Mengubah sampah menjadi energi
By Mochamad Azhar
Tumpukan sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, telah mencapai 40 meter, mengalahkan tinggi Candi Borobudur (35 meter) yang merupakan bagian dari 7 keajaiban dunia! Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencoba untuk mengubah “gunung sampah” itu menjadi energi terbarukan.
Sampah menumpuk di TPST Bantar Gebang. Setiap harinya Jakarta mengirim 7.500 ton sampah ke fasilitas ini. Foto: Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
TPST Bantar Gebang adalah fasilitas pengolahan sampah terbesar di Indonesia. Berdiri di atas lahan seluas 110 hektare di pinggir kota Bekasi, Jawa Barat, TPST Bantar Gebang telah lebih dari 30 tahun melayani kiriman sampah dari Ibu Kota.
Saat ini, kondisi TPST Bantar Gebang semakin kritis. Volume sampah yang menumpuk telah mencapai 39 juta ton atau 80 persen dari total kapasitas 49 juta ton. Jika tidak segera diantisipasi, maka dalam waktu dekat TPST Bantar Gebang akan mengalami overload, terlebih saat ini memasuki musim hujan yang menyebabkan tonase meningkat dan berpotensi menyebabkan longsor sampah.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan kepada GovInsider tentang aktivitas penduduk yang tinggi telah menghasilkan ribuan ton sampah per hari. “Setiap harinya, ratusan truk mengangkut 7.500 ton sampah dari berbagai fasilitas pengolahan sampah di Jakarta ke TPST Bantar Gebang.”
Menurut mantan Kepala Unit TPST Bantar Gebang ini, ada beberapa cara untuk menyiasati kelebihan kapasitas fasilitas. Salah satunya dengan menambah lahan. Namun, ketersediaan lahan terbatas dan solusi itu hanya sementara lantaran sistem pengolahan sampah yang ada tidak mampu menangani produksi sampah ribuan ton per hari.
Karena itu, Pemprov DKI membangun fasilitas pengolahan sampah modern dan berkelanjutan melalui Landfill Mining dengan teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF) Plant yang mampu mengubah sampah menjadi energi. “Saat ini progres pembangunannya sudah mencapai 90 persen dan diharapkan beroperasi pada tahun 2023,” kata dia.
Menciptakan energi terbarukan 700-750 ton per hari
Asep mengatakan, Landfill Mining secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya pemanfaatan sampah untuk diolah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi. Cara kerjanya ialah memindahkan sampah ke zona pengolahan yang tidak aktif untuk didekomposisi berdasarkan nilai kalor dan spesifikasinya.
“Kemudian mesin RDF Plant akan mengubah sampah yang memiliki nilai kalor tinggi seperti plastik, kertas, tekstil atau limbah B3 menjadi bahan bakar alternatif setara batu bara.”
Fasilitas akan beroperasi selama 2 x 15 jam per hari, sehingga total sampah yang diolah oleh mesin mencapai 2.000 ton per hari. Ini terdiri atas 1.000 ton sampah lama dari zona landfill tidak aktif di TPST Bantar Gebang dan 1.000 ton sampah baru yang dikirim Jakarta.
Output dari teknologi ini akan menghasilkan 700-750 ton bahan bakar setara batu bara per hari dengan spesifikasi nilai kalor 3.000 kKal per kilogram.
Dengan kapasitas maksimal sebanyak 2.000 ton per hari, fasilitas ini diharapkan mampu mengurangi tumpukan sampah di tiap zona di TPST Bantar Gebang, mulai dari zona landfill tidak aktif hingga zona utama secara bertahap.
“Jika rata-rata volume sampah baru yang diangkut ke TPST Bantar Gebang sebanyak 7.500 ton, RDF Plant efektif mereduksi volume sampah baru hingga 13 persen per hari,” ungkap Asep.
Setelah diproses menjadi energi, bahan bakar dari sampah tersebut akan dijadikan sebagai bahan bakar untuk industri.
Menurut Asep, setidaknya sudah ada 2 perusahaan semen yang akan memanfaatkan RDF hasil pengolahan sampah sebagai bahan bakar untuk pabriknya, yaitu PT Indocement Tunggal Prakarsa serta PT Solusi Bangun Indonesia.
Proses bisnis dilaksanakan dengan mekanisme jual beli antara Badan Layanan Umum Daerah Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta dengan kedua perusahaan.
Perusahaan akan membayar setiap tonase produk RDF sesuai dengan formula yang disepakati. “Mereka juga akan memberikan pendampingan teknis kepada operator fasilitas Landfill Mining dan RDF Plant untuk menghasilkan produk RDF yang sesuai spesifikasi yang dibutuhkan pabrik,” Asep menambahkan.
Meski demikian, Asep mengakui bahwa implementasi proses bisnis dari produk RDF ini masih menghadapi tantangan. Salah satunya belum adanya regulasi dari Pemerintah Pusat tentang harga jual RDF yang kompetitif. Kami juga membutuhkan bimbingan teknis dari Pemerintah Pusat terkait potensi carbon credit yang bisa dioptimalkan dari RDF Plant ini.
Memilah sampah di tingkat hulu
Pembangunan fasilitas pengolahan sampah tingkat akhir harus diiringi kesadaran masyarakat dan pelaku ekonomi untuk mengurangi produksi sampah. Dari 7.500 ton sampah yang dihasilkan penduduk, sebanyak 40 persen di antaranya adalah sampah non organik yang sulit terurai seperti plastik, kertas dan pembungkus makanan.
Asep mengajak masyarakat untuk membantu memilah sampah dari rumah serta menghindari barang yang tak ramah lingkungan seperti plastik. “Petugas kami bersiaga untuk membantu proses pemilahan sampah hingga ke lingkungan rumah tangga.”
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Muhammad Aminullah mengatakan, langkah pemerintah membangun RDF Plant harus disertai upaya menekan produksi sampah di tingkat hulu. “Pemerintah seharusnya membangun terminal sampah di tingkat komunitas untuk mengurangi residu sampah yang diangkut di ke TPST Bantar Gebang.”
Pengolahan sampah tidak bisa dilakukan secara parsial. Kebijakan pengelolaan sampah harus dilakukan secara sistematis, partisipatif, dan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil survei Walhi, kebiasaan masyarakat untuk memilah dan mendaur ulang sampah masih berada di angka 65 persen. Karena itu, pemerintah daerah harus turun ke rumah-rumah dan memberikan pendampingan.
“Masyarakat dan industri harus berpartisipasi mengelola sampahnya masing-masing di titik-titik terkecil, sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir, tutup Aminullah.