Peran inkubator akademik dalam mendorong terobosan kesehatan di ASEAN

Oleh Dr Muhammad Daniel Azlan bin Mahadzir Associate Professor Jonas Karlström

Inkubator akademik dapat mentransformasi cara kawasan ini menghadapi tantangan kesehatan, sekaligus menjembatani dunia sains, kewirausahaan, dan dampak sosial.

Program Global Health Innovation Fellowship dari SingHealth Duke-NUS Global Health Institute bertujuan untuk mendefinisikan ulang makna inovasi kesehatan bagi kawasan Asia Tenggara. Foto: Dr Daniel Mahadzir

Bayangkan seorang ilmuwan mengembangkan prototipe menarik dalam sebuah proyek yang didanai hibah. Hasilnya terlihat menjanjikan. Namun ketika masa hibah berakhir, proyek itu pun berhenti.

 

Tanpa pendanaan lanjutan, bimbingan, serta jembatan antara dunia akademik dan pasar, proyek tersebut menghilang ke dalam apa yang disebut para peneliti sebagai “lembah kematian”, kesenjangan antara penemuan riset yang menjanjikan dan produk nyata yang dapat menyelamatkan nyawa. 

 
Dr Daniel Mahadzir dan Jonas Karlström merupakan inti dari tim Inovasi di SingHealth Duke-NUS Global Health Institute. Foto: Dr Daniel Mahadzir

Bagi para inovator di Asia Tenggara, kesenjangan itu bahkan lebih lebar karena minimnya investasi modal ventura yang kuat dan sistem dukungan yang terstruktur. Banyak ide cemerlang dari laboratorium universitas atau peneliti muda gagal berkembang sebelum sempat menjangkau pasien. 

 

Dengan data global yang menunjukkan hampir sembilan dari sepuluh startup gagal, Asia Tenggara tidak mampu terus kehilangan inovasi kesehatan paling menjanjikannya seperti ini. Kawasan ini membutuhkan jembatan baru antara riset dan realitas. 

 

Di sinilah peran inkubator akademik menjadi penting. 

 

Berbeda dari akselerator startup tradisional yang berfokus pada kecepatan dan skala, inkubator akademik berakar di universitas dan rumah sakit.

 

Mereka mempertemukan ilmuwan, pengusaha, dan pembuat kebijakan dalam satu ruang untuk mengembangkan ide yang berbasis bukti sekaligus layak secara komersial. 

 

Tujuannya bukan sekadar melahirkan startup bernilai miliaran dolar, tetapi menjadikan riset sebagai solusi nyata yang meningkatkan kualitas hidup.

 

Inilah yang menginspirasi SingHealth Duke-NUS Global Health Institute untuk memikirkan ulang bagaimana dukungan terhadap inovasi seharusnya dijalankan di kawasan ini. 

Hackathon sebagai titik awal 

 

Hasilnya adalah Global Health Innovation Fellowship, sebuah program yang memandang hackathon bukan sebagai tujuan akhir, melainkan titik awal.

 

Setelah hackathon dua hari, tiga tim paling menjanjikan menerima pendanaan awal (pre-seed funding) dan enam bulan masa inkubasi terstruktur untuk menyempurnakan ide mereka. 

 

Tim-tim tersebut berasal dari Malaysia, Thailand, Mongolia, dan Indonesia, dengan tujuan mengatasi beban kesehatan akibat perubahan iklim, sebuah tema yang semakin mendesak di Asia

 

Hasilnya setelah 22 minggu sangat mencolok. 

 

Dari tiga tim terpilih, dua sudah melangkah menuju tahap komersialisasi.


Salah satu tim telah terdaftar sebagai perusahaan dan mulai bertemu dengan investor. Sementara tim ketiga menyadari bahwa ide mereka akan memberikan dampak lebih besar jika dikembangkan sebagai proyek riset, bukan produk.


Keputusan ini mungkin terdengar seperti jalan buntu, tetapi justru sebaliknya. Mengetahui kapan harus berbelok arah adalah bagian penting dari inovasi. Hal ini menghemat waktu, sumber daya, dan mencegah frustrasi di kemudian hari. 

 

Tujuan dari model inkubasi akademik ini adalah menguji, memvalidasi, dan menyempurnakan ide dalam ekosistem yang mendukung. Kegagalan menjadi proses pembelajaran.


Namun kisah ini lebih besar dari satu program fellowship. Ini tentang bagaimana mendefinisikan ulang makna inovasi bagi Asia Tenggara. 

 

Berlangganan bulletin GovInsider di sini. 

Mendefinisikan ulang inovasi untuk Asia Tenggara 

 

Selama beberapa dekade, “inovasi” dalam kesehatan global sering berarti mengimpor solusi berteknologi tinggi dari negara maju dan berusaha menyesuaikannya dengan konteks lokal. 

 

Teknologi-teknologi ini mungkin tampak mengesankan di atas kertas, tetapi sering kali gagal bertahan di pasar tempat mereka diterapkan. Studi menunjukkan bahwa antara 40 hingga 70 persen teknologi kesehatan impor gagal diimplementasikan di negara berpendapatan menengah dan rendah. 

