PM Anwar: Smart city harus berfokus pada manusia
Oleh Sol Gonzalez
Smart City Expo Kuala Lumpur mempertemukan para pemimpin kota dan pelaku industri untuk membahas bagaimana kolaborasi regional, desain partisipatif, dan teknologi dapat berkontribusi dalam menciptakan kota yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan memberdayakan.

Acara perdana Smart Cities Expo Kuala Lumpur 2025 menampilkan pameran dan sesi diskusi di mana para pemimpin menekankan pentingnya menempatkan manusia sebagai pusat dalam perancangan kota cerdas demi masa depan yang tangguh. Foto: Smart Cities Expo Kuala Lumpur.
Tantangan utama bagi kota pintar saat ini adalah membangun pusat-pusat perkotaan yang kaya secara budaya, di mana penggunaan teknologi dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, ujar Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Anwar Ibrahim.
Ia menyampaikan hal itu dalam pidato pembukaan acara Smart City Expo Kuala Lumpur (SCEKL) 2025 pada 18 September lalu.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Anwar menekankan pentingnya pendekatan berpusat pada manusia (people-centredness) dalam membangun kota pintar agar seluruh warga dapat memperoleh manfaat secara adil dari inovasi digital dan akses terhadap sumber daya kota pintar.
“Terlepas dari tekanan akibat perubahan zaman yang begitu cepat, kita harus tetap berpegang pada prinsip inklusivitas dan keberlanjutan. Kita harus dengan tegas membangun kota yang berfokus pada manusia dan menjawab kekhawatiran mereka,” ujarnya.
Dengan tema “AI Cities: Shaping Our Digital Future”, acara SCEKL yang berlangsung selama tiga hari ini dihadiri oleh lebih dari 10.000 peserta dan 2.000 delegasi dari berbagai negara untuk membahas bagaimana kota-kota seharusnya mengelola inovasi pintar di era digital.
Para pemimpin kota juga berdiskusi mengenai topik kecerdasan artifisial (AI), kota berkelanjutan dan tangguh, kewirausahaan digital, pengembangan ekonomi, serta pemberdayaan masyarakat melalui solusi digital.
Menteri Digital Malaysia, YB Gobind Singh Deo, mengatakan bahwa acara ini menjadi kesempatan untuk berbagi ide dan belajar dari pengalaman berbagai kota dalam menghadapi tantangan perkotaan yang beragam.
“Ini menandai upaya perdana Malaysia untuk menampilkan kemampuan kami dalam membangun kota pintar di kawasan ini, bersama dengan mitra-mitra kami di ASEAN,” ujarnya.
Kota pintar bukan hanya milik kota besar
Salah satu fokus utama SCEKL adalah penyelarasan strategis di tingkat ASEAN menuju kota-kota berbasis AI.
Darwin Manubag, Administrator Kota Iligan di Filipina, berbagi pengalaman tentang bagaimana kotanya memulai perjalanan transformasi digital tiga tahun lalu. Ia berbicara dalam sesi “City Leaders Dialogue: Building Inclusive AI Cities”.
“Harus dipastikan bahwa gagasan ‘AI untuk kemanusiaan’ tertanam dalam setiap langkah yang kita ambil... Jadi, dalam setiap tindakan, selalu ada konsultasi, selalu ada kolaborasi,” ujarnya.
Iligan juga membentuk Dewan Kota Pintar (Smart Cities Council) yang beranggotakan perwakilan pemerintah, industri, dan akademisi untuk memastikan pengambilan keputusan yang kolaboratif.
Salah satu keberhasilan yang dibagikan adalah pendirian pusat komando kota pintar berbasis AI yang telah membantu menyelesaikan sekitar 300 masalah lalu lintas, dengan berfungsi sebagai pusat terpadu untuk memantau dan merespons berbagai isu.
Manubag menegaskan bahwa bahkan kota tingkat dua seperti Iligan dapat menjadi model praktik terbaik dalam pembangunan kota pintar. Ia menyoroti pentingnya pertukaran ide di ASEAN melalui pendekatan “big sibling, small sibling” di mana kota-kota bisa saling belajar satu sama lain.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Sementara itu, Nakhon Si Thammarat, sebuah kota di Thailand bagian selatan, juga telah menerapkan pendekatan berpusat pada warga dalam mengembangkan kota pintarnya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk
Wali Kota Kanop Ketchart menjelaskan rencana kotanya yang memungkinkan warga melaporkan masalah perkotaan melalui platform seluler.
Warga dapat memotret masalah, mengunggahnya melalui formulir digital, dan kota berjanji akan menyelesaikan laporan tersebut dalam waktu 48 jam.
