Danantara pimpin transformasi tata kelola sampah menjadi energi
Oleh Mochamad Azhar
Danantara, lembaga pengelola investasi (SWF) baru Indonesia, akan mengoordinasikan proyek nasional pengolahan sampah menjadi energi dengan menggandeng mitra lokal maupun global.

Danantara akan menjadi integrator nasional proyek pengolahan sampah menjadi energi di Indonesia. Foto: Canva
Dalam presentasinya di acara Bloomberg Technoz Ecoverse 2025 di Jakarta baru-baru ini, Managing Director, Investment, Danantara, Stefanus Ade Hadiwidjaja, menegaskan bahwa proyek pengolahan sampah menjadi energi (waste-to-energy/WTE) yang disiapkan oleh Danantara bukan sekadar pembangunan fasilitas atau penambahan portofolio investasi.
Program ini, menurut dia, merupakan langkah strategis untuk menjawab krisis sampah yang kian mendesak.
“Ini adalah kunci untuk menyelesaikan krisis lingkungan yang sudah berada pada tingkat darurat,” ujarnya.
Berbicara di hadapan ratusan hadirin dari pemerintahan dan pelaku industri keberlanjutan, Stefanus menegaskan bahwa krisis sampah di Indonesia tidak bisa lagi ditangani dengan pendekatan konvensional.
Ia menyajikan data bahwa Indonesia menghasilkan hampir satu kilogram sampah per hari, namun hanya sekitar 40 persen yang tertangani. Sisanya menggunung di TPA yang semakin penuh, mengalir ke sungai, atau dibakar di ruang terbuka sehingga menghasilkan emisi metana, pencemaran air lindi, risiko kesehatan dan risiko longsor yang berulang.
Bagi Stefanus, sistem yang berjalan saat ini hanyalah untuk menahan beban yang pada saatnya nanti tidak akan lagi mampu ditanggung.
Dengan melihat contoh sukses di negara-negara seperti Jepang, Singapura, China, dan Eropa, Indonesia juga akan yang telah menjadikan WTE sebagai tulang punggung pengelolaan sampah modern.
“Ini bukan lagi sebuah pilihan melainkan kebutuhan negara,” tambahnya.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Peran strategis Danantara
Menurut Stefanus, Indonesia selama ini menghadapi hambatan dalam proyek WTE karena pemangku kepentingan bekerja secara terpisah. Fragmentasi kewenangan antara pusat dan daerah, regulator dan operator, penyedia layanan dan pemilik lahan telah menghasilkan proyek yang berjalan lambat atau tidak berjalan sama sekali.
Dengan mandat lintas sektor dan kemampuan menghimpun modal internasional, Danantara diyakini akan mampu mengisi celah koordinasi tersebut.
“Kami akan bertindak sebagai integrator lintas kementerian, pemerintah daerah, BUMN, investor, dan memastikan kolaborasi berjalan efektif,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa keberhasilan proyek WTE membutuhkan perbaikan tata kelola, arsitektur pembiayaan, dan rantai pasok yang stabil agar fasilitas dapat beroperasi secara konsisten.
Hingga kini, Danantara telah menyeleksi 24 kandidat teknologi dari lebih dari 200 calon mitra.
Untuk meningkatkan kapasitas industri dalam negeri, semua penyedia teknologi wajib berkolaborasi dengan mitra lokal, baik BUMN, BUMD, maupun perusahaan swasta.
Dengan pendekatan ini, Indonesia tidak hanya membeli mesin, tetapi akan mempelajari bagaimana membangun desain sistem, operasi pabrik, hingga kemampuan memilih dan memelihara teknologi dengan standar global.
“Kita ingin industri ini membangun kapasitas dalam negeri, bukan hanya kapasitas fisik fasilitas,” kata Stefanus.
Skema baru
Stefanus juga menyoroti perubahan regulasi yang menghapus kewajiban pemerintah daerah membayar tipping fee kepada operator fasilitas WTE. Selama ini, biaya tersebut dianggap membebani daerah, sehingga banyak proyek yang berhenti di tahap studi kelayakan.
Dalam skema baru, PLN diwajibkan membeli listrik dari penyedia WTE dengan tarif US$0,20 per kWh dengan selisih biaya ditanggung pemerintah pusat.
“Dengan model ini, daerah tidak perlu membayar apa pun. Mereka hanya perlu menyediakan lahan dan memastikan suplai sampah,” ujarnya.
Skema ini telah diimplementasikan di empat kota percontohan yang meliputi Bogor, Bekasi, Yogyakarta, dan Denpasar, dengan volume pengolahan sampah rata-rata 1.000 ton per hari. Sementara proses tender untuk sekitar 30 kota lain direncanakan dimulai tahun depan.
Ia menilai skema tersebut memberikan kepastian pendapatan bagi investor, mengurangi beban pemerintah daerah, serta membuka jalan bagi percepatan proyek WTE yang sebelumnya mengalami kebuntuan.
Bagi sektor pembiayaan, mekanisme ini merupakan game changer yang mengubah proyek WTE menjadi aset infrastruktur dengan profil risiko yang dapat diterima.
Mandat ganda Danantara
Stefanus menegaskan bahwa sebagai badan pengelola investasi nasional, Danantara memiliki mandat ganda: mengejar imbal hasil komersial sambil mengejar manfaat sosial.
“Ini bukan soal cuan saja. Ini soal intergenerational wealth, tentang apa yang kita bangun hari ini harus melindungi generasi mendatang,” katanya.
Stefanus juga menggarisbawahi bahwa WTE hanya satu bagian dari sistem ekonomi berkelanjutan yang menjadi fokus Danantara.
Lembaga itu juga merancang kerangka energi bersih nasional bersama PLN, mencakup investasi pembangkit energi terbarukan, suplai listrik off grid untuk industri, penyediaan energi hijau untuk pusat data, pembangunan transmisi dan smart grid, serta implementasi smart meter.
“Energi hijau bukan slogan. Ini strategi ekonomi dan investasi jangka panjang,” katanya.
Ia menutup paparannya dengan mengutip pesan Presiden bahwa peradaban suatu negara dapat dilihat dari cara mengelola sampahnya. Pernyataan tersebut, menurut Stefanus, akan menjadi landasan bagi pembentukan sistem pengelolaan sampah yang lebih modern dan berkelanjutan.
Baca juga: Menko AHY: Indonesia bidik dekarbonisasi tanpa deindustrialisasi