Indonesia siap gelar Global DPI Summit 2026, Dukcapil fokus kembangkan IKD
Oleh Mochamad Azhar
Sebagai ikhtiar untuk menyiapkan diri sebagai tuan rumah Global DPI Summit, Ditjen Dukcapil menggelar diskusi panel Digital Identity Forum yang dihadiri para pakar transformasi digital untuk berbagai praktik terbaik.

Pakar global berbagi praktek terbaik digital ID dalam acara Digital Identity Forum di Jakarta, baru-baru ini. Foto: Ditjen Dukcapil Kemendagri.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Kementerian Dalam Negeri, Teguh Setyabudi, menyatakan kesiapan Indonesia untuk menjadi tuan rumah Global DPI Summit 2026, sebuah forum internasional yang membahas pengembangan dan implementasi Infrastruktur Publik Digital (Digital Public Infrastructure/DPI) dari seluruh dunia.
“Lebih dari 42 negara akan hadir di Indonesia, dan itu adalah tugas besar bagi kita. Kementerian Dalam Negeri, dengan dukungan dari Anda semua, siap untuk menyelenggarakannya.”
Pengumuman itu disampaikan Teguh di sela acara “Digital Identity Forum”, yang merupakan bagian dari rangkaian acara Rakornas Dukcapil Dengan Lembaga Pengguna, pada 10 Desember di Jakarta.
Acara Digital Identity Forum bertujuan sebagai ajang yang menghadirkan pembelajaran implementasi identitas digital yang relevan dari para pakar global, sekaligus menegaskan ikhtiar Ditjen Dukcapil untuk mempersiapkan diri jelang perhelatan Global DPI Summit.
Pada sesi diskusi panel sejumlah narasumber berbagi tentang bagaimana Identitas Kependudukan Digital (IKD) yang kini mulai diadopsi luas dapat menjadi fondasi utama DPI, dan cara-cara terbaik untuk mengembangkannya.
Panel dibuka oleh Swetha Kolluri, Senior Program Officer (DPI), Gates Foundation, yang menegaskan bahwa identitas digital dapat menyediakan building block yang dapat digunakan ulang (reusable) untuk memberikan manfaat nyata bagi publik.
Ia merujuk pada pengalaman India sebagai gambaran paling konkret tentang dampak digital ID. Menurutnya, Aadhaar bukan hanya identitas digital, tetapi juga pendorong efisiensi ekonomi.
“Sekitar US$2,2 miliar dolar telah diinvestasi dalam Aadhaar sejauh ini, dan lebih dari US$42 miliar dolar telah diselamatkan,” katanya.
Penghematan itu, lanjutnya, diperoleh dari deduplikasi, transparansi transaksi, dan kemampuan menetapkan identitas unik secara akurat.
Namun, ia menekankan bahwa dampak dari digital ID hanya muncul jika seluruh ekosistem bergerak bersama, bukan berjalan sendiri-sendiri dalam sekat kementerian atau lembaga.
“Apabila ada sesuatu yang bisa membawa dampak pada whole of society, maka dibutuhkan pendekatan whole of society pula untuk membangun sistemnya.”
Identitas digital membutuhkan use case
Sourav Das, Investment Associate di Co-Develop, menegaskan bahwa digital ID hanya bernilai apabila memiliki use case yang nyata.
“Identitas digital tanpa use case adalah tidak terlalu berguna,” ujarnya mengutip pernyataan Dirjen Dukcapil, seraya menambahkan Co-Develop bekerja dengan banyak negara untuk tidak hanya mengimplementasikan DPI, tetapi bagaimana memastikan hadirnya use case di atasnya.
Ia kembali membawa contoh India, menjelaskan bagaimana Aadhaar-enabled payment bridge mengubah penyaluran subsidi elpiji menjadi lebih tepat sasaran.
“Sebelum Aadhaar, ada banyak duplikasi dan kebocoran. Dengan autentikasi Aadhaar, manfaat dapat dikirim langsung ke rekening bank penerima yang sah.”
Use case lain seperti pembukaan rekening bank melalui e-KYC turut mempercepat inklusi finansial di India, dengan biaya pelanggan turun ke rata-rata US$0,27.
Ia juga memaparkan contoh identitas digital Nigeria yang memungkinkan akses ke ratusan layanan publik dan swasta, serta ID Estonia yang digunakan hampir seluruh sektor negara tersebut.
“Prinsip terpenting dari digital ID adalah e-otentikasi, di mana dengan satu identitas bisa mendatangkan banyak manfaat.”
Digital ID, tambah Das, juga relevan dalam penanganan bencana banjir yang baru dihadapi warga di Pulau Sumatera. Otentikasi digital dapat membantu warga mengakses dana darurat ketika dokumen fisik mereka rusak terbawa banjir.
Das turut menyoroti tantangan identitas digital lintas batas, dengan contoh migrasi warga Afrika ke Afrika Selatan, namun identitasnya tidak secara otomatis diakui di negara tujuan.
“Jika saya memiliki identitas Indonesia dan bermigrasi ke Malaysia, kenapa saya tidak bisa mendapatkan layanan di Malaysia menggunakan identitas saya?” seraya menambahkan bahwa tiga negara di Amerika Selatan, yaitu Brazil, Uruguay, dan Argentina, telah berkolaborasi untuk mengintegrasikan identitas digital mereka melalui perjanjian.
