Risty Restia, Wakil Ketua Tim Kerja Inovasi dan Pembiayaan Kesehatan, Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan, Kemenkes

By Mochamad Azhar

Mengenal srikandi Women in GovTech 2025.

Risty Restia, Wakil Ketua Tim Kerja Inovasi dan Pembiayaan Kesehatan, Tim Transformasi Teknologi dan Digitalisasi Kesehatan, Kemenkes, berbagi pengalamannya. Foto: Kemenkes

1. Bagaimana cara Anda memastikan bahwa teknologi dan kebijakan benar-benar inklusif?  


Saya percaya teknologi yang hebat bukan yang paling canggih, tapi yang paling memudahkan. Kami selalu menekankan desain berbasis pengguna (user-centered design).


Kami melibatkan tenaga kesehatan, pengembang sistem informasi kesehatan, hingga penyedia asuransi dalam setiap tahap, dari perancangan hingga uji coba, agar solusi benar-benar sesuai dengan konteks lapangan.  


Inklusivitas juga berarti memastikan data digunakan dengan etika dan keadilan, bukan sekadar efisiensi. 

2. Dalam perjalanan karier Anda, ceritakan momen yang pernah Anda alami ketika teknologi atau kebijakan berhasil mengubah kehidupan warga menjadi lebih baik?  


Momen yang paling membekas adalah ketika sistem Insentif Tenaga Kesehatan UKM berhasil digunakan oleh ribuan tenaga kesehatan di Puskesmas. Sebelumnya, proses insentif sangat manual, memakan waktu berminggu-minggu, dan rentan salah hitung. Setelah digitalisasi, pembayaran insentif bisa dilakukan dalam hitungan hari.

3. Apa proyek paling berdampak yang Anda kerjakan tahun ini dalam upaya membangun kepercayaan serta memenuhi kebutuhan publik?


Tahun ini saya memimpin pengembangan SATUSEHAT Klaim, modul di SATUSEHAT yang mengintegrasikan data klaim antara rumah sakit, BPJS Kesehatan, dan asuransi swasta. Ini adalah langkah besar menuju interoperabilitas data kesehatan di Indonesia, khususnya data pembiayaan kesehatan. 


Selama bertahun-tahun sistem data klaim masih terfragmentasi, sehingga menyulitkan pemerintah menganalisis efisiensi pembiayaan dan mutu layanan. Melalui SATUSEHAT Klaim, kami menghubungkan ribuan rumah sakit ke satu ekosistem nasional menggunakan standar FHIR (Fast Healthcare Interoperability Resources). 


Proyek ini bukan hanya soal digitalisasi, tapi juga soal trust-building: menciptakan ekosistem di mana pemerintah, swasta, dan masyarakat saling percaya karena data yang digunakan akurat, aman, dan transparan. 

4. Apa pelajaran penting yang Anda dapatkan tahun ini dari projek-projek Anda? 


Saya belajar bahwa perubahan digital bukan soal teknologi, melainkan tentang manusia dan ritme perubahan. Kita sering tergoda mengejar target sistem tanpa cukup membangun kepercayaan dan kapasitas di lapangan.


Tahun ini saya belajar untuk lebih sabar mendengarkan: memahami kekhawatiran tenaga kesehatan, tantangan tim IT, dan dinamika birokrasi. Ternyata, empati dan komunikasi adalah teknologi paling kuat untuk memastikan transformasi berjalan. 


Berlangganan bulletin GovInsider di sini. 

5. Bagaimana AI dapat meningkatkan layanan pemerintah menjadi lebih inklusif dan dapat dipercaya?  


AI punya potensi besar untuk memperluas jangkauan layanan publik, misalnya dengan mendeteksi pola penyakit lebih cepat atau memprediksi kebutuhan obat di daerah terpencil. Tapi AI hanya bisa dipercaya jika dibangun di atas data yang berkualitas dan tata kelola yang kuat.


Kami sedang menjajaki pemanfaatan AI untuk deteksi potensi fraud pada klaim kesehatan tanpa merugikan pasien.  


Yang terpenting, AI harus tetap human-centered: membantu tenaga kesehatan mengambil keputusan, bukan menggantikannya. Saya percaya AI yang baik adalah AI yang memperkuat empati manusia, bukan menghapusnya. 

6. Bagaimana Anda mempersiapkan diri menghadapi gelombang perubahan? Keterampilan, pendekatan, atau teknologi baru apa yang paling Anda nantikan tahun depan? 


Saya selalu percaya bahwa cara terbaik menghadapi perubahan adalah dengan terus belajar dan berjejaring. Tahun depan saya ingin memperdalam pemanfaatan data interoperability dan responsible AI dalam sektor publik, karena keduanya akan menjadi fondasi besar bagi pelayanan publik digital yang adil.


Selain itu, saya belajar untuk “lebih nyaman” berada di tengah ketidakpastian – menavigasi kebijakan, ekspektasi, dan kecepatan teknologi yang sering tak sejalan. Dalam dunia yang berubah cepat, fleksibilitas dan kejelasan visi adalah berada dalam satu koin yang sama. 

7. Apa saran yang ingin Anda berikan kepada para inovator yang ingin membangun karir di bidang layanan publik?  


Jangan takut bekerja di birokrasi. Justru di situlah perubahan paling berdampak bisa terjadi. Inovasi di sektor publik bukan tentang menjadi disruptor, tapi tentang menjadi bridge-builder – menjembatani kebijakan, teknologi, dan kebutuhan masyarakat.


Saran saya: selalu jaga idealisme, tapi pahami juga ritme institusi. Kadang langkah kecil yang konsisten lebih bermakna daripada ide besar yang tidak bisa dijalankan. Jangan lupa sertakan empati dalam setiap kebijakan yang kita buat. 

8. Siapa yang menjadi inspirasi Anda dalam mengembangkan layanan publik yang inklusif dan tepercaya? 


Inspirasi terbesar saya adalah suami saya, yang bekerja di bidang lingkungan. Melihat dedikasinya menjaga bumi mengingatkan saya bahwa inovasi teknologi seharusnya berpihak pada kehidupan, baik manusia maupun alam. Ia mengajarkan bahwa integritas tidak hanya soal bekerja benar, tapi juga tentang niat baik untuk melayani dengan hati. 


Kami sering berdiskusi tentang bagaimana kesehatan dan lingkungan saling terhubung, dan itu membantu saya menjaga perspektif holistik dalam setiap inisiatif yang saya kembangkan. 

9. Apabila Lembaga Anda mempunyai anggaran tak terbatas, apa proyek impian yang ingin Anda kerjakan?  


Saya ingin membangun Health Resilience Financing Platform, sistem yang menghubungkan data bencana, kesehatan, dan pembiayaan publik untuk memastikan respon cepat dan adil ketika krisis terjadi.


Platform ini akan memungkinkan aktivasi otomatis dana darurat kesehatan, memastikan fasilitas kesehatan di daerah terdampak tetap berfungsi dan masyarakat tetap terlindungi. 

10. Apa yang menarik perhatian Anda di luar sektor teknologi?  


Saya selalu tertarik pada alam, sejarah dan desain (interior). Karenanya, saya suka mendaki gunung dan menonton dokumenter. Bagi saya, keseimbangan antara logika dan estetika penting untuk menjaga perspektif manusiawi di tengah pekerjaan yang serba digital.