Ambisi Prakerja tingkatkan produktivitas angkatan kerja lewat pelatihan berskala besar
By Mochamad Azhar
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program (PMO) Kartu Prakerja, Denni Purbasari, berbagi pengalamannya menyelenggarakan program pelatihan vokasi berskala besar dan ambisi program ini mendorong produktivitas angkatan kerja Indonesia di masa depan.
PMO Kartu Prakerja merilis laporan pelaksanaan program tahun 2023 di Jakarta beberapa waktu lalu. Di tahun 2024, program ini membidik 1,15 juta peserta dengan total anggaran sebesar Rp5 triliun. Foto: PMO Kartu Prakerja
Indonesia memiliki 140 juta angkatan kerja, menjadikannya negara dengan jumlah angkatan kerja terbesar keempat di dunia. Namun, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia relatif rendah sebesar Rp86,5 juta per tenaga kerja pada tahun 2023, menurut data Kementerian Tenaga Kerja.
“Tantangan inilah yang ingin dijawab oleh Program Kartu Prakerja sebagai bagian dari active labor market policy dengan menyediakan fasilitas pelatihan keterampilan, upskilling dan reskilling bagi peserta untuk meningkatkan kompetensi dan produktivitasnya,” ungkap Denni Purbasari, Direktur Eksekutif PMO Kartu Prakerja.
Setiap peserta Program Kartu Prakerja akan mendapatkan beasiswa pelatihan sebesar Rp4,2 juta (US$260), di mana Rp3,5 juta (US$215) merupakan saldo pelatihan untuk mengikuti kursus yang tersedia di dalam portal pelatihan vokasi milik Prakerja dan sisanya untuk biaya mengikuti pelatihan (penggantian biaya internet dan transportasi).
Hingga kini, Program Kartu Prakerja telah memberikan pelatihan kepada 18,6 juta angkatan kerja yang tersebar di 514 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia, mencakup Sabang hingga Merauke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote. Tahun ini, Prakerja membidik 1,15 juta peserta dengan total anggaran sebesar Rp5 triliun.
Studi Svara Institute menunjukkan program ini berhasil menaikkan rata-rata pendapatan pekerja sebesar 15-17 persen per bulan. Studi lainnya menunjukkan menunjukkan Prakerja berkontribusi terhadap 8 dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Keberhasilan Prakerja juga dipelajari oleh Dewan Nasional Perlindungan Sosial (NSPC) Kamboja dan Badan Kesetaraan Dana Pendidikan (EEF) Thailand untuk mengadopsi kebijakan serupa di negaranya masing-masing.
Teknologi bantu tingkatkan skalabilitas program
Denni menekankan pentingnya penggunaan teknologi digital untuk menghasilkan dampak yang besar. Prakerja merupakan program pemerintah pertama di Indonesia yang pelaksanaannya diselenggarakan secara end-to-end digital, mulai dari proses pendaftaran, verifikasi akun, penyaluran dana, hingga proses pelatihan.
“Mengapa pelatihan diselenggarakan secara online? Karena itulah satu-satunya cara untuk meningkatkan skalabilitas program dari sisi jumlah maupun kecepatan,” katanya.
Untuk mendaftar program ini, peserta diwajibkan melakukan verifikasi identitas untuk memastikan ia termasuk dalam kriteria orang yang berhak menerima manfaat. Verifikasi menggunakan sistem yang terkoneksi secara APIs dengan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri.
Setelah pendaftar dinyatakan memenuhi syarat, ia diminta untuk memvalidasi akun bank atau dompet digital untuk penyaluran dana, sebelum dapat menggunakan dana tersebut untuk membeli kursus yang disediakan oleh mitra-mitra penyelenggara pelatihan.
“Kami menggunakan machine learning untuk membantu peserta mendapatkan pelatihan yang relevan sesuai dengan minat dan lokasi demografi, sehingga diharapkan menjawab kebutuhan industri,” ungkap Denni.
Saat ini, Prakerja telah mengembangkan ekosistem pasar kerja yang mengintegrasikan berbagai layanan dalam satu portal. Selain layanan pelatihan, tersedia pula layanan informasi lowongan pekerjaan yang berasal dari berbagai portal lowongan kerja dan asosiasi-asosiasi industri.