Tantangan ini membuka peluang kerja sama regional, termasuk bagi Indonesia yang mulai berperan aktif dalam pembahasan standar identitas digital ASEAN.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Model yang tepat untuk Indonesia
Jonathan Marskel, Senior Digital Specialist dari World Bank, memaparkan bagaimana berbagai negara membangun model ekosistem identitas digital mereka serta bagaimana model tersebut dapat disesuaikan untuk kebutuhan Indonesia.
Marskell membaginya ke tiga model utama: terpusat, federatif, dan terdesentralisasi.
Model terpusat memungkinkan satu penyedia identitas mengelola verifikasi setiap transaksi, seperti di Indonesia. Kelebihannya adalah lebih sederhana, namun membatasi inovasi.
Model federatif memberikan peluang bagi ekosistem penyedia identitas untuk mengembangkan sistem yang diawasi dan disertifikasi negara, seperti di Thailand, Australia, dan Perancis.
Model terdesentralisasi memungkinkan penerbit data mengeluarkan kredensial digital yang berisi data terverifikasi dan disimpan dalam dompet digital warga (digital wallet) yang terintegrasi dengan dokumen lain.
“Dengan verifikasi dilakukan terhadap data di perangkat warga, model ini mengatasi beban jutaan transaksi ke server pusat. Skalabilitasnya jauh lebih tinggi,” katanya.
World Bank melihat tren global bergerak menuju model terdesentralisasi berbasis dompet digital, seperti di Uni Eropa, Korea Selatan, Inggris, dan sejumlah inisiatif negara ASEAN.
Menjawab pertanyaan tentang model ideal untuk Indonesia, Jonathan menegaskan bahwa tidak ada satupun model digital ID sempurna yang bisa disalin mentah dari negara lain mengingat Indonesia adalah negara yang besar, kompleks, dan unik.
“Model terpusat masih bisa menjadi fondasi awal, tetapi dalam jangka panjang model terdesentralisasi akan menjadi bagian penting ekonomi digital Indonesia,” tambahnya.
Ia juga menyinggung lanskap digital ID ASEAN, di mana Singapura paling matang dengan Singpass yang menjangkau hampir seluruh populasi. Indonesia telah mencapai 17 juta pengguna, sementara Malaysia 3 juta, dan Thailand 23 juta. Brunei baru saja meluncurkan aplikasi ID digitalnya. Vietnam menjadi yang tercepat dengan 62 juta pengguna.
Jonathan mencatat bahwa sebagai perpanjangan alami KTP fisik, tampilan digital ID di banyak negara ASEAN menonjolkan versi digital KTP pada halaman utama. Indonesia dan Malaysia belum mengadopsi pendekatan itu.
“Salah satu penggunaan utama digital ID adalah adalah untuk masuk gedung atau naik pesawat. Familiaritas itu penting untuk membangun kepercayaan,” jelasnya.
Interoperabilitas adalah kunci
Bergabung secara virtual, Vineet Bhandari, Head of Country and Program pada Centre for Digital Public Infrastructure (CDPI), mengatakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan unik karena sudah memiliki basis data identitas yang kuat. Tantangannya kini adalah memastikan identitas digital tidak hanya menggantikan KTP fisik, tapi menjadi jantung interoperabilitas layanan publik.
“Nilai sesungguhnya muncul ketika identitas digital terhubung mulus dengan layanan kesehatan, bantuan sosial, pendidikan, hingga pembayaran,” katanya.
Ia menyoroti pentingnya menerapkan interoperability by design agar digital ID benar-benar menjadi penghubung antarsistem dan tidak menambah kompleksitas.
Berikutnya adalah minimisasi data: identitas digital hanya sebagai kunci, bukan brankas.
“Terakhir adalah menyusun shared rules yang mengatur cara lembaga publik dan swasta menggunakan data karena ini terkait dengan trust framework yang bisa bertahan 10 hingga 20 tahun ke depan.”
Arah kebijakan digital ID Indonesia
Dirjen Dukcapil Teguh Setyabudi menegaskan rencana pengembangan identitas digital Indonesia, IKD, ke depan yang akan memanfaatkan biometrik, face recognition, dan liveness detection.
“Kami akan terus memperkuat keamanan sekaligus mempermudah proses verifikasi untuk diintegrasikan ke layanan publik yang lebih luas.”
Pemanfaatan IKD untuk layanan pemerintah dan swasta juga akan semakin diperluas, dengan bekerja sama dengan kementerian, pemerintah daerah, dan segenap lembaga pengguna nonpemerintah.
Ketika berbicara tentang DPI, Teguh menyinggung pilot digitalisasi bantuan sosial di Kabupaten Banyuwangi yang memanfaatkan IKD. Program tersebut menunjukkan bagaimana IKD dapat meningkatkan ketepatan sasaran, meminimalkan hambatan administratif, dan mempercepat layanan.
“Pilot ini telah sukses diterapkan dan kemudian dapat diskalakan di daerah-daerah lainnya dan berlanjut pada kebijakan-kebijakan strategis pemerintah lainnya,” kata Teguh.
Terkait dengan kesiapan Indonesia menjadi tuan rumah Global DPI Summit 2026, Teguh mengajak segenap insan Dukcapil untuk bekerja keras agar lebih banyak lagi use case-use case sukses DPI Indonesia untuk dipresentasikan di acara penting tersebut.