Dengan memanfaatkan DPI, pertanian bisa lebih inklusif dan petani-sentris

By Mochamad Azhar

Dalam sesi webinar yang diselenggarakan Centre for Digital Public Infrastructure (CDPI) baru-baru ini, para profesional lintas sektor berbagi tentang bagaimana memanfaatkan DPI untuk pertanian berkelanjutan.

Sebagai sistem digital dasar, infrastruktur publik digital (DPI) dapat memberdayakan petani dengan meningkatkan akses mereka ke layanan pemerintah. Foto: Canva

Kekuatan transformatif dari Infrastruktur Publik Digital (DPI) adalah kemampuannya dalam mendorong aspek sosial dan ekonomi yang selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan PBB.


Namun, diskusi mengenai cara DPI memberdayakan petani – sebuah profesi yang mempekerjakan lebih dari 800 juta penduduk dunia – belum banyak dibicarakan.   


Pada sesi webinar berjudul Leveraging DPI for Sustainable Agriculture & Farmer Choice yang diselenggarakan CDPI, para pembicara mendiskusikan bagaimana DPI dapat lebih memberdayakan petani dengan meningkatkan akses mereka terhadap layanan pemerintah seperti bantuan sosial, pupuk, dan juga akses keuangan.

Pentingnya sistem identitas dan registri data


Mengawali sesi, Co-Chair CDPI Pramod Varma menggarisbawahi pentingnya merancang sistem identitas dan registri data di sektor pertanian.

  

“Di banyak negara, sistem identitas sudah ada, namun masih berbasis kertas. Ini menyebabkan tingkat kepercayaan yang rendah dan biaya tinggi akibat penipuan serta verifikasi manual,” kata Varma. 


Ia menawarkan solusi mengonversi ID berbasis kertas menjadi kredensial digital yang dapat diverifikasi, menggunakan kode QR dan lapisan otentikasi yang ringan. Dengan demikian, bukti identitas itu tidak dapat dipalsukan dan memudahkan orang mengakses layanan lintas sektor.  


Varma juga menyoroti registri data pertanian yang masih terisolasi, di mana berbagai departemen pemerintah mengumpulkan data yang sama tanpa berbagi atau memanfaatkannya kembali. Hal ini menyebabkan upaya yang tumpang tindih dan memperlambat akses petani ke layanan seperti subsidi, pinjaman, dan asuransi.  


Ia mengusulkan agar data tersebut diubah menjadi kredensial digital yang ditandatangani secara elektronik, yang kemudian dapat dikembalikan kepada warga – menempatkan individu sebagai pusat dari ekosistem data alih-alih memaksakan berbagi data lintas yurisdiksi yang seringkali rumit. 


Berlangganan bulletin GovInsider di sini

Mengimplementasikan DPI yang inklusif 


Senior Resilience Officer FAO Asia Pasifik, Hang Thi Than Pham, mengatakan bahwa konsep DPI sejalan dengan visi transformatif sistem agrifood FAO tentang "Four Betters": produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik.


Dalam webinar CDPI tentang pertanian berkelanjutan, para pembicara berbagi tentang praktik DPI di beberapa negara. Foto: CDPI

Menurut Pham, DPI dapat mempercepat tujuan ini melalui teknologi digital yang inklusif, kebijakan yang mendukung, dan investasi yang menjembatani kesenjangan digital—terutama bagi petani dan nelayan kecil dan kelompok rentan. 


"Kami fokus untuk menjembatani kesenjangan digital agar semua pihak mendapatkan manfaat, terutama petani kecil dan petani yang rentan," kata Pham.   


Meski demikian, tantangan penerapan DPI adalah bahwa sistem ini seringkali terhambat kebijakan dan koordinasi institusional di kawasan. 


Ia mengambil contoh dari 6.000 nelayan Filipina yang tercatat sebagai penerima bantuan dana antisipatif FAO pasca bencana taifun beberapa waktu lalu. Beberapa nelayan membutuhkan satu hingga lima bulan untuk kembali melaut karena pembayaran dana antisipatif yang tertunda.   


"Dalam konteks pembayaran digital, selain teknologi kebijakan-kebijakan yang enabling adalah kritikal," ia mencatat.  