Namun, Denni menggarisbawahi bahwa teknologi hanya membantu. Yang paling utama ialah orang yang berada di balik teknologi itu sendiri yaitu para pembuat kebijakan, pelaksana program, dan para peserta program.
Birokrasi yang adaptif dan gesit adalah kunci
Kedua adalah adaptabilitas program, yaitu bagaimana pembuat kebijakan harus dengan cepat merevisi peraturan dan mendesain ulang sebuah kebijakan dalam menghadapi situasi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Prakerja diluncurkan beberapa saat setelah pemerintah mengumumkan status pandemi Covid-19. Prakerja yang didesain sejak awal sebagai program pengembangan keterampilan, dirombak total menjadi semi bantuan sosial.
Saat itu, dari total bantuan pelatihan Rp3,5 juta, sebesar Rp1 juta diperuntukkan untuk biaya pelatihan dan Rp2,4 juta disalurkan secara bertahap sebesar Rp600 ribu per bulan selama empat bulan setelah penerima menyelesaikan pelatihan online, dan Rp100 ribu untuk insentif survey yang dilakukan peserta. Di tahun 2020, Prakerja menyalurkan insentif kepada 5,6 juta penerima manfaat.
“Kami menyalurkan uang tunai agar mereka dapat bertahan di tengah kesulitan ekonomi, sekaligus menyediakan akses pelatihan dengan harapan membantu mereka untuk bangkit,” kata Denni.
Seiring meredanya pandemi pada tahun 2023, Prakerja kembali ke skema normal yang artinya jaring pengaman sosial dihapus dan pengembangan keterampilan kembali menjadi prioritas. Pelatihannya pun bisa online dan offline tergantung jenis keterampilannya.
Setelah Prakerja beralih ke skema normal – yang berarti insentif tunai berkurang, muncul kekhawatiran apabila pendaftar Program Kartu Prakerja menurun drastis. Nyatanya, jumlah pendaftar tetap meningkat dan mengalami oversubscribed 3,4 kali dari total kuota yang disediakan.
“Ini menambah keyakinan kami bahwa pelatihan vokasi memang benar-benar dibutuhkan dan ini adalah modal yang baik untuk masa depan.”
Komitmen politik yang kuat
Faktor berikutnya adalah komitmen politik yang kuat dari para pembuat kebijakan. Denni menggarisbawahi, dukungan politik dibutuhkan untuk memastikan tujuan-tujuan penting agar sebuah program tercapai, terutama dalam hal pendanaan.
“Sumber produktivitas sebuah negara terletak pada human capital. Usaha untuk mempertahankan agar orang tetap produktif di setiap kelompok usia tidak bisa bergantung pada filantropi dan korporasi,” katanya.
Ia mencontohkan bagaimana Pemerintah Singapura membentuk SkillsFuture SG yang bertujuan untuk meningkatkan keahlian tenaga kerja di setiap usia untuk menghadapi tantangan keahlian yang terus berkembang. Bahkan, baru-baru ini menambah anggaran untuk pelatihan dan subsidi pendidikan bagi angkatan kerja berusia 40 tahun ke atas.
“Sistem pendidikan modern sudah mencakup adult learning. Di masa depan, kita harus memikirkan bagaimana mengintegrasikan sistem pendidikan dengan sistem pengembangan keterampilan, jangan masing-masing terjebak dalam silo dan mencapai tujuan dengan cara sendiri-sendiri,”
Berikutnya, kemauan untuk berimprovisasi dan berkolaborasi untuk menyerap excellence dan expertise yang ada di pasar guna memastikan bahwa program tidak hanya dilaksanakan secara teknokratik tetapi juga mencakup service delivery.
“Kami berharap, inisiatif yang terbukti efektif dalam mencapai tujuan pembangunan dapat dilanjutkan di pemerintahan terpilih berikutnya dengan lebih baik serta melibatkan kolaborasi yang lebih besar di antara stakeholders,” tutup Denni.
Berlangganan Bulletin GovInsider untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai inovasi sektor publik.