat kinerja aparat. Hambatan lainnya adalah konektivitas yang belum memadai di daerah terpencil, yang mengharuskan seorang petugas data melakukan input serta penyimpanan secara manual dan tidak terkoneksi internet.
“PDN memastikan operabilitas data berjalan optimal selama 24 jam tanpa terputus karena akan mendapatkan suplai dari pembangkit listriknya sendiri,” Bambang menjelaskan
Setelah PDN berdiri, seluruh instansi diwajibkan untuk mengintegrasikan data center yang dimilikinya ke dalam PDN. “Kewajiban ini juga akan disertai ketentuan bahwa instansi tidak diperkenankan lagi mengajukan belanja proyek data center baru di APBN,” ungkap Bambang.
Menurut Bambang, PDN adalah program strategis nasional berupa pengadaan megaserver berkapasitas prosesor 25 ribu core, kapasitas penyimpanan 40 PetaByte, memori 200 TeraByte, dan didukung kapasitas tenaga listrik 20 Megawatt.
Government cloud computing di PDN
Bambang menegaskan infrastruktur data center terkonsolidasi bukanlah tujuan akhir, melainkan penyelenggaraan e-government yang lebih efektif serta menghasilkan pelayanan publik yang lebih berkualitas.
Langkah pertama, pemerintah akan menata ulang ribuan aplikasi yang tersebar di seluruh instansi pemerintah pusat dan pemerintah lokal menjadi lebih efisien dan tidak membingungkan masyarakat. “Peleburan menjadi superapp amat memungkinkan, contohnya satu aplikasi untuk pelayanan kesehatan, pelayanan kepegawaian, perizinan usaha, hingga imigrasi,” ungkap Bambang.
Langkah kedua adalah menanamkan berbagai perangkat lunak yang mendukung kreativitas pengguna PDN seperti cloud computing, big data analytic hingga kecerdasan buatan, dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan dan melahirkan inovasi dalam pelayanan publik.
Berbagai layanan seperti infrastructure as a service (IaaS) platform as a service (PaaS), software as a service (SaaS), hingga security as a service (SECaas) disediakan secara gratis oleh pemerintah untuk digunakan secara mandiri oleh pengguna.
“Pemerintah memastikan kualitas layanan cloud di PDN setara dengan penyedia layanan terkemuka seperti Google, Amazon Web Service atau Alibaba dengan tingkat keamanan yang bisa diandalkan,” Bambang menyinggung kualitas layanan di PDN.
PDN juga menjadi instrumen andal yang mampu menjaga kedaulatan data milik warga negara. PDN akan menyediakan perlindungan keamanan secara berlapis sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Meski PDN dikelola secara sentralistis, namun semua instansi akan dilibatkan dalam membuat aplikasi yang relevan. Kementerian Kominfo akan berkolaborasi dengan seluruh Divisi Pusat Data dan Informasi di kementerian/lembaga (pemerintah pusat) serta Dinas Kominfo di seluruh Indonesia (pemerintah daerah) untuk membangun sistem operasi yang sesuai kebutuhan pelayanan publik di instansi masing-masing.
“Kami juga akan memberikan pelatihan bagi talenta-talenta digital di masing-masing instansi pengguna PDN agar mampu menggunakan layanan cloud computing dengan baik dan bertanggung jawab,” Bambang melanjutkan.
Menghemat anggaran hingga triliunan
PDN membuat anggaran belanja negara lebih efisien. Total biaya yang dihabiskan untuk belanja ribuan data center di seluruh instansi pemerintahan mencapai lebih dari Rp 20 triliun per tahun. Angka itu belum termasuk biaya listrik, biaya pemeliharaan, jasa cloud computing, hingga jasa keamanan siber.
“Jika ribuan pusat data bisa diintegrasikan menjadi 5-10 pusat data saja, bayangkan berapa triliun rupiah anggaran yang bisa dihemat per tahun,” Bambang menekankan.
Sambil menunggu PDN selesai dibangun, pemerintah melakukan upaya paralel mengintegrasikan semua pusat data melalui PDN sementara. Pemerintah mengurai data yang terduplikasi serta memilah mana data center yang masih layak berdiri dan mana yang akan ditutup.
Karena itu, ia meminta dukungan dan komitmen dari seluruh instansi penyelenggara pusat data di tingkat pusat maupun tingkat lokal untuk bekerja sama menyukseskan PDN sebagai program strategis nasional. “Arahan presiden jelas bahwa terselenggaranya pemerintahan digital secara menyeluruh tidak akan terwujud jika kita tidak bekerja sama,” tutup Bambang.
Groundbreaking PDN dilakukan di atas tanah seluas 14.000 meter persegi di kawasan Deltamas Cikarang, Jawa Barat, pada November 2022 lalu. Tiga PDN lainnya akan dibangun di Batam, Labuan Bajo, dan di Ibu Kota Nusantara. PDN tahap I menelan biaya 164,4 juta euro atau setara Rp2,6 triliun dengan pembiayaan Pemerintah Perancis 85% dan Pemerintah Indonesia 15%. Fasilitas ini ditargetkan rampung 20 Oktober 2024.