Dewan Ekonomi Nasional: Pemerintah digital efisienkan anggaran negara

By Mochamad Azhar

Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Muhamad Chatib Basri, membagikan pandangan lembaganya tentang bagaimana meningkatkan efisiensi anggaran negara lewat sistem pemerintah digital.

Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Muhamad Chatib Basri, menekankan pentingnya adopsi digitalisasi untuk meningkatkan efisiensi anggaran negara. Foto: GovInsider

Salah satu tantangan yang paling besar dalam mengelola perekonomian Indonesia adalah akurasi dalam hal alokasi anggaran belanja pemerintah, terutama dalam hal kebijakan subsidi.

 

Minimnya penggunaan data dan evaluasi yang kurang memadai membuat sejumlah subsidi yang digelontorkan pemerintah dengan tujuan membantu kehidupan ekonomi kelas bawah justru tidak dinikmati mereka yang berhak. 

 

“Banyak temuan yang muncul menunjukkan bahwa subsidi kita tidak tepat sasaran, contohnya subsidi bahan bakar minyak di mana hampir 30 persen salah sasaran,” kata Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Muhamad Chatib Basri, dalam pidato pembukanya di acara AWS Public Sector Leadership Innovation Exchange di Jakarta, Maret lalu.

 

Ketika saat ini ada kebutuhan yang sangat besar di dalam pemerintahan untuk mengelola APBN menjadi lebih berkualitas, masalah beban anggaran ini harus segera diatasi, dia menambahkan. 

 

Basri memaparkan pentingnya Indonesia mengimplementasikan sistem pemerintah digital untuk mengefisienkan belanja negara dan mencegah negara mengeluarkan anggaran untuk hal yang tidak perlu.  

 

Berlangganan bulletin GovInsider di sini

Mengefisienkan anggaran negara  

 

Basri mengatakan, pemerintah saat ini sedang merancang adopsi digitalisasi pada program-program subsidi dan perlindungan sosial dengan tujuan menciptakan potensi penghematan anggaran negara. Hal ini sejalan dengan inisiatif pemerintah mendorong layanan publik digital yang modern dan terintegrasi.

 

Berdasarkan data DEN, negara menggelontorkan anggaran Rp504 triliun untuk subsidi yang meliputi subsidi energi (BBM, elpiji dan listrik) serta subsidi program perlindungan sosial (bantuan pangan untuk keluarga, bantuan tunai, dan bantuan pendidikan). 

Data pengeluaran subsidi negara yang salah sasaran. Gambar: Dewan Ekonomi Nasional  

Dari anggaran itu, sekitar 20 persen di antaranya tidak tepat sasaran atau mencapai Rp101-127 triliun.  

 

“Bayangkan berapa banyak tambahan dana yang bisa dialokasikan untuk kebutuhan kementerian apabila masalah ini dapat kita atasi,” katanya.

 

Menurut Basri, upaya digitalisasi akan diarahkan pada bagaimana negara memastikan kelayakan seseorang sebelum ia dapat mendapatkan bantuan dari negara. 

Memanfaatkan infrastruktur publik digital 

 

Di bidang kebijakan perlindungan sosial, DEN mendorong pemerintah mengembangkan model infrastruktur publik digital (DPI) untuk memastikan bantuan dari negara disalurkan kepada orang yang berhak. 

 

“Proses verifikasi identitas digital (digital ID) dan pembayaran digital akan membuka jalur bagi pemerintah dalam menyalurkan layanannya secara tepat sasaran,” kata Basri, seraya menambahkan bahwa ini juga akan memudahkan masyarakat mengakses layanan-layanan digital pemerintah. 

 

Selain mendorong proses registrasi melalui aplikasi Identitas Kependudukan Digital (IKD), pemerintah juga mendorong agar semua keluarga di Indonesia segera memiliki akun bank untuk memudahkan proses pencairan.  

 

Bank Indonesia juga sedang mengkaji Payment ID yang memungkinkan pemerintah mengotentikasi penerima bantuan tunai berdasarkan kode unik yang terdapat di dalam informasi rekening mereka, seperti nomor induk kependudukan atau nomor pokok wajib pajak. 

 

DEN juga mendorong pemerintah untuk mengintegrasikan data penerima manfaat yang selama ini masih tersebar di berbagai kementerian dan lembaga untuk memudahkan tata kelolanya. Tanpa adanya kerja sama antarinstansi, hal ini akan sulit dilakukan.  

Membenahi tata kelola subsidi energi 

 

Di bidang subsidi energi, kebijakan pembatasan adalah langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mencegah kebocoran di tingkat distribusi. 

 

Contohnya pembatasan subsidi BBM yang saat ini sedang berjalan. Pemerintah mengharuskan pemilik kendaraan yang layak mendapatkan BBM subsidi untuk mendaftar lewat aplikasi MyPertamina.

 

Ini akan mengecualikan pemilik kendaraan mewah atau mereka yang tidak memenuhi syarat untuk membeli BBM subsidi.  

 

Pada subsidi listrik, DEN mendorong formula diskriminasi harga untuk dapat diterapkan dengan skema pelanggan listrik membayar tagihan listrik sesuai dengan kemampuan ekonominya.  

 

“Karena listrik adalah barang yang nontransferable, kita bisa mengolah data sedemikian rupa agar mereka yang tergolong mampu akan membayar biaya yang seharusnya mereka bayar,” katanya. 

 

Di samping mengefisienkan pengeluaran negara, usaha digitalisasi juga diarahkan pada upaya meningkatkan tata kelola penerimaan keuangan negara dari pajak dan non pajak. 

 

“Pemerintah mendorong pengembangan aplikasi yang memproses transaksi keuangan antara negara dan masyarakat dan pelaku usaha secara transparan, seperti Simbara (pertambangan), Coretax (penerimaan pajak), dan Sawit (perkebunan),” Basri menambahkan. 

Mengatasi hambatan birokratis 

 

Basri menyoroti berbagai tantangan birokratis yang harus dihadapi untuk mendukung program digitalisasi pemerintah. Yang utama ialah masih ada keengganan dari masing-masing kementerian dan lembaga untuk menyerahkan kewenangannya dan bekerja sama, meskipun peraturan pemerintah telah mewajibkannya.

 

Dengan alasan keamanan data dan kepercayaan, banyak dari mereka yang ingin datanya tetap disimpan di kementerian masing-masing. Terutama setelah insiden serangan siber di Pusat Data Nasional tahun lalu. 

 

"Saya tidak bisa menyalahkan [mereka] karena ini seperti ayam dan telur. Kalau kewenangan [pengelolaan data] itu diberikan, maka si lembaga pemegang otoritas itu harus sangat capable sekali,” katanya seraya mengatakan bahwa pemerintah akan membentuk Komite GovTech untuk memastikan inisiatif digitalisasi pemerintah berjalan sesuai dengan rencana. 

 

Berikutnya, birokrasi harus gesit di era disrupsi teknologi seperti sekarang ini. Ada kalanya pegawai pemerintah tidak bisa lagi berpegang pada peraturan yang kaku dan sulit diubah, karena suatu inovasi atau hal-hal teknis tidak bisa lagi diatur di dalam birokrasi. 

 

"Pengambil keputusan harus mulai mengubah cara berpikirnya dari persetujuan pada aturan (agree on rules) menjadi persetujuan pada prinsip (agree on principle)," katanya.