Ini alasan perusahaan ‘Big Tech’ berlomba kembangkan AI di Asia Tenggara
Oleh Si Ying ThianYogesh Hirdaramani
Google, Microsoft, Amazon, dan Huawei adalah beberapa di antara mereka yang telah menggelontorkan investasi besar di kawasan Asia Tenggara di bidang keterampilan AI dan infrastruktur digital, sementara pemerintah setempat berupaya membangun rezim regulasi yang ramah terhadap AI.
Negara-negara Asia Tenggara dan perusahaan teknologi besar bermitra untuk untuk membangun infrastruktur digital yang dibutuhkan negara dalam mengimbangi perlombaan teknologi. Gambar: Canva.
Pemerintah di seluruh dunia saat ini sedang menghadapi dilema yang sulit antara memastikan kedaulatan digital, atau memanfaatkan kehebatan perusahaan-perusahaan teknologi besar (Big Tech) untuk membangun infrastruktur digital yang diperlukan untuk mengimbangi perlombaan teknologi.
Ketika negara-negara Asia Tenggara meluncurkan rencana besar mereka dalam menggunakan dan mengatur AI, mereka menghadapi tantangan seperti kesenjangan talenta digital dan infrastruktur ‘jadul’ yang harus disingkirkan agar masyarakat mereka dapat memperoleh manfaat maksimal dari teknologi yang sedang berkembang.
Selama dua tahun terakhir, GovInsider telah meliput tren Big Tech yang bermitra dengan pemerintah di Asia Tenggara untuk membangun kapasitas kawasan ini dalam merangkul teknologi yang sedang berkembang, termasuk AI, komputasi awan, teknologi 5G, dan banyak lagi.
Mengubah tantangan menjadi peluang
Perusahaan-perusahaan Big Tech berlomba untuk meninggalkan jejak mereka di kawasan Asia Tenggara dalam hal adopsi teknologi baru, dan mendorong solusi akademis dan teknologi mereka. Hal ini diperkuat dengan pengembangan keterampilan dan akademis untuk mengatasi kesenjangan talenta digital yang dihadapi negara-negara di kawasan ini.
Sebagai contoh, Microsoft menargetkan untuk melatih 10.000 pengembang Indonesia untuk menjadi ahli dalam bidang AI melalui program AI Odyssey, yang memungkinkan para pengembang untuk mendapatkan kredensial Microsoft.
Upaya peningkatan keterampilan ini merupakan bagian dari investasi senilai Rp27,6 triliun (US$1,7 miliar) selama empat tahun untuk infrastruktur cloud dan AI di Indonesia. Untuk Malaysia, perusahaan ini telah menginvestasikan Rp32 triliun (US$2,2 miliar) dalam upaya serupa.
Di sisi lain, Huawei ICT Academy bermitra dengan institusi pendidikan untuk memberikan kursus kepada para pelajar tentang teknologi Huawei dan memberikan sertifikasi, demikian dilaporkan GovInsider.
Menyusul keberhasilan uji coba AI generatif dengan pemerintah Singapura, Amazon Web Services dan Google Cloud juga telah meningkatkan kemitraan dan investasi mereka dalam membentuk ekosistem sandbox inovasi dan inisiatif peningkatan keterampilan.
Kemitraan publik-swasta tidak dapat dihindari
Bagi banyak negara ini, memupuk pertumbuhan sektor digital, menarik investasi dari para pemain Big Tech, dan mengembangkan kemampuan AI yang baru lahir adalah tujuan ekonomi utama.
Di Malaysia, Kementerian Sains, Teknologi, dan Inovasi telah bermitra dengan NVIDIA untuk meluncurkan sebuah sandbox AI dalam upaya mencapai tujuan nasional untuk membina 100 perusahaan AI dan menghasilkan US$209 juta dolar pada tahun 2030.
Pentingnya kemitraan antara pemerintah, sektor swasta dan pemangku kepentingan lainnya juga ditekankan oleh Nararya S Soeprapto, Wakil Sekretaris Jenderal ASEAN untuk Urusan Komunitas dan Korporasi, pada Huawei Digital and Intelligent APAC Congress 2024.
Dalam acara tersebut, beliau berbicara tentang peran penting pemain IT dalam membantu negara-negara anggota ASEAN mencapai tujuan ekonomi digital mereka. Hal ini terutama dalam hal menjembatani kesenjangan digital di negara-negara anggota ASEAN.
Kesenjangan dalam kesiapan AI juga telah disorot dalam riset "AI Readiness Index (Oxford 2023)", yang mengukur seberapa siap pemerintah dalam menerapkan teknologi AI untuk layanan publik.
Singapura – sebagai negara yang paling siap untuk AI di Asia Tenggara – memiliki skor 81,97 dari 100. Berikutnya disusul Malaysia dengan skor 68,71, dan Indonesia dengan skor 61,3. Sementara itu, skor rata-rata regional Asia Tenggara adalah 55,49.
Karena mereka berada di garis depan dalam mendorong proyek-proyek AI yang inovatif, bermitra dengan perusahaan teknologi besar – daripada institusi akademis – adalah jalan yang lebih masuk akal bagi negara-negara yang ingin mengembangkan sektor AI mereka.
Dalam hal pengembangan talenta, diperlukan upaya bersama antara sektor publik dan swasta untuk memupuk keterampilan yang diperlukan untuk memenuhi ambisi ekonomi digital.
Menyusun rezim regulasi yang ramah AI
Tidak seperti mitranya di Uni Eropa, yang meluncurkan peraturan AI pertama yang mengikat secara hukum di dunia pada tahun 2023, Asia Tenggara telah mengambil pendekatan yang ramah bisnis dan lebih konsultatif dengan perusahaan teknologi besar dalam mengatur AI untuk mendorong inovasi sektor swasta.
Di kawasan Asia Tenggara, para regulator bertujuan untuk memastikan bahwa regulasi tidak berfungsi sebagai penghalang inovasi, tetapi sebagai pendorong.
Sebagai contoh, AI Verify Foundation Singapura bermitra dengan pemain Big Tech seperti Google, IBM, Microsoft, Red Hat, dan Amazon Web Services untuk mengumpulkan praktik-praktik terbaik AI beretika dari komunitas open-source global.
Reuters sebelumnya melaporkan bahwa Big Tech, termasuk Meta, IBM, dan Google, telah dimintai masukan dalam penyusunan panduan etika dan tata kelola AI ASEAN beberapa tahun yang lalu.
Meskipun para kritikus telah memperingatkan pengaruh Big Tech yang semakin mendominasi dalam kebijakan publik seiring dengan berkembangnya sistem AI, para pendukungnya berpendapat bahwa negara-negara Asia Tenggara harus mendorong inovasi AI bahkan ketika mereka memperkenalkan regulasi untuk mengelola risiko AI.
"Negara-negara anggota ASEAN harus mengupayakan konvergensi regulasi di antara negara-negara anggota dengan kerangka kerja regulasi AI ASEAN yang akan datang dan memprioritaskan keseimbangan antara inovasi dan regulasi AI," demikian sebuah komentar di situs web LSE.
Artikel ini telah diterbitkan dalam Bahasa Inggris pada laman ini.