Rekam medis digital mudahkan penanganan kesehatan jemaah haji di Arab Saudi
By Mochamad Azhar
Inovasi Kementerian Kesehatan dalam membuat kartu jemaah haji yang dilengkapi ringkasan kesehatan secara digital telah memungkinkan tenaga kesehatan di negara Arab Saudi memberikan perawatan kesehatan secara lebih cepat dan tepat.
Tahun ini, lebih dari 200 ribu jemaah haji asal Indonesia telah dibekali dengan kartu kesehatan yang yang memuat rekam medis jemaah secara digital. Foto: Canva
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempelopori serta menerapkannya dalam skala besar penerapan interoperabilitas data kesehatan lewat Ringkasan Kesehatan Internasional atau IPS sesuai standar WHO untuk pemantauan kondisi kesehatan jamaah haji di Arab Saudi.
Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan Liliek Marhaendro Susilo mengatakan, pada tahun ini lebih dari 200.000 jemaah haji reguler asal Indonesia telah dibekali Kartu Kesehatan Jemaah Haji (KKJH) yang dilengkapi dengan kode quick response (QR code) IPS berisi informasi tentang kesehatan mereka.
“Dengan memindai QR code IPS, petugas kesehatan haji atau rumah sakit di Arab Saudi dapat dengan mudah mengetahui informasi kesehatan dan riwayat vaksin jemaah untuk menentukan tindakan medis yang tepat,” katanya.
Ini menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang menerapkan QR code IPS yang dapat dipindai tanpa memerlukan aplikasi khusus. IPS yang diterapkan oleh negara-negara lain masih memerlukan aplikasi atau situs khusus untuk dapat membaca QR code tersebut.
Berlangganan Bulletin GovInsider untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai inovasi sektor publik.
Data kesehatan yang berlaku universal
Kartu kesehatan jemaah mengintegrasikan data-data jemaah haji yang tercatat di dalam Sistem komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) Kementerian Agama dengan sistem rekam medis elektronik (RME) pada SATUSEHAT Platform yang dikembangkan oleh Pusdatin-DTO Kemenkes.
Data yang ditampilkan melalui QR code berasal dari hasil pemeriksaan kesehatan jemaah haji yang telah dilakukan sebelum keberangkatan, yang meliputi informasi demografis, riwayat medis, status vaksinasi, alergi, obat-obatan yang sedang digunakan, hingga riwayat pembinaan kesehatan.
Inisiatif IPS lahir dari pengalaman pandemi COVID-19 di mana para pelaku perjalanan luar negeri kesulitan untuk mendapatkan penanganan di negara tujuan karena rumah sakit tidak mengetahui riwayat penyakit pasien.
Ringkasan rekam medis yang berlaku secara universal memungkinkan pelaku perjalanan mendapatkan perawatan kesehatan lintas negara, termasuk para peziarah haji yang mencapai jutaan orang setiap tahunnya.
Tahun ini, Indonesia mengirimkan 241.000 jemaah haji ke Arab Saudi, paling besar dibanding negara-negara lainnya, dengan perbandingan 213.320 jemaah haji reguler dan 27.680 jemaah haji khusus.
Berlangganan Bulletin GovInsider di sini.
IPS memudahkan petugas kesehatan haji
Menurut Liliek, hampir 40 persen jemaah haji asal Indonesia adalah lansia yang memiliki risiko kesehatan tinggi sehingga membutuhkan penanganan yang cepat. Di tahun-tahun sebelumnya, pasien kerap menunggu lama untuk mendapatkan tindakan medis karena rumah sakit di Arab Saudi harus melakukan observasi dan pemeriksaan pasien dari awal.
“Setelah ada IPS, pihak rumah sakit Arab Saudi bisa dengan cepat mengidentifikasi penyakit pasien, mengetahui apa obat rutin yang diminum, dan apa alergi yang dialami oleh pasien,” katanya.
Haji adalah ibadah yang membutuhkan aktivitas fisik secara konsisten dalam waktu yang cukup lama, sehingga tim pendamping haji dari Kemenkes harus memastikan setiap jemaah sehat dan mampu menyelesaikan rangkaian ibadah.
Meski demikian, kerap ditemui kejadian jemaah yang ambruk saat melakukan aktivitas haji dan membutuhkan pertolongan segera.
KKJH memudahkan tim pendamping haji untuk memberikan pertolongan darurat sesuai dengan penyakit yang diderita jemaah, membawa ke klinik terdekat atau langsung membawa mereka ke rumah sakit, Liliek menambahkan.
Ada 14 rumah sakit Arab Saudi yang sudah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia. Otoritas Arab Saudi juga memberikan izin kepada pemerintah Indonesia untuk mendirikan klinik darurat untuk observasi dan perawatan .
Berdasarkan laporan resmi penyelenggaraan haji 2024, jumlah haji asal Indonesia yang meninggal dunia adalah 461 orang, turun dibanding tahun sebelumnya 773. Sebanyak 256 (55 persen) jemaah meninggal dunia berasal dari kelompok usia di atas 60 tahun. Sebagian besar kasus meninggal disebabkan penyakit jantung dan pneumonia.
Mengetatkan pemeriksaan kesehatan
KKJH juga digunakan sebagai acuan dari Kementerian Kesehatan dalam melakukan istitha’ah atau pemantauan kesehatan calon jemaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, masih banyak jemaah haji berangkat dengan memiliki penyakit penyerta (komorbid) seperti hipertensi, jantung, dan diabetes.
Untuk tahun depan, proses medical checkup akan dilakukan secara lebih ketat dan melalui proses penilaian tambahan dari tim Kemenkes di masing-masing kabupaten dan kota. Penilaian tambahan itu mencakup aspek mental, kognitif, dan kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas keseharian. Ini berlaku bagi jemaah lansia dan jemaah non lansia yang memiliki riwayat penyakit.
“Pengetatan tergantung pada jenis penyakit yang diderita masing-masing kandidat. Sebagai contoh, pasien jantung atau gagal ginjal stadium lanjut sudah tidak boleh diberangkatkan tahun depan,” ungkap Liliek.
Kemenkes juga akan mengevaluasi tim penilai di dinas-dinas kesehatan tingkat kabupaten/kota yang meloloskan jemaah dengan risiko tinggi sambil menyiapkan pedoman penilaian yang lebih spesifik dan disertai dengan proses sertifikasi tim penilai.
Menurut Liliek, di masa depan akan semakin banyak calon jemaah berisiko tinggi karena antrean keberangkatan haji Indonesia bisa mencapai puluhan tahun. Saat ini, 5,4 juta orang telah mendapatkan porsi untuk berangkat haji, sementara kuota yang disediakan Kerajaan Arab Saudi berkisar 200.000 setiap tahun.
Karena itu,ia mengimbau bagi calon jemaah haji musim 2025 berisiko tinggi untuk memeriksakan kesehatannya dan menjalani terapi jauh-jauh hari. Apabila memang jemaah haji yang bersangkutan kondisinya sudah tidak layak untuk berangkat, maka porsinya bisa dialihkan kepada keluarganya sesuai ketentuan Kementerian Agama.