Apakah ASEAN tertinggal dalam perlombaan broadband seluler?

By Scott W Minehane

Negara-negara di kawasan ini perlu menyediakan lebih banyak spektrum, terutama di pita 3,5 GHz, untuk layanan digital generasi mutakhir yang menggunakan jaringan 5G.

Meskipun negara-negara di Asia Tenggara menyadari pentingnya alokasi spektrum yang tepat, mereka dengan cepat tertinggal dalam daya saing broadband seluler, tulis Scott W Minehane. Foto: Canva

Sudah satu tahun sejak para Menteri dari negara-negara ASEAN mendukung pentingnya spektrum frekuensi seluler sebagai urat nadi bagi perkembangan digital di kawasan ini pada pertemuan Menteri Digital ASEAN Ketiga di Boracay, Filipina.  

 

Namun, negara-negara ASEAN seperti yang ditunjukkan pada bagan terlampir dengan cepat tertinggal dalam hal daya saing broadband seluler karena kurangnya alokasi spektrum bergerak yang tepat, terutama pada pita frekuensi perintis 5G, yaitu pita 3.5 GHz (gigahertz).

 
Sumber: Ookla, Mei 2024 dengan analisis WPC mengenai pita spektrum yang harus tersedia untuk 5G dalam waktu dekat.

ASEAN kalah kompetitif dari pasar di Asia Utara, Timur Tengah dan India yang telah memprioritaskan penggunaan spektrum seluler baru untuk menyediakan broadband nirkabel 4G dan 5G berkualitas tinggi bagi warganya. 

 

Hal ini membantu wilayah dan negara tersebut untuk membangun perusahaan yang lebih kompetitif dengan broadband nirkabel berkecepatan tinggi yang mendukung digitalisasi, manufaktur pintar, logistik pintar, penyediaan layanan yang hemat energi, dan e-commerce

Kajian rinci tentang spektrum frekuensi seluler di ASEAN  

 

Apa yang kita lihat pada pendekatan negara-negara ASEAN terhadap spektrum frekuensi bergerak seluler dan broadband secara mendalam?

  

Kamboja: Meskipun pemerintah baru-baru ini telah membuat pengumuman yang mengonfirmasi peluncuran layanan 5G dalam waktu dekat, industri ini sedang menunggu peluncuran spektrum 5G untuk operator seluler (terutama pita 3,5 GHz) serta amandemen terhadap peraturan izin operasi mereka untuk menyediakan layanan 5G dan backhaul fiber optik yang diperlukan. 

 

Sementara menunggu kebijakan tersebut dirumuskan, konsumen Kamboja saat ini memiliki kecepatan unduh broadband seluler terendah di ASEAN, di bawah kecepatan unduh yang ditawarkan di Myanmar.  

 

Mengingat pentingnya telekomunikasi seluler di negara yang mengutamakan seluler seperti Kamboja, layanan seluler 5G dan layanan FWA 5G (yang merupakan pengganti yang sangat baik untuk layanan komunikasi tetap yang belum berkembang di negara tersebut) diperlukan sesegera mungkin.

 

Hal ini dapat memfasilitasi pertumbuhan ekonomi digital Kamboja dalam hal e-commerce dan manufaktur pintar, sehingga membantu negara ini mencapai target pertumbuhan PDB sebesar 6,6% pada tahun 2024. 

 

Indonesia: Meskipun Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia (Kominfo) telah menambah tenggat waktu untuk melakukan refarming spektrum frekuensi radio yang visioner dan mampu memaksimalkan penggunaan spektrum seluler terbatas yang dimilikinya dengan menciptakan blok spektrum yang lebih besar dan bersebelahan, strategi ini masih belum cukup.  

 

Kurangnya spektrum IMT (International Mobile Telecommunications) di Indonesia tercermin dengan jelas dari fakta bahwa kecepatan mobile broadband di Jakarta hanya berada di urutan kedelapan di ASEAN.

 

Vietnam: Di negara yang sedang berkembang pesat ini, regulator spektrum, Otoritas Manajemen Frekuensi Radio (ARFM), akhirnya menyediakan pita 2,6 dan 3,5 GHz untuk layanan 5G (dan diharapkan segera menyediakan pita 700 MHz).  

 

Meskipun hal ini patut dipuji, Vietnam sedang mengejar ketertinggalan setelah lebih dari satu dekade tidak merilis spektrum baru untuk layanan seluler.

  

Masih banyak yang harus dilakukan di bidang spektrum termasuk memastikan bahwa semua operator seluler memiliki spektrum yang cukup untuk masa depan 5G dan 6G yang konsisten dengan kebijakan Pemerintah. 