 

Inovasi sejati bagi Asia Tenggara harus berawal dari dalam. Dan itu harus digerakkan oleh ilmuwan, dokter, dan wirausahawan lokal yang memahami tantangan spesifik komunitas mereka, dari beban ganda penyakit menular dan tidak menular hingga dampak kesehatan akibat kenaikan suhu dan polusi. 

 

Para inovator ini tahu bahwa terkadang solusi paling cerdas bukanlah yang paling mahal.


Dalam tahap hackathon, tim tidak hanya dievaluasi berdasarkan kebaruan ide, tetapi juga permasalahan yang ingin mereka pecahkan. Tiga tim finalis meneliti alat pemantau berbiaya rendah untuk mengukur paparan individu terhadap polusi lingkungan dan risiko kesehatan. 

 

Nilainya terletak pada hasil, bukan sekadar kebaruan. 

Menggabungkan kewirausahaan dengan sains 

 

Program fellowship ini menggabungkan ketelitian riset dengan fleksibilitas kewirausahaan—mengajarkan ilmuwan berbicara dalam bahasa investor dan pembuat kebijakan, tanpa kehilangan fokus pada manfaat publik.

 
Para peserta fellowship diperkenalkan dengan ekosistem pembangunan ventura di Singapura oleh Vanessa Ding, Deputi Direktur SGInnovate, di kantor mereka. Foto: Dr Daniel Mahadzir

Program ini menyediakan bimbingan terstruktur, kerangka validasi, serta akses ke jejaring multidisipliner untuk membantu ide-ide bertahan melewati tahap awal pengembangan selama 22 minggu tersebut. 

 

Pendekatan ini juga memastikan akuntabilitas. Ketika inovasi muncul dari inkubator akademik, besar kemungkinan ia didasarkan pada bukti ilmiah, diuji secara etis, dan selaras dengan kebutuhan sistem kesehatan. Tujuannya bukan mengejar sorotan media, melainkan menciptakan dampak berkelanjutan dan dapat diperluas. 

 

Bagi Asia Tenggara, program ini bisa menjadi model yang transformatif. 

 

Universitas-universitas di kawasan ini—termasuk Duke-NUS Medical School—penuh dengan peneliti cemerlang yang memahami masalah lokal lebih baik daripada siapa pun. 

 

Karena fellowship ini berada di bawah SingHealth Duke-NUS Global Health Institute, kesempatan ini juga terbuka bagi mitra regional lainnya. 

 

Secara kolektif, program ini akan membantu kawasan membangun alur tetap bagi solusi yang dipimpin oleh talenta lokal yang dirancang agar sesuai dengan realitas sosial, ekonomi, dan lingkungan mereka sendiri. 

 

Potensi manfaatnya melampaui produk individu. Para peserta telah membentuk ekosistem regional untuk inovasi kesehatan, menghubungkan peneliti dari Medan hingga Kuala Lumpur hingga Ulaanbaatar. 

 

Dalam jangka panjang, platform bersama untuk pelatihan, pendanaan, dan pengujian dapat mempercepat pengembangan alat baru, mulai dari sistem telekesehatan hingga intervensi pangan yang tahan terhadap perubahan iklim. 

Krisis berlapis memerlukan ekosistem inovasi baru 

 

Di dunia yang menghadapi ancaman kesehatan semakin kompleks—dari pandemi hingga gelombang panas dan populasi menua—Asia Tenggara memiliki setiap alasan untuk berinvestasi dalam ekosistem semacam ini.

 
Carline McGrath, Julie Bulaklak, dan Alba Menendez Padro menyambut para peserta fellowship di Microsoft Experience Center Asia (ECA). Foto: Dr Daniel Mahadzir

Kawasan ini tidak bisa terus-menerus bergantung pada solusi impor. Ia harus membangun kapasitas inovasinya sendiri berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas masyarakatnya. 

 

Hasil dari Global Health Innovation Fellowship membuktikan bahwa hal ini memungkinkan. 

 

Dengan struktur, bimbingan, dan dukungan yang tepat, inkubator akademik dapat mengubah "lembah kematian" menjadi jalan menuju kemajuan. Mereka memastikan bahwa riset tidak berhenti di publikasi, tetapi berlanjut menjadi produk, kebijakan, atau praktik yang mengubah kehidupan.

 

Inovasi memang selalu melibatkan risiko. Namun ketika risiko tersebut dibagi, didukung, dan diarahkan secara strategis, peluang keberhasilannya meningkat drastis. 

 

Bagi Asia Tenggara, fellowship ini bukan hanya cara baru memandang inovasi, tetapi juga cara membangun masa depan di mana ide-ide lokal memiliki kesempatan yang adil untuk memberikan dampak global. 

 

Jika kawasan ini dapat melakukan perubahan tersebut, solusi kesehatan global besar berikutnya mungkin tidak datang dari laboratorium jauh di sana—melainkan dari sini, tumbuh di ruang kelas, diuji di klinik, dan dikembangkan di inkubator yang percaya pada potensinya untuk mengubah dunia.  



 

Dr Muhammad Daniel Azlan bin Mahadzir, Innovation Fellow, SingHealth Duke-NUS Global Health Institute, Duke-NUS Medical School; dan Associate Professor Jonas Karlström, Innovation Core Lead, SingHealth Duke-NUS Global Health Institute, Duke-NUS Medical School, Singapura.