Yang dibutuhkan pengajar sebelum mengajarkan AI di sekolah

By Mochamad Azhar

Langkah pemerintah menyisipkan kecerdasan artifisial (AI) di sekolah sebagai mata pelajaran pilihan merupakan langkah yang menjanjikan, namun juga menyisakan pertanyaan besar: apakah guru-guru kita benar-benar siap?

Untuk meningkatkan kemampuan generasi mendatang yang lebih melek teknologi, pemerintah mengambil langkah mengintegrasikan AI ke dalam sistem pendidikan nasional. Foto: Canva

Dengan memperkenalkan kecerdasan artifisial (AI) sebagai mata pelajaran pilihan di jenjang sekolah dasar dan menengah, Indonesia berharap dapat membentuk generasi yang siap menghadapi era digital.


Melalui Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 13 Tahun 2025, pembelajaran AI dan coding resmi dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional sebagai mata pelajaran pillihan. 


Dengan peraturan ini, pemerintah ingin membekali murid agar menghadapi perkembangan teknologi masa depan. Langkah ini juga sejalan dengan praktik pendidikan yang dilakukan negara maju. 


Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan, mata pelajaran AI dan coding diperuntukkan bagi siswa kelas 5 SD hingga SMA, namun sekolah yang merasa sudah siap dibolehkan untuk menyediakan mata pelajaran ini bagi siswa di tingkat yang lebih rendah. 


Ia mengklaim sudah ada lebih dari 50.000 sekolah yang siap untuk menerapkan pengajaran AI, seperti dikutip Tempo


Meskipun perencanaan ke masa depan seperti ini patut diapresiasi, kunci utamanya tetap ada pada implementasi. 


Pertanyaannya adalah: apakah Indonesia memiliki cukup guru yang menguasai AI untuk mengajarkan dasar-dasar teknologi ini kepada para murid? 

Apakah guru sudah sepenuhnya siap? 


Sebagai mata pelajaran baru, guru dan tenaga pengajar sudah pasti akan menghadapi berbagai tantangan. 


Tantangan paling utama adalah soal kapasitas guru. Bagaimanapun juga AI adalah bidang yang sangat baru, bahkan bagi sebagian besar tenaga pengajar bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) atau komputer sekalipun. 


Saat diterapkan di lapangan, kita akan menghadapi kondisi di mana belum tentu semua guru familiar dengan konsep dasar AI, seperti machine learning, natural language processing, atau etika penggunaan AI. Ditambah lagi dengan kemajuan pesat AI generatif (GenAI) yang marak dua tahun belakangan ini. 


Pengurus Harian Yayasan Guru Belajar, Maman Basyaiban, mengatakan bahwa dalam banyak kasus, guru justru merasa murid mereka lebih mahir menggunakan AI. Ini menciptakan dinamika yang unik di mana guru tidak lagi sekadar menjadi sumber ilmu tunggal, tetapi fasilitator proses belajar yang terus berkembang.   


Agar kondisi ini tidak menciptakan kesenjangan antara semangat mengajarkan AI dan kapasitas riil di lapangan, pemerintah harus mempersiapkan secara serius kebutuhan guru untuk juga mempelajari AI dengan cara yang serupa dengan murid. 


Berlangganan bulletin GovInsider di sini

Pelatihan AI untuk guru belum menyeluruh 


Upaya pelatihan AI bagi guru sebenarnya sudah dilakukan, meskipun pemerintah tidak menyebutkan angka spesifik jumlah guru yang sudah mendapatkan pelatihan AI dalam satu tahun terakhir.


Sebelum mengajarkan AI di sekolah, pemerintah perlu meningkatkan kemampuan guru dan tenaga pengajar dalam hal penguasaan AI. Foto: Canva 

Namun, berdasarkan informasi yang tersebar di media massa, upaya pelatihan AI bagi guru sejauh ini masih terfragmentasi. Sebagian besar pelatihan diselenggarakan oleh mitra swasta, seperti perusahaan teknologi besar atau lembaga non-profit, yang menyasar sekolah-sekolah di kota besar dan sekolah swasta yang sudah punya akses internet dan perangkat pembelajaran digital. 


Ketidakserentakan ini berpotensi menimbulkan masalah lanjutan di kemudian hari, berupa ketimpangan yang mungkin muncul antara guru yang bertugas di kota-kota besar dengan guru yang bertugas di desa atau daerah terpencil dalam hal penguasaan AI. 