Langkah ini memungkinkan kota menanggapi masalah secara langsung dan efisien, terutama yang dilaporkan langsung oleh warga.
Ketchart menambahkan bahwa data keluhan warga digunakan untuk membuat peta panas (heat map) guna mendukung perencanaan kota dan pengalokasian anggaran yang lebih efektif.
Platform tersebut kini memiliki 100.000 pengguna aktif — sekitar 70 persen dari populasi kota — dan telah membantu menyelesaikan lebih dari 36.000 laporan keluhan.
Kota pintar yang berpusat pada manusia
Dalam sesi panel bertajuk “Living Labs of ASEAN: Future Citizen Use Cases You Can Adopt Today”, para pembicara dari berbagai sektor terlibat dalam studi kasus simulatif untuk mengeksplorasi pendekatan living lab.
Living lab adalah lingkungan nyata di mana berbagai pemangku kepentingan berkolaborasi dan menciptakan ide bersama untuk memecahkan masalah perkotaan, dengan mempertimbangkan perspektif masyarakat agar solusi yang dihasilkan dapat diterapkan dan berdampak.
CEO Urbanice Malaysia, Norliza Hashim, yang memoderatori sesi tersebut, mengundang para pembicara untuk membayangkan skenario di kota kecil: dengan anggaran terbatas dan tenggat waktu yang ketat, apa yang akan mereka prioritaskan terlebih dahulu?
John Vincent Gastanes, Manajer Proyek dari Kota Narra, Filipina, mengatakan bahwa langkah pertama dan terpenting adalah mendatangi komunitas terkait untuk memastikan model partisipatif dan mengidentifikasi kekuatan lokal.
Ia menambahkan, anggaran yang terbatas sebaiknya digunakan untuk mengumpulkan data berkualitas tinggi sebagai dasar penyusunan kebijakan dan menarik mitra eksternal untuk memperluas proyek.
Dari perspektif sektor swasta, Sapan Kumar, Pemimpin Smart Cities di Amazon Web Services (AWS), menjelaskan bahwa pendanaan akan paling efektif untuk proyek yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Kumar sepakat bahwa langkah pertama adalah mengumpulkan umpan balik dari masyarakat untuk memahami dan memprioritaskan masalah paling mendesak. Dengan anggaran awal yang terbatas, penting untuk melakukan “ruthless prioritisation” — fokus pada masalah yang paling penting.
Jika solusi berhasil, proyek tersebut dapat memperoleh pendanaan tambahan dan diperluas melalui inisiatif seperti AWS Proof-of-Concept Credits, tambahnya.
Inovasi strategis untuk kawasan
Meskipun teknologi dan data bukan satu-satunya faktor utama dalam pembangunan kota pintar, keduanya tetap menjadi alat penting menuju kota yang tangguh di masa depan.
Hal ini dibahas dalam panel “Cross-border Data, Local Impact: ASEAN’s Advantage in AI Innovation”.
Diskusi menyoroti perlunya standar dan kebijakan yang selaras di kawasan untuk memanfaatkan pertumbuhan inovasi dan memperluas kemitraan publik-swasta.
CEO National AI Office (NAIO) Malaysia, Sam Majid, mengatakan bahwa pengalaman industri yang dikombinasikan dengan kerangka kebijakan nasional dapat membantu menciptakan standar nasional yang sesuai dengan kebutuhan dan regulasi tiap negara.
Ketika negara-negara menyelaraskan standar nasionalnya, peluang berbagi data lintas batas akan semakin besar karena mereka beroperasi dalam kerangka kerja yang kompatibel.
Para pembicara juga menekankan bahwa berbagi data lintas batas sangat penting bagi kesuksesan kota pintar, karena kota tidak beroperasi secara terisolasi.
Mewujudkan sistem yang interoperabel bergantung pada berbagi praktik terbaik dan analisis data dari konteks perkotaan lain agar keputusan terkait infrastruktur dan layanan menjadi lebih tepat.
Pada akhirnya, kota-kota harus bekerja sesuai dengan kapasitas yang dimiliki untuk memastikan bahwa inovasi yang diterapkan memiliki tujuan yang jelas, ujar Kristen Villanueva-Libuano dari SmartCT Philippines.
“Jika kita hanya mendorong penggunaan AI atau teknologi apa pun untuk mengontrol atau mengatur apa yang terjadi di kota, kita justru akan kehilangan banyak hal yang berkaitan dengan budaya kota itu sendiri... Kita harus bertanya pada diri sendiri: dampak lokal apa yang ingin saya capai dengan teknologi ini?”