Mengapa Inggris melarang penggunaan aplikasi dalam pelayanan publik-nya?

By Joshua Chambers

Wawancara dengan Ben Terrett, mantan Kepala Tim Desain di United Kingdom Government Digital Service.

Foto: Paul Downey, dengan ijin oleh CC BY 2.0

“Terdengar menghebohkan”, itulah respon Ben Terrett, mantan Kepala Desainer di UK Government Digital Service (GDS), sebuah agensi digital pemerintah Inggris.

Respon itu dia ucapkan ketika GovInsider memberitahunya bahwa ada sebuah pemerintah kota di Indonesia yang memiliki target hingga 300 mobile apps atau aplikasi per tahun. Hal ini diyakini oleh pemerintah dapat menjadi respon yang baik dari pesatnya peningkatan penggunaan smartphone oleh masyarakat

“Kami melarang aplikasi di UK GDS, kami selalu mengatakan tidak” tambah Terret. UK GDS merupakan agensi digital pemerintah pertama di dunia dan banyak diakui sebagai salah satu pionir global. Sebagai Kepala Desain pertama di UK GDS, Terrett merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap berbagai pelayanan pemerintah berbasis digital di Inggris yang banyak ditiru di banyak negara.

Menggapai masyarakat melalui smartphones


Jadi kenapa GDS melarang mobile apps? Ini bukan karena mereka kurang canggih dalam penggunaan teknologi sehingga tidak bisa membuat aplikasi.

Biaya jadi alasannya. Menurut Terrett, “aplikasi sangatlah mahal untuk diproduksi, dan lebih mahal lagi untuk dikelola karena kita harus terus-menerus melakukan pemutakhiran ketika ada perubahan software”. “Bayangkan jika anda punya 300 aplikasi, anda harus memiliki tim dan dana yang sangat besar untuk menjaga ekosistem sebesar itu.

Bagaimana kemudian Inggris menjangkau populasinya yang semakin mobile? Website yang responsif, jawab Terrett. “Untuk pelayanan pemerintah yang tersedia, website masih menjadi solusi yang jauh lebih baik.. dan masih berfungsi dengan baik di perangkat seluler”.

Website atau situs lebih bisa beradaptasi dalam berbagai ukuran layar, bekerja di semua parangkat teknologi, dan terbuka bagi siapapun tidak peduli perangkat elektronik apa yang mereka sajikan. “Kalau anda percaya bahwa konsep “internet terbuka” selalu menang” tambahnya. Selain itu menurut Terrett, website selalu lebih murah dan ketika dibutuhkan pemutakhiran, hanya ada satu platform yang perlu dilakukan coding ulang.

Dari pendaftaran pemilih pada pemilu sampai aplikasi surat izin mengemudi, situs pelaporan public dengan desain yang sederhana dan mudah untuk digunakan. Menurut perkiraan Kementerian Keuangan Inggris, GDS telah berhasil menghemat hingga 8,2 milyar poundsterling atau sekitar 140 triliun rupiah dalam waktu empat tahun dengan mengambil pendekatan yang menekankan pada kesederhanaan desain dan keterbukaan pelayanan.

Tip desain dari Terrett




Menurut Terrett, kunci dari pendekatan GDS adalah menggunakan perspektif pengguna sebagai dasar penyusunan desain, dan bukannya mengedepankan kebutuhan organisasi pemerintah itu sendiri. “Pendekatan ini merupakan pendekatan utama yang dilakukan oleh semua pelayanan digital hari ini. Google, Facebook, dan bahkan British Airways melakukannya dengan cara ini”.

Permasalahan yang sering muncul adalah instansi pemerintahan seringkali tidak memikirkan desain website-nya dengan mempertimbangkan sisi publik. “Pendekatan desain website pemerintah selama ini justru hanya menggambarkan silo atau kotak-kotak di dalam birokrasi pemerintahan”, tambah Terrett.

Sebagai contoh, membuka restoran mungkin mengharuskan untuk memiliki beberapa izin dari berbagai instansi pemerintah. Pelayanan digital yang baik seharusnya dapat mengombinasikan semua hal tersebut ke dalam satu tempat.

Memfokuskan perhatian kepada kebutuhan pengguna juga membutuhkan para pejabat pemerintahan untuk lebih hati-hati dalam menentukan ide-ide di dalam konsep pelayanan digitalnya. Kebanyakan pemerintah menginginkan masyarakat untuk dapat juga mempromosikan pemerintah di sosial media Facebook dan Twitter dengan menghadirkan tombol share. Namun dari uji coba yang dilakukan GDS, hanya 0,1% warga yang meng-klik pilihan tersebut. Statistik tersebut menunjukan bahwa tombol share sudah seharusnya dibuang untuk lebih memperingan situs agar terlihat lebih rapi, bersih, dan yang terpenting lebih ringan sehingga mudah diakses.

Kedua, GDS memiliki pendekatan bahwa “Google is the homepage”. Artinya, masyarakat harus dipersepsikan tidak akan secara sukarela mengunjungi situs pemerintah. Hal yang justru terjadi adalah mereka mencari dan kemudian mengunjungi situs pemerintah yang tersedia di hasil pencarian. Terrett menjelaskan, “Tidak ada yang pernah memikirkan hal tersebut, sehingga yang seringkali terjadi adalah mendesain dengan hanya memikirkan homepage dan navigasi di dalam website saja. Setiap instansi kemudian menginginkan halaman-nya sendiri dengan branding tersendiri, padahal masyarakat hanya menginginkan tampilan yang sederhana.

