Belajar dari Denmark, pemimpin e-government di dunia
Oleh Si Ying Thian
Adam Lebech dari Danish Agency for Digital Government berbagi bagaimana negara Nordik ini menggunakan pemerintahan digital untuk menjaga kepercayaan publik yang kuat, menciptakan pengalaman digital yang mulus dengan mengintegrasikan sektor publik dan swasta, serta menghadapi tantangan kedaulatan digital.

Adam Lebech dari Danish Agency for Digital Government berbagi pengalaman pemerintah digital Denmark. Foto: Danish Agency for Digital Government
Bukan suatu kebetulan bahwa beberapa negara yang paling digital di dunia—seperti Denmark, Estonia, dan Singapura—memiliki tingkat kepercayaan publik tertinggi terhadap pemerintah mereka.
Transformasi digital adalah jalan dua arah bagi kepercayaan publik.
Agar inisiatif pemerintahan digital berhasil, mereka memerlukan fondasi kepercayaan warga. Sebaliknya, inisiatif tersebut juga dapat membantu pemerintah membangun kepercayaan dengan menghadirkan layanan yang lebih baik dan responsif.
Sejak 2018, Denmark secara konsisten berada di puncak E-Government Survey PBB.
Wakil Direktur Jenderal Danish Agency for Digital Government, Adam Lebech, mengatakan kepada GovInsider bahwa meskipun masyarakat dengan tingkat kepercayaan tinggi telah menjadi modal besar bagi keberhasilan pemerintahan digital di Denmark, kepercayaan itu harus terus dijaga melalui langkah-langkah yang disengaja.
“Kami menempatkan warga di pusat dari semua yang kami lakukan, dan mencoba merancang layanan digital di sekitar mereka,” ujarnya, sembari menekankan bahwa keberhasilan digital Denmark berasal dari pendekatan yang berfokus pada pengguna.
Pentingnya budaya berbagi data
Mengadopsi pendekatan yang berfokus pada pengguna berarti lembaga ini menggunakan data secara efektif dan terus menyempurnakan solusi bersama pengguna, jelas Lebech.
Menurutnya, pemerintahan digital yang efektif lebih dari sekadar memindahkan layanan publik yang ada ke ranah daring, melainkan mengembangkan solusi berdasarkan use case nyata.
“Untuk menciptakan pemerintahan digital yang hebat, Anda harus bisa menggunakan data lintas instansi. Berbagi dan mengelola data ini membutuhkan banyak kepercayaan dari warga,” jelasnya.
Lebih dari 50 tahun lalu, Denmark memutuskan untuk menggunakan satu pengenal nasional (CPR) untuk semua layanan pemerintah, yang kemudian terhubung dengan kunci digital tunggal bernama MitID, katanya.
Keputusan ini menjadi dasar bagi fondasi data yang kuat dan budaya berbagi data antarinstansi pemerintah.
Pada gilirannya, hal ini krusial untuk menciptakan pengalaman yang konsisten dan berfokus pada pengguna saat warga mengakses berbagai layanan digital penting dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Integrasi mendalam publik-swasta
Walau banyak negara memiliki ID digital, sistem MitID Denmark menonjol karena integrasinya yang mendalam di sektor publik maupun swasta, termasuk perbankan.
Integrasi publik-swasta ini memperluas use case dan mendorong adopsi luas solusi pemerintahan digital di kalangan warga, jelasnya.
“Orang pada umumnya tidak peduli instansi mana yang bertanggung jawab menyediakan layanan tertentu, mereka hanya ingin urusannya selesai,” kata Lebech.
Untuk memudahkan warga berpindah tanpa hambatan antara layanan publik dan swasta, pemerintah mengadopsi model kepemilikan bersama untuk sistem digitalnya.
Berbagai level pemerintahan—nasional (40 persen), regional (40 persen), dan lokal (20 persen)—bersama-sama memiliki sistem kunci seperti portal nasional warga dan ID digital.
