Dengan FinTech, Indonesia targetkan inklusi keuangan 90% pada 2024
Oleh Mochamad Azhar
Untuk mencapai inklusi keuangan nasional sebesar 90% pada tahun 2024, pemerintah Indonesia akan mendorong penggunaan teknologi finansial (FinTech) untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan.
Pemerintah Indonesia aktif mendorong kolaborasi antara penyelenggara FinTech dengan pelaku UMKM untuk mencapai target inklusi keuangan 90% pada 2024. Foto: Canva
Rudy Salahuddin, Deputi Ekonomi Digital, Ketenagakerjaan dan UMKM pada Kementerian Koordinator Perekonomian mengatakan teknologi digital telah membantu meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.
“Tingkat inklusi keuangan masyarakat meningkat dari 81,4% pada saat pandemi menjadi 85,1% pada tahun ini, didorong oleh meningkatnya aktivitas ekonomi masyarakat yang menggunakan layanan digital,” kata Rudy ketika berbicara pada acara Indonesia FinTech Summit 2023 pada 24 November di Jakarta.
Menurut Rudy, pemerintah menargetkan inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun 2024 melalui berbagai inisiatif. Di antaranya adalah mendorong lebih banyak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) untuk masuk ke industri teknologi finansial (FinTech), meningkatkan aktivitas keuangan digital masyarakat, dan meningkatkan literasi keuangan digital.
Kolaborasi fintech dan UMKM jadi faktor kunci
Inisiatif yang pertama ialah bagaimana mendorong UMKM untuk menggunakan layanan FinTech. Pemerintah akan aktif mendorong kolaborasi antara investor, asosiasi FinTech, serta penyelenggara FinTech yang berizin OJK dengan UMKM untuk mendorong adopsi.
“Dengan FinTech, para pelaku UMKM dapat berintegrasi dengan platform pembayaran digital dengan lebih cepat, mengakses modal, serta biaya transaksi yang terjangkau,” kata Rudy.
Jumlah UMKM Indonesia mencapai 64 juta dengan kontribusi terhadap Produk domestik Bruto (PDB) sebesar 60% serta kemampuan menyerap lebih dari 90% tenaga kerja.
Namun demikian, UMKM hanya mendapat porsi 20% dari total kredit perbankan yang sebesar Rp6.400 triliun pada 2022. Rendahnya akses keuangan UMKM dipicu antara lain karena UMKM tidak memiliki agunan, rendahnya literasi keuangan pelaku usaha, dan masih banyak UMKM yang terkendala legalitas.
Kesenjangan pembiayaan yang dialami UMKM disebabkan karena mereka tidak memiliki agunan, rendahnya literasi keuangan pelaku usaha, dan masih banyak UMKM yang terkendala legalitas.
Menurut Rudy, FinTech dapat membantu menjembatani kesenjangan pembiayaan UMKM karena regulasi dan persyaratan pinjaman yang tidak seketat bank.
"Peluang ini harus dioptimalkan oleh industri jasa keuangan melalui berbagai skema pembiayaan, antara lain peer-to-peer lending, pinjaman online, dan crowdfunding."
Banyak UMKM yang berada jauh dari pusat kota juga dapat lebih mudah meningkatkan skala bisnis mereka karena sekarang mereka memiliki akses ke pinjaman. Hal ini mengurangi ketergantungan UMKM terhadap lembaga keuangan non-bank.
Mendorong masyarakat gunakan layanan digital
Inisiatif kedua adalah mendorong lebih banyak lagi aktivitas masyarakat dalam menggunakan FinTech. Menurut Rudy, pandemi telah “membantu” layanan keuangan digital menjadi kian inklusif. Masyarakat tidak lagi diharuskan melakukan kontak langsung karena semua sudah serba digital.
Oleh karena itu, pemerintah terus memperluas infrastruktur layanan publik seperti transportasi, perdagangan, ritel, hingga pariwisata yang semuanya bisa diakses secara elektronik.
“Hal ini bertujuan agar agar masyarakat terbiasa menggunakan layanan keuangan digital, pembayaran digital, uang elektronik, dompet elektronik dalam aktivitas sehari-hari masyarakat.”
Bank Indonesia juga telah membuat kode standar yang pembayaran digital (QRIS) yang bisa digunakan untuk bertransaksi di layanan pemerintah dan swasta di seluruh Indonesia. Bahkan QRIS kini sudah bisa digunakan di Singapura dan Malaysia.
Dari sisi regulasi, pemerintah juga telah membuka kesempatan yang luas bagi bank dan industri jasa keuangan untuk berinovasi melalui sejumlah regulasi dan insentif.
Literasi keuangan digital
Inisiatif terakhir adalah memperkuat literasi keuangan digital masyarakat. “Meski tingkat inklusi keuangan kita telah mencapai 85,1%, tingkat literasi keuangan digital masih di angka 48 persen. Pertumbuhan industri FinTech yang pesat diharapkan mampu menutup kesenjangan tersebut,” kata Rudy.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan Sektor Keuangan telah mewajibkan pemerintah dan penyelenggara FinTech untuk memberikan literasi keuangan kepada masyarakat, mulai dari proses adopsi hingga proses pembayaran digital.
Selain melalui aturan Undang-Undang, pemerintah juga memberlakukan insentif super tax deduction bagi industri atau penyelenggara jasa keuangan yang terlibat dalam pelatihan tenaga kerja digital dan literasi digital.
“Dibutuhkan peran serta pemerintah, sektor swasta, dan juga masyarakat untuk menciptakan sistem layanan keuangan yang inklusif,” tutup Rudy.