Mengurangi "mubazir" pangan melalui digitalisasi rantai pasok makanan
By Stania Puspawardhani
Indonesia dapat mencegah status negara dengan mubazir pangan terbesar kedua di dunia tersebut dengan cara mendigitalisasi rantai pasoknya melalui pemantauan kualitas pangan dengan sensor IoT, ketelusuran pangan melalui blockchain, dan memanfaatkan e-commerce untuk menyeimbangkan pasokan dan kebutuhan.
Sebagai negara terbesar kedua di dunia yang mengalami masalah "mubazir" pangan, Indonesia perlu meningkatkan proses digitalisasi rantai pasok demi mendukung ketahanan pangan di masa depan. Foto: Canva
Food loss and waste atau biasa yang dikenal sebagai “mubazir pangan” di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit.
Pada tahun 2017, Indonesia menghasilkan mubazir pangan kedua terbesar di dunia dengan setiap individu menyia-nyiakan rata-rata 300 kilogram pangan. Menurut data Bappenas pada tahun 2021, angka mubazir pangan di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun sejak tahun 2000 hingga 2019.
Nilai ekonomi yang hilang dari mubazir pangan ini sangat besar. Di tahun 2012, kerugian akibat mubazir pangan ini diperkirakan mencapai US$936 miliar, lebih besar daripada gabungan GDP Indonesia dan Belanda (FAO, 2015).
Food loss and waste pada rantai pasok
Kehilangan pangan (food loss) adalah hilangnya pangan pada awal rantai pasok, yaitu di tahap produksi hingga distribusi, sebelum sampai ke tangan konsumen. Sedangkan food waste terjadi di akhir rantai pasok seperti ritel, pembeli, konsumen rumah tangga, rumah makan, pasar, dan lain-lain.
Kajian Bappenas menemukan bahwa kehilangan pangan di Indonesia berasal dari lima tahap sepanjang rantai pasok pangan, yaitu produksi, pascapanen dan penyimpanan, pemrosesan dan pemaketan, distribusi dan pasar serta konsumsi.
Titik kritis kehilangan pangan di sepanjang rantai pasok berbeda antara negara berpendapatan rendah dengan negara berpendapatan tinggi.
Dalam laporan FAO berjudul ‘Kajian Limbah dan Mubazir Pangan Global’ (2011), mubazir pangan di negara bekembang umumnya terjadi pada awal produksi pangan, misalnya penyimpanan sayur dan buah-buahan yang membuatnya cepat busuk. Sementara di negara maju, mubazir pangan umumnya terjadi di akhir rantai pasok, seperti saat distribusi ke penjual akhir, ataupun tidak terkonsumsinya pangan di tangan konsumen.
Dr Sahara, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) menggarisbawahi bahwa mubazir pangan juga terjadi dalam proses perdagangan internasional, contohnya pada kasus ekspor tuna dari Indonesia.
Ia menemukan bahwa tuna yang diekspor ke luar negeri dalam periode tahun 2014 sampai 2020 mengalami penolakan sebanyak 113.888 kasus dari Amerika Serikat; 21.919 kasus dari Uni Eropa dan 4.661 dari Jepang.
Penolakan disebabkan produk dinilai tidak memenuhi standar keamanan pangan internasional yang diukur dalam beberapa aspek teknis, seperti kurangnya fasilitas infrastruktur, kerusakan pascapanen serta kurangnya sanitasi produk. Di saat yang sama, penolakan ekspor tuna disebabkan antara lain oleh tidak transparannya standar regulasi dari negara importir tuna serta berbelitnya prosedur ekspor.
Digitalisasi rantai pasok
Akurasi pemantauan mubazir pangan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, mengingat sejumlah komoditas pangan dapat mempengaruhi inflasi, antara lain cabai dan bawang merah. Untuk meningkatkan akurasi dan mencegah mubazir pangan lebih lanjut, digitalisasi proses pemantauan dalam rantai pasok pangan merupakan cara yang efisien dan efektif.
