Mendagri: Digitalisasi dorong transparansi keuangan daerah

By Mochamad Azhar

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan pentingnya percepatan digitalisasi daerah sebagai cara baru untuk memperkuat pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mengurangi layanan publik, sekaligus menciptakan birokrasi yang efisien dan transparan.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menekankan digitalisasi adalah kunci mencapai efisiensi dan transparansi anggaran daerah. Foto: Kementerian Dalam Negeri

Digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan bagi pemerintah daerah untuk bertahan dan berkembang di tengah kebijakan pengetatan fiskal nasional yang berdampak pada pemangkasan dana transfer dari pemerintah pusat, kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. 

 

“Digitalisasi akan mendorong sistem pengelolaan keuangan daerah menjadi lebih transparan, yang mencakup pajak, retribusi dan layanan lainnya sehingga akan berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).”

 

Pernyataan itu disampaikan Tito dalam pidato sambutannya di Forum Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) 2025 di Jakarta, 31 Oktober. FEKDI merupakan acara tahunan yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. 

 

Di hadapan ribuan peserta dari perwakilan pemerintah pusat dan daerah dari seluruh Indonesia, Tito mengingatkan bahwa banyak daerah masih terjebak dalam cara pandang lama dalam mengelola keuangan publik.  

 

Penurunan dana transfer pusat, kata Tito, kerap dianggap sebagai “pemotongan anggaran,” padahal justru bisa menjadi momentum untuk meningkatkan efisiensi belanja. 

 

“Jangan menggunakan acuan yang lama dengan keadaan baru. Kalau dulu dapat 100 lalu [sekarang] jadi 60, langsung dibilang kurang. Padahal ketika saya pelototi [pembukuaan daerah], ternyata belanja perjalanan dinas, rapat, dan pemeliharaan itu terlalu banyak,” tegasnya. 

 

Ia juga menyinggung pengalaman pegawai sektor publik saat pandemi Covid-19 yang mampu bertahan dengan kondisi anggaran yang dipotong drastis.  

 

“Dulu 75 persen ASN di rumah dan operasional kantor tetap berjalan lewat platform digital. Artinya apa? Jangan-jangan memang [belanja] pegawai kita terlalu banyak,” ujar Tito. 

Mendorong transparansi keuangan daerah 

 

Bagi Tito, digitalisasi mampu mengoptimalkan pendapatan daerah sekaligus meningkatkan transparansi.

 

Ia menyoroti potensi kebocoran dalam penerimaan pajak dan retribusi, seperti pajak restoran, hotel, parkir, dan biaya layanan yang sudah dibayar masyarakat tetapi tidak seluruhnya masuk ke kas daerah. 

 

“Coba lihat bill di restoran, sudah ada pajak 10 persen. Artinya masyarakat sudah membayar. Masalahnya, apakah uang itu sampai ke kas daerah? Saya yakin tidak semuanya,” ujarnya seraya mendorong pemerintah daerah mengadopsi sistem pembayaran digital untuk mencegah kebocoran.

 

Ia mencontohkan Kabupaten Banyuwangi yang telah menghubungkan sistem pembayaran hotel dan restoran langsung ke kas daerah melalui sistem digital, yang memungkinkan transaksi langsung tanpa lewat tangan manusia – sebuah langkah yang ia nilai patut ditiru oleh daerah lain. 

 

Berlangganan bulletin GovInsider di sini. 

 

Tito juga meminta pemerintah pusat, khususnya Bank Indonesia, dapat mendukung upaya ini dengan mengembangkan sistem standar nasional seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) khusus untuk transaksi pemerintah daerah.

 

“Bayangkan kalau sistem pemungutan pajak daerah digital ini seperti QRIS. Dengan satu sistem nasional terkoneksi, kita bisa memantau secara real time dan memastikan uang pajak yang sudah dibayar oleh masyarakat betul-betul masuk ke kas daerah,” dia menambahkan. 

 

Menurutnya, sistem nasional semacam ini akan menguntungkan semua pihak: daerah memperoleh pendapatan yang lebih pasti dan transparan, masyarakat tidak dibebani pajak baru, dan Bank Indonesia memperkuat ekosistem pembayaran digital di tingkat lokal. 

Layanan Dukcapil sebagai fondasi 

 

Tito menambahkan, fondasi digitalisasi pemerintahan sejatinya sudah ada melalui sistem kependudukan dan pencatatan sipil (Dukcapil) yang dikelola Kementerian Dalam Negeri. Basis data Dukcapil kini mencakup hampir 99 persen penduduk Indonesia secara by name by address, dan telah dimanfaatkan oleh berbagai lembaga publik maupun sektor swasta.

 

“Database Dukcapil memiliki keunikan biometrik yang meliputi hasil pemindaian sidik jari, iris mata, dan pengenalan wajah. Data ini kini menjadi tulang punggung untuk berbagai sistem verifikasi, baik untuk layanan publik maupun komersial,” jelasnya. 

 

Lebih dari seribu entitas digital dan lembaga keuangan – termasuk FinTech, e-commerce, dan perbankan – telah terhubung dengan sistem verifikasi Dukcapil.  

 

Hal ini, kata Tito, membuktikan bahwa digitalisasi bukan lagi konsep masa depan, tetapi realitas yang sudah berjalan dan perlu diperluas hingga ke tingkat daerah. 

Menjawab tantangan dengan kolaborasi 

 

Meski demikian, Tito mengakui bahwa percepatan digitalisasi di tingkat lokal masih menghadapi sejumlah tantangan.

 

Yang utama adalah interoperabilitas, karena banyak sistem digital di daerah yang berjalan terpisah tanpa terhubung satu dengan lainnya. Alih-alih meningkatkan efisiensi, kondisi ini justru memicu pemborosan.

 

Tantangan lain adalah literasi digital aparat daerah, mulai dari tata kelola aplikasi, kemampuan teknis, hingga keamanan data. 

 

Menurut Tito, berbagai tantangan itu dapat diatasi apabila pemerintah pusat memberikan dukungan berkelanjutan ke daerah dalam mengimplementasikan sistem pemerintahan digital yang sesuai dengan karakteristik lokal. 

 

Ia menutup pidatonya dengan nada optimistis, bahwa digitalisasi daerah ini bukan soal teknologi, tapi soal semangat kolektif.  

 

“Kolaborasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah win-win solution: daerah kuat, rakyat sejahtera, dan bangsa semakin tangguh di era digital.”



Baca juga: BI luncurkan QRIS Tap, pembayaran transportasi jadi lebih mudah