Strategi BPJS Kesehatan lindungi 275 juta penduduk dengan jaminan kesehatan
By Mochamad Azhar
Ghufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan, bercerita tentang bagaimana upaya lembaganya memastikan 275 juta penduduk Indonesia dapat mengakses pelayanan kesehatan lewat digitalisasi dan pembiayaan asuransi kesehatan yang inklusif.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti (kanan), menjelaskan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) kepada para perwakilan negara asing. Digitalisasi dan pembiayaan yang inklusif menjadi faktor kunci untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat. Foto: BPJS Kesehatan.
Pemerintah Indonesia selangkah lagi mencapai Cakupan Kesehatan Semesta atau Universal Health Coverage (UHC) – yang ditandai terpenuhinya hak dasar seluruh warga negara untuk mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas di mana saja dan kapan saja, dengan biaya yang terjangkau.
Di Indonesia, keanggotaan sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dibutuhkan penduduk untuk mengakses fasilitas kesehatan. Setiap peserta diwajibkan membayar iuran bulanan yang bervariasi tergantung kelasnya, untuk menjamin kepesertaan tetap aktif. Bagi peserta penerima upah, iuran dibayarkan oleh peserta dan pemberi kerja. Sementara itu, bagi peserta bukan penerima upah atau peserta mandiri, iuran dibayarkan langsung oleh peserta.
"Hingga 1 Maret 2024, jumlah peserta JKN telah mencapai 268,74 juta jiwa atau 96,28% dari total populasi. Kami optimistis target UHC akan tercapai pada tahun ini," kata Ghufron Mukti kepada GovInsider.
Ghufron berbagi tentang sejumlah inovasi dan upaya kolaboratif yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan selaku penyelenggara sistem asuransi kesehatan nasional berbasis pemerintah terbesar di dunia untuk memastikan seluruh penduduk terlindungi jaminan kesehatan.
Digitalisasi sistem jaminan kesehatan
Menurut Ghufron, teknologi digital telah terbukti efektif meningkatkan angka kepesertaan, khususnya melalui platform Mobile JKN yang telah memudahkan calon peserta untuk melakukan registrasi, membayar iuran, dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang diperlukan.
"Digitalisasi dan pemanfaatan teknologi perawatan kesehatan telah memberikan dampak yang signifikan terhadap pelayanan, daya saing, kemudahan akses, dan kepuasan masyarakat."
Pada tahun 2020, jumlah peserta JKN sebesar 220,2 juta penduduk dan meningkat menjadi 268,7 juta populasi empat tahun kemudian. Dari jumlah itu, 18 juta di antaranya mengakses pelayanan kesehatan lewat aplikasi Mobile JKN.
GovInsider sebelumnya melaporkan tentang bagaimana aplikasi ini juga mencakup layanan telemedicine. Layanan ini diuji coba sejak 2022 untuk memudahkan peserta yang lokasi tempat tinggalnya jauh dari fasilitas kesehatan.
Saat ini, aplikasi Mobile JKN telah dilengkapi dengan fitur antrean online untuk memangkas waktu tunggu di fasilitas kesehatan. Mobile JKN juga menyediakan layanan pemantauan riwayat kesehatan untuk mendeteksi risiko penyakit kronis lewat fitur i-Care JKN.
“Di masa depan, aplikasi ini akan terus dikembangkan dengan menyisipkan data ketersediaan dokter dan ketersediaan tempat tidur di fasilitas-fasilitas kesehatan milik pemerintah,” ungkap Ghufron.
Menjaga status kepesertaan tetap aktif
Tantangan utama dalam mencapai UHC ialah bagaimana memastikan semua peserta JKN terlibat dalam pembiayaan premi. Berdasarkan data BPJS Kesehatan, dari 268,74 juta peserta JKN, 53,7 juta atau 20% di antaranya berstatus peserta nonaktif. Mereka adalah peserta non penerima upah atau pekerja informal yang tidak membayar iuran secara rutin atau memiliki tunggakan dengan alasan lupa membayar atau sudah tidak dijamin oleh pemerintah atau pemberi kerja.
Untuk itu, Ghufron mengimbau peserta mandiri untuk membayar iuran secara rutin untuk menghindari masalah administrasi saat mendaftar pelayanan kesehatan di rumah sakit.
"Solusi yang ditawarkan antara lain BPJS Kesehatan bekerja sama dengan perbankan untuk melakukan autodebet di rekening peserta untuk memastikan keanggotaannya tetap aktif. Saat ini tercatat sudah 8,2 juta peserta telah membayar iuran melalui autodebet," ungkap Ghufron.
Selain itu, BPJS Kesehatan juga telah bekerja sama dengan 960 penyedia layanan pembayaran digital, mulai dari layanan dompet digital, aplikasi e-commerce, payment point di toko-toko retail dan lain-lain. Layanan pembayaran digital ini juga memberikan kemudahan bagi mereka yang belum memiliki rekening bank atau yang berada di area terpencil.
BPJS Kesehatan juga menawarkan program Rencana Pembayaran Bertahap (REHAB) melalui aplikasi Mobile JKN atau layanan pelanggan. Program REHAB ini memberikan keringanan bagi peserta non penerima upah yang memiliki tunggakan iuran untuk melakukan pembayaran secara bertahap.
Memastikan jaminan kesehatan yang inklusif
Menurut Ghufron, inklusivitas dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan adalah faktor kunci untuk mewujudkan UHC. Artinya tidak boleh ada seorangpun warga negara yang tidak terlayani oleh fasilitas kesehatan.
Di dalam segmen pekerja bukan penerima upah, terdapat sejumlah pekerja yang memiliki penghasilan tidak menentu atau bahkan tidak bekerja, sehingga memiliki keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan. Kelompok ini tidak ditanggung oleh pemerintah atau pemberi kerja dan tidak mampu membayar iuran mengingat kondisi finansial mereka yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Pemerintah memberikan subsidi pada kelompok ini dengan cara mendaftarkan mereka ke program JKN kelas III. Dengan begitu mereka tidak terbebani oleh pembayaran premi bulanan dan tetap dapat mengakses pelayanan kesehatan,” ujar Ghufron.
Solusi lainnya adalah berkolaborasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan tujuan mendaftarkan penduduk miskin ke dalam program subsidi. BPJS Kesehatan juga mengimplementasikan skema subsidi silang, dengan cara merangkul lembaga-lembaga filantropis, dan badan usaha untuk memberikan donasi untuk membiayai premi masyarakat miskin.
Berlangganan Bulletin GovInsider untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai inovasi sektor publik.