AI hackathon Kemenkes untuk atasi tantangan kesehatan nasional 

By Mochamad Azhar

Kompetisi hackathon tidak hanya akan berhenti pada produk dan prototipe, melainkan untuk menyediakan solusi bagi tantangan kesehatan saat ini dan masa depan. 

Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan, Setiaji, memaparkan pentingnya menciptakan inovasi sektor kesehatan. Foto: Kementerian Kesehatan

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menggelar Indonesia Healthcare AI Hackathon 2025 sebagai ajang untuk menjaring solusi digital berbasis kecerdasan buatan (AI) guna menjawab tantangan kesehatan nasional seperti tuberkulosis (TBC), diabetes, hingga stunting.


Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi Kesehatan, Kemenkes, Setiaji, mengatakan bahwa hackathon ini bukan sekadar kompetisi, melainkan inisiatif strategis untuk memecahkan masalah kesehatan prioritas bangsa. 


“Tujuan utama hackathon adalah menjaring dan mengembangkan solusi inovatif yang terukur, berdampak, dan berkelanjutan, sejalan dengan agenda transformasi digital kesehatan,” ujarnya. 


Hackathon AI menitikberatkan pada lima penyakit utama: TBC, kardiovaskular, diabetes, stunting, dan stroke. Pemilihan lima penyakit didasarkan pada analisis beban penyakit (disease burden) yang paling signifikan di Indonesia, baik dari sisi epidemiologi, dampak pembiayaan negara, mapun visi pembangunan nasional.


TBC dan kardiovaskular/stroke adalah penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Diabetes melitus menempati prioritas karena prevalensinya meningkat pesat dan menghabiskan hampir 10 persen total klaim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).   


Sementara itu, stunting diangkat sebagai isu strategis karena dampaknya yang bersifat jangka panjang dan dampaknya tidak dapat dipulihkan (irreversible) pada perkembangan kognitif anak.    


“Penurunan stunting adalah target besar dalam agenda pembangunan negara karena berdampak langsung terhadap kualitas sumber daya manusia dan bonus demografi Indonesia di masa depan,” Setiaji menambahkan.   


Rangkaian kegiatan acara telah dimulai sejak 11 September dan saat ini memasuki tahap seleksi. Penjurian final akan berlangsung pada 13-14 Oktober, disusul pengumuman pemenang. Puncak acara akan digelar bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan Nasional pada 12 November. 

Mengembangkan solusi AI siap uji 


Setiaji menegaskan bahwa solusi hackathon harus berupa prototipe fungsional siap uji, bukan sekadar proof of concept, dan memiliki potensi untuk diskalakan ke produk yang matang. Metrik keberhasilan akan diukur secara kuantitatif, misalnya tingkat akurasi atau penurunan kadar HbA1c pada pasien diabetes.


“Yang terpenting, setiap solusi wajib memenuhi standar interoperabilitas agar bisa diintegrasikan dengan SATUSEHAT,” katanya seraya menambahkan bahwa Kemenkes siap mendukung pengembangan lebih lanjut, mulai dari inkubasi, pilot project di rumah sakit pemerintah, hingga potensi kemitraan strategis.


Berlangganan bulletin GovInsider di sini 


Ia berharap solusi AI mampu membantu mengidentifikasi individu maupun komunitas berisiko tinggi sebelum penyakit muncul secara klinis.  


Karena itu, target hackathon ini mencakup peningkatan akurasi dan efisiensi diagnosis, mempercepat waktu skrining TBC hingga 75 persen, mengembangkan alat digital untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien hingga di atas 25 persen, serta mencapai sensitivitas deteksi retinopatik diabetik hingga di atas 90 persen.

  

“Efisiensi biaya sistem kesehatan juga menjadi pertimbangan penting. Solusi dari kompetisi ini diharapkan bisa berkontribusi menekan biaya diagnostik maupun pengobatan di kemudian hari,” tambahnya. 


Bagi Kemenkes, hackathon AI ini sekaligus sebagai wujud implementasi use case prioritas sektor kesehatan dalam Peta Jalan AI Nasional untuk mewujudkan layanan kesehatan yang prediktif, preventif, partisipatif dan terpersonalisasi (4P).

Mengawal inovasi dan regulasi 


Meski solusi-solusi AI amat menjanjikan, namun Setiaji menekankan pentingnya pendekatan multiaspek dalam hal inovasi AI sektor kesehatan, yang meliputi etika, keamanan, dan perlindungan data.


Ia menegaskan seluruh solusi harus mematuhi UU Perlindungan Data Pribadi dan pedoman etika AI yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan prinsip kemanusiaan. 


“AI harus berfungsi sebagai alat pendukung keputusan klinis, bukan pengambil keputusan otonom,” tegasnya. 


Selain itu, Kemenkes sudah menyiapkan mekanisme regulatory sandbox, tempat uji coba inovasi digital di lingkungan terkendali sebelum diluncurkan ke publik.


Hackathon juga mewajibkan peserta menggunakan pendekatan human-centred design, memastikan keselamatan pengguna akhir sejak awal pengembangan, tambahnya.


Untuk menjamin kualitas, panel juri dan mentor berasal dari kalangan akademisi dari Universitas Indonesia (UI) hingga Institut Teknologi Bandung (ITB), praktisi kesehatan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, serta Kemenkes dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) selaku regulator.  


Mitra pengembang seperti AWS, PwC, dan East Ventures, juga akan dilibatkan untuk menilai kelayakan teknis serta potensi bisnis. 


“Seperti dilakukan pada Health Innovation Sprint Accelerator (HISA) tahun lalu, pemenang hackathon telah mendapatkan jalur yang jelas untuk mendapatkan dukungan berupa program inkubasi, fasilitasi proyek percontohan di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, serta kemitraan strategis untuk adopsi yang lebih luas,” kata Setiaji. 


Tahapan hackathon ini meliputi proses pendaftaran (11-28 September), penjurian awal (1–3 Oktober), inkubasi intensif bersama para ahli (2-10 Oktober), hingga final pada 13-14 Oktober, di mana para finalis akan mempresentasikan prototipe di depan dewan juri.


Para pemenang akan berkesempatan mempresententasikan solusinya secara langsung di hadapan Menteri Kesehatan pada 12 November.