FAO juga tengah mengembangkan arsitektur digital nasional, mendukung sistem penyuluhan digital dan menerapkan dashboard risiko di negara-negara pilot seperti Sri Lanka, Vietnam, Laos, dan Timor-Leste. Alat-alat ini membantu pemerintah menargetkan alokasi sumber daya dan memprediksi dampak iklim secara lebih akurat. 

Platform sumber terbuka untuk pertanian 


Direktur Eksekutif OpenSPP sekaligus Direktur di Association for Digital Cooperation (ACN), Jeremi Joslin, memaparkan bagaimana platform sumber terbuka OpenSPP mentransformasi sistem-sistem yang terfragmentasi menjadi solusi yang saling terhubung dan berpusat pada petani. 


OpenSPP adalah perangkat lunak modular yang dirancang untuk menyederhanakan registri penerima manfaat hingga mekanisme transfer tunai dan distribusi bantuan.  


Menurut Joslin, platform ini dikembangkan untuk menjawab kebutuhan banyak pemerintah dan lembaga kemanusiaan yang memerlukan sistem digital tangguh, terutama di negara-negara dengan keterbatasan sumber daya. 


“Banyak pemerintah menghadapi kebutuhan berulang untuk sistem seperti ini, tetapi seringkali tidak punya kapasitas untuk membangun dari nol,” kata Joslin. 


Salah satu fitur unggulan OpenSPP adalah dukungannya terhadap registri dinamis yang sangat penting dalam sektor pertanian yang kondisinya terus berubah, dia menambahkan.  


Desain OpenSPP juga menekankan pada portabilitas dan interoperabilitas data serta mendukung penggunaan kredensial yang bisa diverifikasi yang memungkinkan petani memiliki dan membagikan data mereka sendiri, seperti bukti hasil panen atau partisipasi dalam program subsidi. 


Ia membagikan dampak platform sumber terbuka ini di Sri Lanka, di mana mereka berhasil membantu pemerintah mengatasi ketidakefisienan dalam program subsidi pupuk dengan cara memadukan sistem registri petani digital yang sudah dimiliki pemerintah dan sistem pelacakan pemasok.  


"Alih-alih membangun ulang dari awal, platform ini merupakan Plus One (pelengkap) bagi sistem data yang sudah ada," kata Joslin seraya menekankan pentingnya reusability (sistem yang dapat digunakan kembali) dalam DPI. 

Memberdayakan pemuda menjadi agripreneur

 

Pendiri dan mentor utama Kuza Biashara, Sriram Bharatam, membagikan bagaimana perusahaannya yang berbasis benefit sosial tersertifikasi mengubah masa depan sistem pertanian melalui model yang digerakkan oleh pemuda dan didukung teknologi. 


Ia membagikan pengalamannya proyek ini di wilayah pedesaan Kenya yang didominasi oleh pemuda pengangguran dan petani skala kecil yang beberapa di antaranya tidak lulus sekolah.  


Melalui program Rural Entrepreneur Development Incubators, Kuza merekrut dan melatih pemuda lokal Kenya untuk menjadi agripreneur, dengan tujuan bekerja sama dengan petani dari generasi lebih senior dan mengembangkan ekosistem pertanian yang inklusif.


“Para pemuda ini dibekali ransel digital portabel berisi video dan alat pembelajaran yang dapat diakses tanpa internet dan listrik, memungkinkan proses belajar antar petani di daerah terpencil," kata Bharatam. 


Setiap agripreneur mendampingi sekitar 10 kelompok petani beranggotakan 15–20 orang, menjadi sumber terpercaya untuk pelatihan, layanan pertanian, akses pasar, hingga pendampingan usaha.  


Kuza juga mengembangkan platform digital OneNetwork untuk menghubungkan agripreneur, penyedia layanan, lembaga keuangan, dan pemerintah dalam satu ekosistem.  


Saat ini, lebih dari 5.000 agripreneur telah membantu lebih dari 1,5 juta petani di 43 dari 47 wilayah pedesaan Kenya.   


Evaluasi Bank Dunia menunjukkan 65 persen petani yang dijangkau adalah perempuan, dengan 80 persen petani mengalami penurunan utang rumah tangga.