Sari Intan Kailaku, Peneliti pada Pusat Agroindustri di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Peneliti Klaster Blockchain, Robotics, and AI Network (BRAIN) di IPB menjelaskan bahwa teknologi digital seperti AI dapat digunakan untuk mengendalikan mutu pangan.
AI dapat mengidentifikasi pola, memprediksi struktur molekul senyawa bioaktif serta meramalkan waktu kadaluwarsa sebuah bahan komoditas. Machine learning juga dapat digunakan untuk menganalisa data genomik dan metabolik pangan untuk mengembangkan resep kuliner yang dibutuhkan.
Lebih lanjut, Sari menuturkan bagaimana sensor IoT dapat digunakan untuk melancarkan logistik pangan dengan menyampaikan data transportasi, suhu, kelembaban atau cahaya selama distribusi di sepanjang rantai pasok.
Pemanfaatan sensor IoT di sepanjang rantai pasokan komoditas ikan dan udang oleh eFishery, sebuah perusahaan rintisan unicorn Indonesia yang didirikan oleh Gibran Huzaifah El Farizy, merupakan salah satu contoh populer pemanfaatan teknologi digital yang digunakan dalam logistik pangan di Indonesia.
eFishery bertujuan untuk menawarkan solusi teknologi akuakultur yang terjangkau untuk membantu para pembudidaya memonitor stok ikan atau udang mereka, serta ketinggian air dan pakan ternak, sehingga biaya operasional dapat dioptimalkan.
Menurut Gibran, salah satu solusi eFishery, eFeeder, telah mengoptimalkan hari panen dan meningkatkan produksi ikan dengan mengurangi waktu dan biaya tenaga kerja, sekaligus meningkatkan prediktabilitas. Solusi lainnya termasuk eFarm, perangkat lunak manajemen yang memberikan wawasan operasional untuk petani dan eFisheryku, platform lengkap untuk petani dan konsumen.
Aplikasi teknologi digital cenderung membutuhkan investasi yang besar, terutama pada periode awal, dan hal ini dapat menghambat transformasi dan inovasi.
Indradi Soemardjan, eksportir kopi yang mencoba mengaplikasikan blockchain pada komoditas yang dipetiknya di Gunung Tilu, Jawa Barat, menyebut bahwa penggunaan teknologi digital sangat mahal; bisa mencapai Rp500 juta.
Mengolah limbah pangan secara modern dan tradisional
Di samping mendigitalisasi rantai pasok, upaya mengurangi mubazir pangan dapat dilakukan melalui pengolahan limbah pangan. GovInsider mengunjungi Rumah Pemulihan Material milik organisasi Waste4Change di Bekasi Timur, untuk melihat proses pengolahan dan daur ulang sampah organik dan non-organik.
Waste4Change, didirikan oleh Bijaksana Junerosano, mengolah sisa-sisa makanan menggunakan larva dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF) yang berperan mengurangi sampah organik. Caranya adalah dengan menempatkan limbah organik seperti sisa makanan, dedaunan dan lainnya ke dalam sistem budidaya maggot, sehingga dapat mengurangi volume sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Pengolahan limbah pangan juga dilakukan melalui metode tradisional. Eko Sulistyanto, Pemilik Warung Tuman di BSD, mengamati nasi basi yang sedang dijemur di area Titik Nol Yogyakarta.
“Di desa-desa Jawa, nyaris tak ada makanan yang terbuang. Semua bisa didaur ulang sebelum diserahkan ke penadah terakhir (hewan ternak); ayam atau kambing,” tuturnya.
Penganan lain yang merupakan hasil daur ulang adalah tempe gembus, yang merupakan ampas kedelai yang diolah dengan kreativitas tertentu untuk menjadi makanan baru yang dapat dikonsumsi.
Berbagai ide dan solusi inovatif dengan memanfaatkan teknologi modern dan metode tradisional dapat bersatu untuk mengurangi mubazir pangan di seluruh rantai pasok.
Berlangganan Bulletin GovInsider untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai inovasi sektor publik.