Hal ketiga adalah untuk menghilangkan pertanyaan-pertanyaan dan langkah-langkah tidak penting dalam sebuah situs. Sebagai contoh, setiap situs pelayanan public menanyakan status pernikahan warga-negara, padahal langkah tersebut hanya digunakan untuk mengisi satu jenis pendaftaran di sebuah pelayanan publik. Bayangkan jika data ini bisa terintegrasi dan ini memungkinkan mereka untuk dapat menghilangkan setengah dari 500 langkah yang dibutuhkan untuk mendaftar pelayanan publik.

Keempat, tim desain GDS membuang semua desaing yang tidak penting. Sebagai contoh halaman Gov.UK –portal nasional Inggris- tidak memiliki gambar sama sekali di halaman situsnya. Ini dikarenakan gambar cenderung menjadi distraksi terhadap informasi yang tersedia di halaman situs dan penelitian menunjukan hadirnya gambar semakin mengurangi kejelasan informasi. “Kami memiliki beberapa ikon-ikon yang bagus di halamn situs sebelumnya, namun setelah dilakukan pengujian selama beberapa bulan, hanya sedikit masyarakat yang mengenali ikon-ikon tersebut, dan tidak ada satu-pun yang mengerti maksud dari gambar-gambar tersebut”, jelas Terrett.

Mengukur keberhasilan


Bagaimana Inggris mengukur keberhasilan pelayanan pemerintah digitalnya? “Bukan pada popularitas pelayanannya, walapun akan sangat baik kalau publik bisa menyukainya, tapi preferensi popularitas sangat tidak bisa dijadikan sebagai referensi yang berguna. Justru tim GDS menganalisisnya melalui analisa terhadap perilaku pengguna, apakah mereka menyelesaikan seluruh proses pelayanan publik atau justru berhentin di tengah-tengah” tambah Terrett. Hal yang sama dalam hal informasi publik, yang dianalisis adalah apakah pengguna menemukan informasi yang mereka butuhkan dan meninggalkan halaman situs atau justru membutuhkan pencarian yang lebih rinci untuk menemukan sebuah informasi?

Untuk mengerti user journeys atau perjalanan digital pengguna tidaklah mahal menurut Terrett, dan pemerintah dapat membangun kapabilitas untuk itu secara efisien. “Kebanyakan dari hal ini sebenarnya dapat dengan mudah dikerjakan secara cepat, murah, dan bahkan oleh kita sendiri”, terang Terrett. “Kuncinya adalah membangun tim yang terdiri dari individu-individu yang multi-disiplin seperti desainer, peneliti pasar, developer, analis konten yang jumlahnya secara total bisa hanya berjumlah dua belas orang”, sambung Terrett.

Kelincahan tim akan memungkinkan tim untuk dapat secara cepat membangun sebuah prototipe pelayanan publik digital yang dapat diuji untuk menentukan kelayakannya. Begitu tim ini mendapatkan masukan, mereka dapat secara cepat juga dalam meresponnya.

Pendekatan ini akan menghemat anggaran yang sangat signifikan. Menurut Terrett, jangan menghabiskan anggaran hanya untuk sebuah kontrak IT atau membangun sebuah tim yang besar. Padahal sebenarnya dengan dua belas orang saja anda bisa mengganti satu tim yang biasanya berisi hingga 100 orang. Dengan begitu anda akan memiliki fitur yang lebih efektif, lebih disukai publik dan tidak menghabiskan waktu hanya menduplikasi situs lain saja.

Di GDS, Terrett dan tim percaya bahwa kontrol yang kuat menjadi kunci untuk menghemat uang dan mengurangi duplikasi dari pelayanan publik. “Terkadang, anda harus bisa mengatakan tidak bisa terhadap permintaan instansi pemerintah dan tetap mengedepankan user experience atau pengalaman pengguna”.

Ada dua kewenangan yang dimiliki GDS untuk mengontrol hal tersebut, kontrol terhadap anggaran dan kontrol terhadap konten. Dengan dua kewenangan itu saja, GDS sudah mampu menentukan konten mana yang dianggap sesuai dengan standar di situs Gov.UK dan bahkan menghapus konten yang dianggap tidak penting. Secara bersamaan, GDS juga menerapkan standar yang sangat ketat kepada sistem pengadaan pemerintah, memastikan adanya perubahan kepada sistem pengadaan yang lebih fleksibel.

Terakhir Terrett hanya memberikan pesan bagi para pembaca, “selalu ingat kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Jangan pernah percaya begitu saja dengan saran agensi atau developer tanpa pernah memastikan terlebih dahulu bagaimana saran tersebut dapat membantu masyarakat. “Memang godaannya pihak instansi pemerintah selalu menginginkan untuk memenuhi kepentingan dan tujuan internal instansi itu sendiri – yang seringkali kemudian diikuti dengan penambahan fitur-fitur yang hanya memperumit pengguna dengan aplikasi-aplikasi maupun desain situs.”

“Jika anda membangun semua hal tersebut dengan mengedepankan keinginan masyarakat, semua kekhawatiran mengenai engagement dan jumlah traffic akan mudah untuk diatasi karena masyarakat akan dengan mudah menemukan aksesnya”, jelas Terrett.