Mempertahankan budaya inovasi di sektor publik
By James Yau
Instansi pemerintah sering kali bergulat dengan berbagai tantangan seperti tekanan politik, sumber daya yang terbatas, penghindaran risiko, kekurangan talenta, dan resistensi terhadap perubahan.

Para panelis membahas tentang budaya inovasi di sektor publik, pada acara Festival of Innovation 2025. Dari kiri ke kanan; Ana Cristina Thorlund, Tan Boon Kim, Chikako Masuda, Datuk Ts Dr Fazidah binti Abu Bakar, Dini Maghfirra, Glenn Neo. Foto: GovInsider
Pejabat pemerintah di seluruh dunia bergulat dengan inovasi setiap hari saat mereka memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Ini adalah tema utama yang muncul dalam diskusi panel Sustaining Innovation Cultures - How to Get it Right in the Public Sector, di acara Festival of Innovation GovInsider beberapa waktu lalu.
Direktur Pemberdayaan Kemampuan Inovasi Synapxe, Glenn Neo, mengatakan bahwa peluang inovasi di sektor publik sering kali berbenturan dengan warisan layanan publik lama yang sulit untuk dikembangkan lagi.
“Dalam situasi ini, kita menghadapi banyak paradoks dan dilema. Kita selalu memilih antara 'lesser evils atau greater good", ujar Neo
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Mengatasi “pembunuh” inovasi
Pakar Tata Kelola Pemerintahan dan Administrasi Publik dari United Nations Project Office on Governance (UNPOG), Ana Cristina Thorlund, yang menjadi moderator dalam sesi ini, mempertanyakan kepada panelis mengenai pembunuh dan pendorong terbesar budaya inovasi di sektor publik.
Direktur Eksekutif Enterprise Singapore (EnterpriseSG) untuk Pengembangan Sistem Inovasi, Tan Boon Kim, menyoroti peran kepemimpinan sebagai faktor kunci budaya inovasi.
“Kepemimpinan menentukan arah, dan Anda dapat membunuh inovasi dengan kepemimpinan yang tidak melihat perlunya [inovasi],” ujar Tan, seraya menambahkan bahwa rasa puas diri masih dapat merasuk ke dalam departemen-departemen sektor publik jika operasionalnya berada di jalur yang benar.
Ia kemudian menjelaskan bahwa upaya inovasi biasanya dianggap sebagai “investasi” atau “cost” oleh para pemimpin sektor publik.
Ketika ditanya bagaimana pemerintah dapat mengkatalisasi ekosistem yang dipimpin oleh inovasi, Tan menyoroti jangkauan pemerintah dalam menemukan mitra yang tepat, mengacu pada Open Innovation Network (OIN) yang didirikan pada tahun 2022.
Sebagai lembaga pemerintah Singapura yang memperjuangkan pengembangan perusahaan, EnterpriseSG mendukung pertumbuhan Singapura sebagai pusat perdagangan global dan perusahaan rintisan. OIN mengkonsolidasikan tantangan yang diajukan oleh perusahaan, serta membantu solusi urun daya.
Dengan cakupan yang sama luasnya dengan EnterpriseSG, Direktur Jenderal Jabatan Digital Negara (JDN) Malaysia, Datuk Ts Dr Fazidah binti Abu Bakar, menjelaskan bagaimana keterlibatan berbagai pihak dapat memberikan hasil yang terbaik bagi masyarakat luas.
JDN meluncurkan Panduan Adaptasi AI Sektor Publik untuk membantu lembaga pemerintah mengadopsi kecerdasan buatan (AI) secara bertanggung jawab. Hal ini dicapai dengan bekerja sama dengan Malaysia's Digital Economy Corporation (MDEC) serta melibatkan sektor publik dan swasta.
Produk yang dihasilkan membantu merinci prinsip-prinsip etika, peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan, manajemen risiko, metode adaptasi, dan templat penilaian mandiri untuk mengidentifikasi cakupan dan dampak AI di sektor publik.
Lebih penting lagi, kerangka kerja ini menyediakan struktur dan sandbox bagi inovasi AI untuk berkembang, mendukung tujuan negara ini untuk menjadi pemimpin global dalam inovasi AI yang bertanggung jawab, kata Dr Fazidah.
Benturan antarbudaya
Meskipun inovasi dapat didukung dari atas ke bawah, Kepala Riset Intelijen dan Strategi Internasional Japan Digital Agency, Chikako Masuda, berbicara tentang tantangan implementasi di berbagai budaya.
Sebagai badan yang baru didirikan pada tahun 2021, ia menyampaikan bahwa lembaganya terdiri dari spesialis sektor publik dan swasta - di mana kedua budaya yang berbeda ini sering kali berdebat mengenai cara terbaik untuk memajukan upaya digitalisasi pemerintah Jepang.
Dia menjelaskan fase awal agensi sebagai “situasi yang sangat kacau” di mana para karyawan tidak ingin berbicara satu sama lain dan ingin bekerja dengan cara yang biasa mereka lakukan.
Dia juga menunjukkan bahwa kepatuhan yang kaku terhadap aturan dan regulasi dalam organisasi pemerintah tradisional Jepang terkadang berbenturan dengan kemajuan pesat dalam teknologi digital.
Menumbuhkan “pola pikir komunitas” terbukti menjadi faktor kunci untuk membangun inovasi bagi Masuda saat ia meluncurkan lebih banyak upaya integrasi di berbagai tingkat dan lembaga dalam lingkup pemerintahannya.

Direktur Eksekutif Satu Data Indonesia (SDI), Dini Maghfirra, juga menghadapi penolakan yang sama dari pihak internal terhadap adopsi inovasi – namun dalam kasusnya, penolakan tersebut berasal dari rasa takut akan kegagalan.
Bertugas mengembangkan inisiatif Satu Data Indonesia (SDI) yang mengintegrasikan data di seluruh lembaga pemerintah untuk meningkatkan kualitas layanan publik, Dini menceritakan sebuah contoh tentang ketakutan akan risiko dalam peluncuran sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik oleh SDI.
“Beberapa tim enggan untuk mengadopsi SDI karena mereka takut jika implementasinya gagal dan bagaimana kegagalan tersebut dapat mempengaruhi keamanan siber dan privasi data,” kata Dini.
Inovasi dengan tujuan
Ketiadaan inovasi merupakan bahaya pekerjaan bagi Kepala Pengembangan Kemampuan (Cyber AI) Badan Sains dan Teknologi Pertahanan (DSTA), Dr Melissa Chua.
Baginya, inovasi berarti kebutuhan konstan bagi mereka untuk memelopori solusi keamanan siber untuk mendeteksi ancaman.
“Saya pikir di dalam pertahanan siber, kita perlu belajar untuk mengikuti ancaman-ancaman ini... tetapi jika tidak ada yang terdeteksi, saya khawatir ada sesuatu yang tidak terdeteksi.
Dr Chua menempatkan tanggung jawab inovasi di pundak setiap anggota dalam sebuah organisasi untuk benar-benar menumbuhkan budaya inovatif di dalamnya - sebuah sentimen yang digaungkan oleh Neo dari Synapxe.
“Seorang pemimpin di Singapura pernah berkata bahwa melayani adalah sebuah kehormatan dan keistimewaan, dan saya melihat hal tersebut dalam diri saya sendiri,” ujarnya, menanggapi bagaimana sektor publik dapat mempertahankan bakat untuk berinovasi.
Anda dapat menyaksikan rekaman lengkap diskusi panel pada laman ini.