LAPAN-BRIN: Satelit adalah infrastruktur kritikal
Oleh Si Ying Thian
Erna Sri Adiningsih, Direktur Eksekutif, Indonesian Space Agency (INASA), mengatakan bahwa negara-negara di kawasan Asia-Pasifik dapat membangun ketahanan dengan memanfaatkan observasi bumi untuk meningkatkan tata kelola, serta bekerja sama dalam berbagi data dan keahlian.

Kepala LAPAN, Erna Sri Adiningsih, menjadi pembicara kunci pada acara Planet on The Road, Bali. Foto: Planet
Mulai dari krisis iklim, penurunan keanekaragaman hayati hingga pandemi global, tantangan bersama ini tidak mengenal batas negara.
Erna Sri Adiningsih, Direktur Eksekutif, Indonesian Space Agency (INASA), menjelaskan bahwa observasi bumi (earth observation) menghadirkan peluang unik bagi negara-negara Asia-Pasifik untuk berkolaborasi membangun tata kelola yang tangguh.
Observasi bumi adalah proses mengumpulkan informasi tentang bumi melalui satelit dan sumber lain untuk memahami dampak peristiwa global seperti perubahan iklim, perencanaan kota, pertanian, dan lainnya.
Ia menyampaikan government keynote pada acara Planet on The Road – Bali pada 8 September di Jimbaran, Bali. Acara ini diselenggarakan oleh penyedia citra satelit Planet, dengan GovInsider sebagai media partner.
“Observasi bumi bukan hanya soal melihat planet kita dari atas, tetapi inti dari tata kelola untuk melindungi masyarakat, sumber daya, dan masa depan bersama kita,” katanya.
Ia menekankan bahwa satelit dapat menjadi “jaring pengaman bersama” bagi kawasan. Dengan bekerja sama, negara-negara dapat berbagi data dan keahlian, serta memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk membuat data observasi bumi lebih mudah diakses dan tepat waktu bagi tata kelola yang efektif.
Antariksa sebagai acuan tata kelola
Berdasarkan pengalaman Indonesia, ia menekankan bahwa kombinasi teknologi, manusia, dan tata kelola yang efektif adalah kunci untuk mencapai ketahanan.
Ketika Erna memulai karier antariksa pada 1988, satelit masih langka, mahal, dan umumnya dipakai untuk riset ilmiah. Ia menyoroti bahwa gagasan mendapatkan citra bumi harian saat itu terasa nyaris mustahil.
Lebih dari tiga dekade kemudian, ia menyaksikan transformasi: observasi bumi tidak lagi hanya untuk spesialis, melainkan menjadi alat sehari-hari bagi pemerintah.
Antariksa kini sangat penting bagi Indonesia – negara dengan lebih dari 17.000 pulau dan ratusan juta penduduk – dan menjadi krusial untuk memantau serta melindungi warganya.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini
Mengolah data satelit untuk kebijakan
“Pembuat kebijakan tidak butuh piksel, mereka butuh jawaban,” tegas Erna.
Meskipun satelit dapat menghasilkan data mentah dalam jumlah besar, tantangan sesungguhnya adalah mengubah data itu menjadi wawasan yang dapat ditindaklanjuti, seperti apakah sungai akan banjir besok, petani mana yang perlu dukungan, atau desa mana yang terisolasi.
Dalam presentasinya, ia menyoroti bagaimana AI menjadi alat yang bermanfaat untuk menganalisis big data. Para peneliti saat ini menggunakan AI untuk menganalisis jutaan citra satelit guna mengetahui bagaimana perkembangan kota memengaruhi kenyamanan lingkungan, misalnya seperti yang telah dilakukan di Jakarta.
Erna juga menekankan perlunya pemerintah menutup kesenjangan kapasitas agar bisa memanfaatkan teknologi satelit dan data observasi bumi secara efektif. Ini termasuk keterbatasan akses keterampilan, infrastruktur, dan pendanaan.
Khususnya di daerah terpencil, biaya internet yang tinggi membuat pengunduhan data observasi bumi sulit dilakukan, tambahnya.
Pembicara kebijakan publik dalam webinar terpisah menekankan pentingnya pemerintah membangun kemampuan antariksa sendiri, sebuah proses yang dapat memakan waktu lima hingga sepuluh tahun. Pada saat yang sama, mereka perlu bekerja sama dengan beragam perusahaan swasta untuk menghindari ketergantungan pada satu penyedia.
Di sisi lain, Erna mengakui peran sektor swasta di mana keahlian mereka dapat membantu pemerintah memanfaatkan citra satelit untuk berbagai aplikasi serta mengembangkan platform yang ramah pengguna agar data lebih mudah diakses.
Mengikis silo antar-lembaga
Pemanfaatan data observasi bumi secara efektif membutuhkan kolaborasi antar-lembaga pemerintah, bukan bekerja secara terpisah. Erna menambahkan bahwa berbagi data dan keahlian membutuhkan kemauan politik yang kuat serta investasi berkelanjutan.
LAPAN, misalnya, berada di bawah naungan BRIN – sebuah badan setingkat kementerian yang mengonsolidasikan riset, inovasi, dan teknologi utama negara. Hal ini membantu memperkuat koordinasi nasional dan memungkinkan program antariksa berkembang lebih cepat dan strategis, jelasnya.
Selain itu, BRIN bekerja lintas kementerian. Contohnya adalah kolaborasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Kepolisian RI (Polri) untuk memberantas budidaya ganja ilegal.
Tim Erna mengembangkan sistem pemantauan yang menggunakan data satelit penginderaan jauh untuk mendeteksi dan melacak aktivitas ilegal, khususnya di daerah terpencil yang sulit dijangkau aparat penegak hukum.
Bagi Indonesia yang memiliki wilayah perbatasan luas, citra satelit menjadi kunci untuk memantau perbatasan, mengidentifikasi perubahan kondisi lahan, dan mendeteksi aktivitas ilegal lainnya.
“Satelit bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan infrastruktur kritis,” ujar Erna.
Ia menekankan bahwa pemerintah di kawasan Asia-Pasifik menghadapi tantangan ganda: menjaga pertumbuhan ekonomi sekaligus melindungi masyarakat dan sumber daya. Ke depan, teknologi antariksa dan kerja sama internasional akan semakin vital.
Ia mencontohkan, ketika gempa melanda sebuah pulau terpencil di Indonesia, satelit telekomunikasi dan telepon satelit menjadi satu-satunya jalur komunikasi ketika jaringan darat terputus.
Selain itu, satelit navigasi dan pemetaan posisi juga sangat penting untuk transportasi, logistik, dan keamanan, khususnya di jalur perairan padat seperti Selat Malaka, yang menjaga kelancaran pelayaran global dengan aman.
