Menko AHY: Indonesia bidik dekarbonisasi tanpa deindustrialisasi

Oleh Mochamad Azhar

Pada acara Indonesia International Sustainability Forum 2025, para menteri berkomitmen membangun masa depan yang mandiri, berdaya saing, dan ramah lingkungan.

Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Foto: IISF 2025

Indonesia menempuh jalannya sendiri dalam mengejar pertumbuhan dan keberlanjutan, dengan strategi yang berakar pada pangan, air, energi, dan penguatan sumber daya manusia. 


Dalam pidato pembukaannya di acara Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025 di Jakarta, 10 Oktober, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan bukanlah dua jalur yang saling bertentangan. 


“Iklim dan pembangunan ekonomi harus berjalan bersama dan bukan saling mengorbankan,” ujarnya. 


Menko AHY menantang pandangan bahwa keberlanjutan harus mengikuti model yang dirancang oleh negara-negara maju. Menurutnya, setiap bangsa memiliki konteks dan tantangan yang berbeda. 


“Bagi Indonesia, keberlanjutan harus dimulai dari fondasi paling dasar: pangan, air, dan energi,” ia menambahkan. 


Untuk sektor pangan, ia menekankan bahwa memberi makan lebih dari 280 juta penduduk bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan ujian kedaulatan. Melalui revitalisasi irigasi dan modernisasi rantai pasok, pemerintah berupaya menjaga produktivitas lahan pertanian demi ketahanan jangka panjang. 


Di sisi lain, ketersediaan air bersih menjadi tantangan berikutnya. Meskipun infrastruktur sudah dibangun, AHY menyoroti pentingnya memastikan layanan yang benar-benar nyata dan sampai ke masyarakat.  


“Pada 2045, seluruh wilayah perkotaan harus memiliki akses universal terhadap air bersih melalui jaringan pipa,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa target ini menuntut investasi besar, koordinasi lintas lembaga, dan sistem digital untuk pemantauan layanan yang andal. 


Energi menjadi pilar terakhir sekaligus inti dari transformasi hijau nasional. Melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, pemerintah menargetkan tambahan kapasitas 69,5 gigawatt, dengan 76 persen di antaranya berasal dari energi terbarukan.  


“Jalannya sudah jelas. Sekarang tinggal ujian kedisiplinan: Apakah eksekusinya bisa sejalan dengan ambisi?” tantang AHY. 

Dekarbonisasi tanpa deindustrialisasi 


Menko AHY menegaskan bahwa transisi hijau Indonesia bukan tentang memperlambat industrialisasi, melainkan menyeimbangkannya dengan upaya dekarbonisasi. 


Agenda keberlanjutan ini terhubung erat dengan kebijakan hilirasi industri, yang telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen nikel olahan terbesar di dunia.  


“Kita telah membuktikan bahwa kita bisa beralih dari bahan mentah menjadi produk bernilai tinggi. Langkah berikutnya adalah membuat industri ini lebih bersih,” ujarnya. 


Langkah tersebut meliputi peningkatan efisiensi energi, penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, serta digitalisasi proses industri agar pertumbuhan tidak menambah beban emisi. 


Elektrifikasi transportasi menjadi prioritas. Saat ini Indonesia telah menjual lebih dari 120.000 kendaraan listrik, yang mencakup sekitar 10 persen pangsa pasar domestik.  


“Namun terobosan sejati baru akan terasa ketika elektrifikasi diterapkan lebih masif ke sektor logistik, angkutan barang, dan transportasi publik,” tambah AHY. 


Berlangganan bulletin GovInsider di sini. 

Investasi untuk transformasi hijau 


Di sesi pidato kunci berikutnya, Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, menjelaskan lebih jauh peluang yang dapat dioptimalkan oleh Indonesia untuk mendukung visi keberlanjutan tersebut. 


Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, mengundang sektor swasta dalam proyek-proyek transformasi hijau pemerintah. Foto: IISF 2025  

Potensi energi terbarukan Indonesia, katanya, mencapai 3.700 gigawatt, namun baru sekitar 15,1 gigawatt yang terpasang atau kurang dari satu persen. 


Pemerintah menargetkan 76 persen tambahan kapasitas listrik dalam sepuluh tahun ke depan akan berasal dari sumber terbarukan, termasuk nuklir dan sistem penyimpanan energi 


“Untuk mencapainya, kami mendorong sektor swasta agar menjadi motor utama.”  


Selain energi, Rosan menyoroti penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) sebagai potensi ekspor strategis baru. Dengan kapasitas penyimpanan hingga 577 gigaton CO₂, Indonesia berpeluang menjadi pusat CCS Asia. 


Pemerintah juga menggerakkan program waste-to-energy (pengolahan sampah menjadi energi) di 33 kota, dimulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Bali. Tahap pertama akan dimulai pada November 2025 melalui proses lelang.  


“Program ini akan berdampak positif bukan hanya pada pasokan listrik, tetapi juga pada kesehatan masyarakat dan lingkungan,” dia menambahkan.   

Faktor manusia dan reformasi perizinan  


Kedua menteri menekankan bahwa kebijakan tanpa eksekusi hanyalah aspirasi.


Bagi AHY, kunci keberhasilan terletak pada sumber daya manusia. Pemerintah kini menyelaraskan sistem pendidikan dan sertifikasi dengan kebutuhan ekonomi hijau, mencetak insinyur, perencana, dan pakar keuangan hijau yang siap bekerja di lapangan. 


“Transisi hijau berjalan bukan dengan slogan, tetapi dengan kompetensi,” ujarnya.  


Reformasi perizinan menjadi kunci berikutnya. Menteri Rosan mengumumkan bahwa semua izin dan lisensi investasi kini dapat diterbitkan langsung oleh Kementerian Investasi setelah berkoordinasi dengan 18 kementerian lain. 


“Kami ingin meningkatkan kepastian hukum dengan menyederhanakan prosedur dan memangkas red tape agar proses perizinan investasi menjadi lebih mudah, cepat dan transparan,” katanya seraya menambahkan lembaganya membidik US$650 miliar dari proyek-proyek keberlanjutan dalam dua dekade mendatang. 


Di akhir pidatonya, Rosan menekankan pentingnya membangun kemitraan baru, terutama untuk kerja sama lintas batas yang saling menghargai untuk menjamin masa depan yang akan dibagi bersama.