Meningkatkan peran universitas dalam transformasi kebijakan publik
By Yuniar A.
Dalam sebuah diskusi panel baru-baru ini, pemerintah meminta perguruan tinggi untuk menjalankan peran yang lebih besar: sebagai pusat inovasi kebijakan publik, memperkuat kapasitas aparatur dan meningkatkan kualitas birokrasi nasional.

Pemerintah mendorong perguruan tinggi meningkatkan perannya dalam perumusan dan analisa kebijakan publik. Foto: Canva
Di tengah kompleksitas tata kelola pemerintahan modern, muncul satu pertanyaan mendasar: apakah Indonesia memiliki cukup banyak perancang kebijakan publik yang profesional dan mampu menjawab tantangan zaman?
Pertanyaan ini menjadi benang merah dalam Diskusi Publik bertema “Urgensi Pendidikan Lanjutan Kebijakan Publik di Indonesia” yang digelar di Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya, Jakarta, 29 Oktober.
Acara ini mempertemukan pejabat pemerintah, akademisi, dan pelaku advokasi kebijakan untuk membahas cara memperkuat kapasitas perancang kebijakan melalui pendidikan lanjutan yang terarah dan berbasis kebutuhan.
Asisten Deputi Pengembangan Sistem Merit dan Evaluasi Manajemen Aparatur Sipil Negara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Katmoko Ari Sambodo, menyebut bahwa perguruan tinggi harus memainkan peran lebih dalam mendorong transformasi: tidak hanya berperan sebagai knowledge hub, melainkan juga mitra strategis perancang kebijakan publik.
“Dengan riset berbasis data dan pendekatan design thinking, kampus dapat membantu pemerintah merancang solusi yang berorientasi pada kebutuhan warga,” ujarnya.
Menurut Ari, peran strategis ini mencakup bagaimana perguruan tinggi berfungsi layaknya laboratorium kebijakan publik, ruang eksperimen pemerintah untuk menguji ide-ide baru sebelum diimplementasikan secara luas.
Ketika berbicara tentang pendidikan lanjutan, Ari menyebut bahwa perguruan tinggi juga dapat berkontribusi dalam program micro-credential di bidang kebijakan publik, kepemimpinan digital, serta inovasi sektor publik.
Lebih jauh lagi, perguruan tinggi juga dapat mendukung peningkatan kualitas talenta aparatur sipil negara (ASN) melalui program akademik internasional dan riset kolaboratif, menjadi mitra dalam pelatihan pengembangan kepemimpinan digital serta tata kelola, dan menyediakan pipeline talenta kebijakan melalui pendidikan dan riset terapan, dia menambahkan.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Kebijakan publik yang adaptif
Ari menepis pandangan yang menyatakan bahwa perancang kebijakan dan akademisi bekerja di jalur yang terpisah. Karena itu, kemitraan antara universitas dan birokrasi merupakan kunci untuk membangun ekosistem kebijakan publik yang adaptif.
Ari menyoroti bahwa transformasi birokrasi menghadapi lima tantangan besar yang bisa diatasi dengan dukungan dari perguruan tinggi.
Pertama, bagaimana membangun kultur birokrasi baru yang lebih lincah, inovatif, serta berorientasi pada dampak nyata bagi masyarakat.
Kedua, membangun kepercayaan publik melalui penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel, serta pelayanan publik yang cepat, mudah, dan berintegritas.
Tantangan berikutnya, mengurangi kesenjangan kompetensi digital dalam memanfaatkan memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan kualitas layanan secara merata di seluruh Indonesia.
Tidak kalah penting, membangun kebijakan berbasis data, bukti, dan empati.
“Pemerintah harus mendasarkan setiap pengambilan keputusan yang berbasis ilmu pengetahuan, dengan bersandar pada analisis data dan bukti yang akurat (evidence-based), sembari terus memahami dan menjawab kebutuhan warga,” katanya.
Tantangan yang terakhir adalah menghapus sekat birokrasi sehingga layanan yang diberikan kepada masyarakat tidak lagi tumpang tindih dan terkotak-kotak.
Ia juga menyoroti pentingnya kepemimpinan digital lintas disiplin, yang tidak hanya berfokus pada aspek teknologi informasi, tetapi juga memahami konteks sosial, ekonomi, dan budaya dalam pengambilan keputusan publik.
Menguatkan fondasi kebijakan berbasis bukti
Pandangan senada disampaikan oleh Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Muhammad Taufiq, yang menyoroti kualitas kebijakan publik di Indonesia yang masih perlu diperbaiki.
“Hanya sekitar 39 persen kebijakan kita yang dinilai memiliki kualitas baik,” ungkapnya, merujuk pada survei internal lembaga itu terhadap 167 negara pada tahun 2025. Posisi Indonesia, lanjutnya, masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Menurut Taufiq, kualitas kebijakan publik tidak muncul secara alamiah, melainkan harus dirancang dengan cerdas dan didukung oleh profesional berkualitas.
Ia mencontohkan praktik di Amerika Serikat dan Australia, di mana setiap kementerian memiliki unit riset dan kebijakan yang secara sistematis mendukung pembuatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).
“Di kedua negara tersebut, analis kebijakan memiliki posisi strategis dalam seluruh siklus kebijakan, mulai dari riset awal, perumusan, implementasi, hingga evaluasi. Sementara di Indonesia, tata kelolanya harus terhubung dengan baik.”
Taufiq juga menyoroti kesalahpahaman umum bahwa kebijakan publik identik dengan pembuatan regulasi. Padahal kebijakan jauh lebih luas dari sekadar aturan hukum, karena mencakup arah tindakan pemerintah untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Untuk memperbaiki situasi ini, LAN tengah mengembangkan Policy Hub, sebuah wadah kolaboratif “untuk mempertemukan analis kebijakan dan analis perundang-undangan.” Melalui inisiatif ini, ia berharap kebijakan publik di Indonesia dapat dirancang secara lebih terintegrasi dan berbasis data konkret.
“Tujuannya sederhana namun krusial: agar kebijakan yang lahir benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat dan memiliki dampak nyata,” dia menambahkan.
Menjembatani analisis dan keputusan politik
Founder dan CEO Think Policy, Andhyta Firselly Utami, menyoroti sisi lain dari perumusan kebijakan: bagaimana hasil analisis dapat diterjemahkan menjadi keputusan politik nyata.
“Dalam teori policy window, peluang untuk mendorong kebijakan tidak selalu terbuka. Ia baru terbuka ketika solusi sudah tersedia atau ketika muncul tekanan politik.”
Menurutnya, analisis saja tidak cukup karena pada akhirnya diperlukan pengaruh terhadap keputusan politik maupun kebijakan.
Andhyta menegaskan pentingnya pendidikan lanjutan kebijakan publik karena tiga alasan: keterbatasan sumber daya, sifat kebijakan yang tidak bisa diulang (irreversible), dan alasan moral.
Hal ini amat krusial, katanya, karena pendanaan kebijakan publik berasal dari rakyat.
Baca juga: Menteri PANRB dorong birokrasi yang berpusat pada warga