Lebech mencontohkan Digital Post. Selama lebih dari 15 tahun, Denmark mewajibkan seluruh komunikasi pemerintah di semua level dikirimkan ke warga melalui satu lokasi, sehingga menghapus kebutuhan surat kertas.
Dalam lingkungan yang semakin terdigitalisasi, Lebech mengatakan bahwa teknologi dan kebijakan harus berkembang bersama untuk melayani sekaligus melindungi masyarakat.
Ia menambahkan bahwa pemerintah secara aktif mengesahkan undang-undang dan aturan baru terkait sistem pemerintahan digital untuk melindungi hak-hak masyarakat.
Berfokus pada manusia, bukan proses
Mengikuti tren yang terlihat di banyak pemerintahan saat ini, pemerintah Denmark mengadopsi proses pengembangan digital yang gesit dan iteratif.
“Cara yang salah untuk merancang sistem digital adalah dengan menganggapnya seperti membangun pencakar langit. Anda tidak bisa merencanakan semuanya di awal lalu membangunnya sesuai rencana,” ujarnya.
“Anda harus membangun sistem digital ini dari bawah. Fokus pada use case skala kecil, seperti minimum viable product dan uji coba, uji langsung dengan pengguna, lalu kembangkan,” jelasnya.
Untuk menggambarkan pendekatan ini, ia mencontohkan proses lembaganya mengembangkan aplikasi dompet digital, dengan pakar kegunaan langsung mengujinya di situasi nyata seperti supermarket.
Dengan menguji bersama beragam pengguna, termasuk penyandang disabilitas, lansia, dan mereka dengan literasi digital rendah, pemerintah dapat menyempurnakan solusinya agar cukup aman untuk dipercaya, sekaligus cukup mudah digunakan agar bisa diadopsi semua orang, tambahnya.
Integrasi dompet digital
Aplikasi dompet digital akan dilaksanakan dalam tiga fase, kata Lebech, dengan versi pertama dijadwalkan meluncur pada awal 2026.
Menurutnya, fase pertama proyek akan berfokus pada use case esensial seperti verifikasi usia.
Fase kedua akan memperluas jumlah pengguna dan use case lain. Fase terakhir akan melibatkan integrasi dengan sektor swasta dan penyelarasan dengan regulasi Uni Eropa (UE) yang lebih luas.
Lebech menjelaskan bahwa setiap negara mengembangkan dan melaksanakan aplikasi dompet digitalnya masing-masing berdasarkan kerangka arsitektur bersama yang disediakan oleh UE, dikenal sebagai eIDAS2.
Tantangan terbesar terkait pendaftaran pengguna dan integrasi layanan memerlukan solusi di tingkat nasional, katanya.
Ini berarti mendorong warga untuk mendaftar dan aktif menggunakan aplikasi, serta mengintegrasikan penyedia layanan ke dalam aplikasi.
Menuju kemandirian digital
Terkait meningkatnya kekhawatiran soal kedaulatan digital di kawasan, Lebech menuturkan bahwa Eropa, termasuk Denmark, sedang aktif membahas kebutuhan untuk membangun kapasitas teknologi mereka sendiri dan mengurangi ketergantungan pada perusahaan teknologi besar di luar kawasan.
Untuk membantu hal ini, inisiatif EuroStack bertujuan memetakan seluruh tumpukan perangkat lunak dan infrastruktur untuk mengidentifikasi serta mengurangi ketergantungan tersebut, yang ia akui sebagai “upaya jangka panjang.”
Meskipun sistem digital utama nantinya mungkin akan menggunakan vendor asing, sistem tersebut di-host secara lokal di Denmark dan lembaga memiliki kode sumbernya. Hal ini demi memastikan bahwa pemerintah tidak terikat pada satu vendor saja dan dapat beralih jika diperlukan, tambahnya.