Mewujudkan ekonomi digital ASEAN yang inklusif

Oleh Sol Gonzalez

Wakil Sekretaris Jenderal Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC), Satvinder Singh, membagikan visinya tentang bagaimana kecerdasan buatan (AI) dan teknologi baru menciptakan peluang pertumbuhan inklusif bagi kawasan yang diproyeksikan menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2030.

Pertumbuhan ekonomi ASEAN didorong oleh digitalisasi di hampir seluruh sektor ekonomi, dengan kawasan ini menjadi pasar internet dengan pertumbuhan tercepat di dunia dan pelaku usaha yang semakin mengadopsi ekonomi digital. Foto: Canva.

ASEAN diperkirakan akan menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2030. 


Pertumbuhan ini didorong oleh digitalisasi di hampir seluruh sektor ekonomi. Kawasan ini kini menjadi pasar internet dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan 125.000 pengguna baru yang terhubung ke internet setiap harinya. 


Laju digitalisasi ini diperkirakan akan membuka tambahan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) regional senilai setidaknya US$1 triliun (Rp16.700 triliun) pada tahun 2030, menurut proyeksi awal. 


Wakil Sekjen AEC, Satvinder Singh, menekankan bahwa teknologi — terutama kecerdasan buatan (AI) — memang menjadi mesin utama pertumbuhan, namun pada akhirnya hanyalah sebuah “enabler”. 


Dalam wawancaranya dengan GovInsider, ia menjelaskan bahwa kekuatan sejati AI terletak pada bagaimana sektor jasa memanfaatkannya untuk mempercepat pertumbuhan di Asia Tenggara. 


Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) adalah badan di bawah Sekretariat ASEAN yang bertanggung jawab atas integrasi dan pengembangan ekonomi kawasan. 

Digitalisasi sektor perdagangan sebagai prioritas 


Singh menyoroti sektor perdagangan sebagai bidang yang sangat potensial untuk transformasi digital dan dapat menghasilkan efek berganda yang signifikan.


“Setelah sektor energi, proyek dekarbonisasi terbesar berikutnya adalah perdagangan. Banyak aktivitas perdagangan saat ini masih berbasis kertas,” ujarnya. 


Singh menggambarkan sektor perdagangan sebagai “urat nadi ASEAN” karena nilainya yang besar bagi ekonomi kawasan — sekitar US$3,5 triliun (Rp58.400 triliun) dari total PDB ASEAN sebesar US$3,8 triliun (Rp63.500 triliun). 


Menurutnya, salah satu “proyek terbesar” AEC adalah menggunakan AI untuk mentransformasi sektor ini, beralih dari sistem analog ke digital. 


Kerangka Perjanjian Ekonomi Digital ASEAN (DEFA) mendorong negara-negara anggota untuk mengadopsi Model Law on E-Commerce UNCITRAL, yang menjamin dokumen digital memiliki kedudukan hukum yang sama dengan dokumen fisik. 


Singh mengatakan bahwa penerapan standar seperti ini merupakan langkah penting “agar perdagangan digital benar-benar dapat terwujud.” 

AI dan keberlanjutan bukan isu yang terpisah 


Singh menegaskan bahwa keberlanjutan dan digitalisasi berjalan beriringan. 


Wakil Sekretaris Jenderal Komunitas Ekonomi ASEAN, Satvinder Singh. Foto: Sekretariat ASEAN.

Visi baru ASEAN 2045 menyerukan agar “kebijakan yang tanggap terhadap iklim dimasukkan dalam semua dimensi.”


“Untuk mencapai tujuan keberlanjutan seperti dekarbonisasi, ketergantungan kita pada teknologi baru dan AI akan menjadi hal yang sangat penting,” tegasnya. 


Ia berpendapat bahwa upaya dekarbonisasi dan digitalisasi saling terkait erat, dengan teknologi sebagai alat utama untuk mencapai tujuan kebijakan tersebut. 


Dalam sistem berbasis kertas saat ini, “kadang kapal besar yang membawa barang sudah tiba di pelabuhan sebelum dokumen fisiknya sampai.” 


Keterlambatan ini menyebabkan rantai pasok tersendat dan pedagang tidak bisa segera mengakses dana mereka. 


Perdagangan digital dapat menghilangkan hambatan tersebut, memangkas biaya, dan mengurangi penggunaan kertas. 


Meskipun ada tantangan sistemik, Singh tetap optimistis terhadap kemajuan digitalisasi di ASEAN dan potensi kontribusi AI. 


Berlangganan bulletin GovInsider di sini. 

Peran infrastruktur publik digital (DPI) dalam ekonomi digital 


Langkah penting lainnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital, menurut Singh, adalah membangun infrastruktur publik digital (Digital Public Infrastructure/DPI) yang kuat


“Anda tidak bisa memiliki ekonomi digital jika Anda tidak memiliki identitas digital,” ujarnya. Ini berarti individu maupun bisnis memerlukan digital ID untuk berpartisipasi secara efektif dalam ekonomi digital. 