 

Thailand: Negara ini berisiko kehilangan kepemimpinan broadband seluler 5G yang diperolehnya selama pandemi Covid-19 setelah pelelangan dan penugasan pita 700 MHz dan 2,6 GHz pada tahun 2020. 

 

Harga spektrum yang sangat tinggi yang dibebankan oleh NBTC (Komisi Penyiaran dan Telekomunikasi Nasional) telah mengurangi peta persaingan seluler secara signifikan dan hanya menyisakan dua operator seluler dengan berbagai ukuran yang tersisa, yaitu AIS dan Truemove-DTAC.

 

Terlebih lagi, layanan 5G telah mencakup lebih dari 92 persen populasi dengan lebih dari 20 juta pelanggan (hampir 30 persen penetrasi).  

 

Konsumen Thailand yang merupakan pengguna berat data seluler akan mendapatkan layanan seluler yang jauh lebih cepat jika pita 3,5 GHz dirilis dengan harga yang terjangkau oleh operator untuk layanan 5G-Advanced dalam waktu dekat. 

 

Filipina: Tanpa penataan ulang pita spektrum seluler dan penyediaan lebih banyak spektrum pita 3,5 GHz di daerah perkotaan utama seperti Metro Manila, Davao dan Cebu, konsumen hanya mendapatkan layanan 5G yang lambat yang sebagian besar bergantung pada pembagian spektrum dinamis (DSS). Cakupan dan kualitas layanan dari layanan 4G juga masih jauh dari kata baik.  

 

Malaysia: Meskipun kecepatan broadband nirkabel di negara ini, seperti yang dilaporkan oleh Ookla, tergolong cepat, hal ini sebagian disebabkan karena lambatnya adopsi 5G oleh konsumen karena kurangnya persaingan 5G dan perubahan kebijakan Pemerintah.   

 

Pembatasan penggunaan pita spektrum seluler lama untuk layanan 5G bersifat artifisial dan tanpa basis yang jelas sehingga harus segera diubah. Penggunaan pita 700 MHz dan 3,5 GHz (yang mencakup 280 MHz di Malaysia) untuk 5G tidaklah cukup untuk layanan 5G di negara tersebut. 

 

Singapura: Regulator negara tersebut, Infocomm Media Development Authority (IMDA), perlu menyediakan lebih banyak pita frekuensi 3,5 GHz dan 2,3 GHz untuk evolusi 5G ke 5G-A bersama dengan negara tetangganya dan juga mengizinkan operator seluler untuk menggunakan pita spektrum 700 MHz yang dilelang bertahun-tahun yang lalu. 

 

Hal ini akan meningkatkan penetrasi sinyal seluler di dalam gedung dan jaringan MRT bawah tanah. 

 

Laos: Negara ini telah meluncurkan layanan 5G secara komersial pada bulan Januari 2024. Namun, negara ini perlu menyediakan lebih banyak pita 3,5 GHz dan negara tersebut harus mendorong operator selulernya dalam menyediakan layanan universal, dengan dukungan dana pemerintah untuk membangun jaringan nirkabel menggunakan pita 700 MHz di daerah-daerah yang belum terhubung. 

Kesimpulan 

 

Penting untuk diketahui bahwa pita frekuensi 3,5 GHz bukanlah pilihan spektrum pertama negara-negara ASEAN untuk layanan 5G mengingat banyaknya penggunaan pita C-band (pita seluler 3,5 GHz yang ada di dalamnya) untuk layanan satelit di seluruh kawasan. 

 

Namun, pita 3,5 GHz mempunyai blok spektrum seluler yang besar dan berdekatan. Hal ini diperlukan untuk menyediakan layanan 5G yang menarik, yang dibutuhkan para operator dan diinginkan oleh konsumen. 

 

Broadband berkualitas tinggi, terjangkau, dan ada di mana-mana sangat penting untuk pembangunan dan ASEAN tidak boleh ketinggalan dalam memanfaatkan pita 3,5 GHz untuk layanan seluler 5G generasi berikutnya. 

  

 

Penulis adalah Prinsipal pada Windsor Place Consulting, sebuah konsultan independen. Minehane telah memberi nasihat kepada pemerintah, perusahaan terkemuka dan organisasi internasional termasuk International Telecommunications Union (ITU), Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Sekretariat ASEAN, Asian Pacific Telecommunity (APT), APEC Business Advisory Council, USAID, dan GSMA. Artikel ini diproduksi bekerja sama dengan Windsor Place Consulting.