Teknologi dan birokrasi lincah kunci sukses layanan pemerintah
Oleh Mochamad Azhar
Dari aplikasi kesehatan digital ke kota cerdas Nusantara, Daniel Oscar Baskoro berbagi tentang bagaimana meramu teknologi terbaru dengan tim yang lincah untuk mengembangkan layanan publik digital di sektor pemerintahan.
-1757472907703.jpg)
Senior Advisor Otorita Ibu Kota Nusantara, Oscar Baskoro, berbagi pengalamannya mengembangkan layanan digital pemerintah. Foto: GovInsider
“Kalau ada yang membangun gedungnya, saya membangun di langitnya,” ujar Penasihat Senior Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), Oscar Baskoro, menggambarkan perannya dalam mengembangkan layanan digital dalam setiap posisi yang ia jalani di pemerintahan.
Menurut Oscar, dalam mengembangkan layanan digitalnya, lembaga pemerintah kerap terjebak pada target jumlah pengguna atau jenis teknologi yang dipakai. Padahal, inti persoalannya tidak sesederhana itu.
“Proses iteratif dan kelincahan birokrasi adalah hal yang terpenting,” katanya.
Berbicara pada sesi government keynote di acara “Public Sector Leader Roundtable: Realising Golden Indonesia Vision 2045 with Hybrid Cloud” yang diadakan GovInsider dan Red Hat pada 28 Agustus di Jakarta, Oscar membagikan pengalamannya tentang bagaimana mengelola aplikasi berskala nasional hingga membangun infrastruktur digital di IKN.
Layanan publik yang bisa diskalakan
Menurut Oscar, mengombinasikan infrastruktur on-premise dan hybrid cloud adalah salah satu hal yang paling kritikal di divisi teknologi pemerintahan.
Hal itulah yang ia rasakan ketika menjadi bagian dari Digital Transformation Office, Kementerian Kesehatan, yang mengembangkan aplikasi PeduliLindungi – kini berevolusi menjadi SATUSEHAT.
PeduliLindungi merupakan aplikasi penelusuran kontak yang menjadi tulang punggung kesehatan digital pada saat pandemi.
Menurut Oscar, ketika aplikasi itu sudah digunakan oleh jutaan orang, muncul tantangan skalabilitas yang tidak bisa langsung diatasi hanya dengan mengandalkan infrastruktur on-premise.
“Saat digunakan oleh 5 juta pengguna masih kuat. Ketika naik ke 10 juta, kita mulai bangga walau sistem mulai terasa lambat. Ketika sampai 50 juta, sistem tak kuat menangani,” kenangnya.
Solusi yang ditempuh adalah beralih ke hybrid cloud, dengan data sensitif tetap ditangani secara on-premise, sementara layanan massal dipindahkan secara penuh ke cloud.
“PeduliLindungi pernah mengalami transaksi sampai 10 juta per hari. Itu mungkin the biggest government transaction di Indonesia,” ujar Oscar, seraya menambahkan bahwa pada saat awal pengembangan, tim hanya berjumlah 20 orang sebelum akhirnya berkembang menjadi 250 orang seiring kuatnya dorongan digitalisasi sektor kesahatan.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini
Memimpin implementasi smart city
Di IKN, Oscar kini memimpin tim berjumlah 150 orang dalam pengembangan konsep kota cerdas IKN, mencakup sistem pengawasan dan pemantauan berbasis sensor, CCTV, dan aplikasi terintegrasi untuk warga dan pengunjung IKN yang bernama IKNOW.
Oscar mengatakan, ia memanfaatkan hybrid cloud untuk analitik data menggunakan kecerdasan artifisial (AI). IKN juga menggunakan edge computing yang memungkinkan data dianalisis secara real time tanpa harus selalu dikirim ke cloud. Hasilnya, respons sistem bisa lebih cepat dan efisien.
Menyoroti tren implementasi AI sebagai "buzzword" di pemerintahan saat ini, Oscar mengatakan bahwa AI tidak boleh berhenti pada gimmick atau demo singkat tetapi benar-benar membawa manfaat nyata bagi warga.
“AI memang bisa menjawab pertanyaan kita. Namun, apakah jawaban itu akurat dan seberapa cepat dia menjawabnya? Lalu bagaimana performa AI dapat memuaskan pengguna?” tegasnya.
Ia mencontohkan, jika AI ditanya mengenai cuaca di suatu distrik, tetapi ia menjawabnya dengan menyediakan data umum kota, maka pengguna akan kecewa.
Sebelum mengembangkan model AI, maka penting untuk memikirkan apa manfaatnya, bagaimana performanya dan bagaimana user experience-nya, dia menambahkan.
Fleksibilitas open source
Oscar menyadari bahwa lanskap digital Indonesia bergantung pada kebijakan anggaran dari pemerintah pusat, yang akan mempengaruhi perencanaan dan pengembangan proyek-proyek digital ke depan. Dengan situasi ketika pemerintah tidak lagi leluasa mengeluarkan anggaran, maka keberlanjutan layanan akan dipertaruhkan sehingga bisa berdampak pada pengguna.
Menurut Oscar, adopsi platform open source dapat menjadi pilihan untuk menjembatani antara tuntutan digitalisasi dan menjaga keberlanjutan proyek digital pemerintah.
Selain fleksibel dan dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan, platform terbuka juga akan melindungi pemerintah dari ketergantungan vendor.
“Platform seperti OpenShift, atau solusi dari penyedia layanan lainnya, dapat membuat transisi dari on-premise ke cloud berjalan mulus tanpa mengorbankan kenyamanan pengguna,” katanya.
Sumber daya manusia sebagai fondasi
Meski teknologi menjadi hal yang penting dalam transformasi digital, Oscar percaya bahwa faktor utama ada pada sumber daya manusia.
Untuk itu, ia menerapkan model agile squad (tim yang lincah) agar staf teknologi fokus pada kompetensi inti, bukan terjebak pada urusan birokrasi. Tim ini berperan secara khusus dalam merancang konsep, bereksperimen, hingga mengembangkan produk yang dibutuhkan oleh warga.
“Sering kali orang IT di pemerintahan justru sibuk bikin surat atau laporan. Padahal mereka harus fokus pada digitalisasi,” katanya.
Bagi Oscar, pengembangan SDM bukan hanya soal keahlian teknis, tetapi juga strategi organisasi. Ia mengibaratkan tim sepak bola yang diisi 11 pemain berbakat dan pelatih andal tidak akan menang tanpa adanya strategi yang solid.