Pemerintah perlu menyusun program pelatihan nasional yang menyeluruh, terstruktur, dan berkelanjutan untuk para guru dengan disertai pendampingan lanjutan atau pembaruan materi karena teknologi AI terus berkembang. 


Materi-materi pelatihan yang diajarkan pun tidak hanya sebatas pengetahuan dasar, namun meliputi contoh-contoh praktis penggunaan AI untuk pendidikan dan keterampilan pedagogis yang dibutuhkan untuk mengajarkan mata pelajaran ini. 

Guru memikul tanggung jawab terbesar 


Dengan adanya mata pelajaran AI, guru akan memikul beban ekstra: mengenalkan teknologi AI dan manfaatnya di dunia pendidikan dan kehidupan sehari-sehari kepada murid, sekaligus membekali mereka dengan pengetahuan tentang bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh AI, terutama dengan pesatnya perkembangan AI generatif. 


Beberapa produk AI generatif yang populer digunakan seperti Gemini, ChatGPT atau Meta AI bisa amat berguna bagi murid karena mampu menjawab pertanyaan yang diajukan dengan cepat, bahkan dapat membuat konten dari data yang dihimpunnya. Namun, apa yang dihasilkan AI tidak selalu akurat dan terkadang “berhalusinasi”. 


Sejumlah pendidik telah mengingatkan bahwa penggunaan GenAI yang tidak dipayungi oleh etika dan regulasi yang kuat akan berdampak negatif bagi dunia pendidikan: mulai dari budaya permisif pada plagiarisme hingga hilangnya kemampuan berpikir kritis siswa. 


GovInsider sebelumnya melaporkan penelitian sejumlah universitas terkemuka bahwa penggunaan model bahasa besar (large language models/LLM) GenAI yang ekstensif untuk pekerjaan rutin dapat mengganggu fungsi otak manusia. 


Dalam konteks ini, guru akan mengambil peran lebih besar untuk memastikan murid tetap kritis, kreatif dan tidak menjadikan mereka terlena dengan chatbot dan menjadikan mereka “generasi yang instan”. 

Modul pembelajaran yang adaptif dan terstandardisasi 


Jika Indonesia serius ingin menyiapkan generasi masa depan yang siap menghadapi revolusi AI, maka pemerintah perlu menyiapkan modul pembelajaran AI yang adaptif dan terstandarisasi.  


Ini penting untuk memberikan panduan bagi guru dalam menyiapkan materi, mengembangkan metode belajar, hingga membuat assesment terhadap siswa yang mengikuti mata pelajaran ini.  


Saat ini, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) tengah menyusun kerangka kerja kurikulum AI nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan mengacu pada kerangka kerja global yang dikembangkan UNESCO. Namun, prosesnya masih dalam tahap pengembangan. 


Dalam hal ini, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara-negara lain yang telah lebih dulu menyusun modul pembelajaran AI yang jelas dan terukur. 


Sebagai contoh, Singapura telah menerapkan inisiatif “AI for Fun” pada tahun ini, modul yang mengarahkan siswa sekolah dasar bereksperimen pada GenAI dan robot pintar.  Dalam pembaruan visi Smart Nation negara ini, modul AI for Fun merupakan penambahan dari modul “Code for Fun” yang sudah diperkenalkan sebelumnya.  


Seperti Singapura, Tiongkok telah mengintegrasikan AI ke dalam kurikulum sekolah dasar secara bertahap sejak 2018. Dengan pendekatan terpusat, Tiongkok kini telah memiliki buku teks nasional untuk pelajaran AI yang memungkinkan siswa mengenal AI sejak dini, menumbuhkan pemahaman kritis mereka, dan bereksperien untuk memecahkan masalah nyata.

  

Pelibatan guru sejak tahap awal desain kurikulum AI juga menjadi krusial, mengingat mereka adalah ujung tombak kesuksesan program ini. Guru perlu diberikan ruang untuk memahami, beradaptasi, dan mengintegrasikan pengetahuan mereka tentang AI ke dalam pembelajaran lintas disiplin. 


Yang tak kalah penting adalah pemerintah harus menutup kesenjangan infrastruktur digital antar daerah, untuk memastikan bahwa setiap sekolah memiliki kesempatan yang sama untuk mengimplementasikan mata pelajaran AI.