Menyadari hal ini, ASEAN memantau berbagai sistem identitas digital yang digunakan secara global untuk menentukan pendekatan regional yang paling efektif. 


“Kami sedang memperhatikan seluruh elemen DPI ini dan meletakkan dasar dari upaya-upaya penting di lapangan, agar kami dapat beralih dari rantai nilai berbasis kertas menuju rantai nilai perdagangan digital yang sesungguhnya,” jelasnya. 


Pilar lain dari DPI adalah pembayaran digital, yang juga menjadi aspek krusial dalam perdagangan digital.


Singh menyoroti pentingnya menghubungkan jaringan pembayaran lintas batas di antara 11 negara ASEAN sebagai langkah prioritas. 


Tujuh negara telah berhasil membangun interoperabilitas sistem pembayaran digital mereka, sementara tiga lainnya ditargetkan selesai pada akhir 2026. 


DPI yang kuat dapat membantu Asia Tenggara menjadi pemimpin dalam perdagangan digital dan mewujudkan ekonomi digital yang menguntungkan seluruh negara anggotanya. 

Menuju pertumbuhan yang inklusif 


“Dalam Visi ASEAN 2045 yang baru, kami berupaya keras agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya untuk angka, tetapi juga inklusif, sehingga setiap warga dapat merasakan manfaatnya,” kata Singh. 


Perubahan menuju pertumbuhan yang lebih inklusif ini tercermin dari indikator baru dalam visi tersebut — kini termasuk koefisien GINI (untuk mengukur ketimpangan), persentase perempuan dalam ekonomi, serta jejak karbon, yang sebelumnya tidak diperhitungkan. 


“Prospeknya kini berbeda. Dalam melihat transformasi digital dan masa depan kita, kami melakukannya dengan sadar, dengan memastikan bahwa perubahan itu membawa kebaikan.” 


Rencana Strategis ASEAN 2045 mencakup enam tujuan untuk membentuk komunitas ekonomi yang berorientasi aksi, berkelanjutan, inovatif, adaptif, tangguh, dan inklusif. 


Singh menekankan pentingnya tujuan terakhir, yakni mendorong pertumbuhan yang berpusat pada manusia dan inklusif. 


“Hal terakhir yang ingin kami lihat adalah teknologi baru datang, tapi justru menghilangkan lapangan kerja dan membuat masyarakat terpinggirkan. Itu tidak bisa kami terima,” tegasnya. 


Singh percaya bahwa Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk pertumbuhan inklusif, terutama karena demografinya yang muda — lebih dari 60 persen penduduknya tergolong generasi muda yang “sangat siap beradaptasi dengan perubahan dan teknologi.” 


Laporan Google e-Conomy SEA juga menunjukkan bahwa bisnis-bisnis di Asia Tenggara memiliki potensi besar untuk memanfaatkan AI dan teknologi baru secara menguntungkan. 


“Bagi saya, itu bukti bahwa kawasan ini memiliki budaya yang siap menghadapi transformasi digital dan perubahan secara positif, dan saya sangat bangga akan hal itu,” ujarnya. 

Kerangka kerja yang memandu kemajuan 


Singh memandang ASEAN AI Safety Network (ASEAN AI Safe) yang baru diumumkan sebagai langkah strategis penting untuk memperdalam kerja sama, membangun kapasitas, dan menyelaraskan standar keamanan AI di kawasan.


Ia berharap ASEAN AI Safe, ketika telah beroperasi penuh, akan menjadi mekanisme utama untuk memperkuat suara ASEAN dalam tata kelola AI global. 


Menurut Singh, inisiatif seperti ini mencerminkan kekhasan ASEAN yang memperhitungkan realitas domestik tiap negara anggota, menyeimbangkan prioritas, dan meningkatkan kesiapan regional. 


Ia juga berharap ASEAN dapat menjadi inspirasi bagi negara-negara di Global South yang tengah menjalani transformasi digital dan mengembangkan kerangka keamanan AI mereka. 


“Pelajaran yang kami miliki akan jauh lebih relevan bagi dunia berkembang dibandingkan dengan apa yang dilakukan negara-negara Barat, karena masyarakat maju memiliki prioritas dan tantangan yang berbeda dari kami di Global South,” ujarnya. 


GovInsider sebelumnya menyoroti bagaimana negara-negara berkembang di Asia Tenggara mengadopsi strategi “smart follower”, belajar dari pelopor awal di kawasan untuk menerapkan teknologi secara lebih efektif. 


“Saya rasa fokus kami adalah memanfaatkan nilai yang muncul dari penerapan solusi AI, dan memastikan bahwa hal itu menghasilkan kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat kami,” tutup Singh.