‘Prototyping' dapat menyelamatkan proyek-proyek IT pemerintah
By Astrid Dita
Pertimbangkan kisah yang sudah terlalu sering terjadi: pemerintah meluncurkan sistem baru yang dimaksudkan sebagai tulang punggung ekonomi, namun pada hari-H ternyata ditemukan bahwa sistem tersebut dipenuhi bug, sulit diakses, dan biaya perbaikan yang jauh melebihi anggaran. Jika semuanya dilakukan sesuai aturan, mengapa sistem tersebut tetap gagal?

Ketika pemerintah memperlakukan proyek digital seperti infrastruktur tradisional, risiko kegagalan dapat berlipat ganda, kata Astrid Dita dari Tony Blair Institute for Global Change. Foto: Canva
Ketika pemerintah membangun jembatan, kelemahan struktural dapat diidentifikasi jauh sebelum jembatan itu diresmikan.
Tetapi perangkat lunak berbeda dengan infrastruktur fisik. Lanskap digital terus berubah, ketergantungan yang bersembunyi di balik lapisan-lapisan kode, dan masalah sering kali baru muncul setelah warga mulai mengklik “Submit.”
Proyek infrastruktur besar umumnya mengikuti metode “waterfall”, sebuah proses berurutan dan linier yang lebih cocok untuk masalah yang dapat didefinisikan secara jelas.
Selama proses pembangunan, para insinyur dapat memeriksa kemajuan secara fisik, baut demi baut.
Sistem digital, bagaimanapun, berurusan dengan abstraksi. Mendefinisikan masalah dan solusi tidak selalu mudah karena ketergantungan yang tidak terlihat, ketersediaan data dan kualitas data yang tidak pasti, serta perilaku pengguna yang tidak terduga.
Ketika pemerintah memperlakukan proyek digital seperti infrastruktur tradisional, risiko kegagalan dapat berlipat ganda.
Sandboxing dalam proses pengadaan: Sebuah solusi praktis
Sistem pengadaan yang lincah (agile procurement) menawarkan pendekatan yang lebih cerdas, dengan proof-of-concept (PoC) yang berkembang secara iteratif ketimbang mengandalkan pendekatan “big bang” yang berisiko.
Mengadopsi mindset yang lincah sangat penting ketika pemerintah ingin membangun, membeli, atau bermitra untuk mengembangkan sistem digital:
-
Prototipe, iterasi, skalakan. Memulai dengan versi awal dari sebuah produk dengan fitur-fitur minimal (minimal viable product) memungkinkan pemerintah untuk menguji, menyempurnakan, dan memastikan ketahanan solusi mereka sebelum implementasi yang lebih luas.
-
Kualitas daripada kuantitas. Terkadang merekrut lebih banyak tenaga kerja (pengembang, analis data) belum tentu menyelesaikan masalah mendasar; membangun di atas fondasi yang rapuh hanya menciptakan risiko yang lebih besar dan perbaikan yang lebih mahal di kemudian hari, akibat adanya “utang teknologi”.
Salah satu metode untuk mendorong pengadaan yang lebih lincah dan fleksibel adalah sandboxing, yang mampu memberikan pengecualian hukum dan anggaran untuk eksperimen pemerintah pada sistem digital.
Adapun beberapa fitur kunci yang dapat diintegrasikan ke dalam sistem ini untuk membuatnya efektif di antaranya:
-
Kontrak PoC kecil dengan batas waktu yang jelas, dengan batasan yang jelas pada ruang lingkup dan pengeluaran.
-
Evaluasi berbasis hasil untuk memastikan PoC memenuhi tujuan lembaga dan memberikan nilai bagi pengguna.
-
Opsi kelanjutan diintegrasikan ke dalam ketentuan pengadaan sehingga vendor yang berhasil dapat melakukan skala tanpa perlu tender ulang, sementara ide yang tidak berhasil dapat dihentikan lebih awal.
-
Tinjauan publik untuk mengevaluasi efektivitas mekanisme sandbox itu sendiri, baik dengan mengungkapkan jumlah PoC yang berhasil dikonversi maupun dengan menampilkan studi kasus PoC yang berhasil.
Pendekatan ini dapat membantu meyakinkan pemangku kepentingan (batas yang jelas, pengeluaran yang jelas), memungkinkan vendor membangun kredibilitas melalui hasil yang terbukti, dan memberikan bukti yang solid bagi pembuat kebijakan sebelum keputusan pendanaan yang lebih besar.
Contohnya adalah sandbox Tech Acceleration Lab (TAL) Singapura, yang memangkas waktu penyiapan prototipe dari enam bulan menjadi dua bulan, dengan hampir setengah dari PoC-nya berkembang menjadi kontrak yang sukses.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini
Mengatasi akar masalah
Meski agile procurement sudah lazim di negara-negara maju secara digital seperti Singapura dan Estonia, sebagian besar pemerintah di Asia masih menghadapi tantangan dalam mengadopsinya. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor:
Aturan pengadaan yang kaku: Banyak negara di Asia masih mempertahankan aturan yang kaku dengan penekanan pada penawaran dengan biaya terendah dan pemberian kontrak tunggal. Meskipun bertujuan untuk mencegah korupsi, aturan ini secara tidak sengaja dapat menghambat inovasi:
-
Ketika regulasi melarang lembaga menggunakan kriteria berbasis kualitas sepenuhnya untuk menunjuk vendor, pemerintah dapat berakhir dengan pemenang tender yang menawarkan harga terendah namun kualitasnya juga rendah.
-
Seringkali terdapat aturan “satu untuk semua” yang dapat memicu tanda bahaya di mata auditor pemerintah, karena pemecahan proyek menjadi beberapa pekerjaan kecil secara iteratif dapat disalahartikan sebagai upaya menghindari tata kelola yang lebih ketat.
Siklus anggaran dan praktik yang kaku: Pemerintah sering kali tidak memiliki dana fleksibel untuk mendanai sprint agile. Di sisi lain, keterbatasan fiskal membuat pemerintah bergantung pada pembiayaan eksternal, yang prosedurnya dapat membatasi kelincahan:
-
Banyak kementerian keuangan masih menerapkan anggaran modal berbasis item yang sesuai dengan pola pikir tradisional berupa “rancang–bangun–serah terima”.
-
Terkadang, pemberi dana eksternal seperti lembaga keuangan multilateral juga terikat dengan prosedur mereka, sehingga proyek IT pemerintah yang dibiayai pinjaman dieksekusi dalam bentuk paket besar yang telah dikunci sebelumnya, terikat pada deliverables berdasarkan spesifikasi waterfall yang ditulis bertahun-tahun sebelumnya.
Struktur kelembagaan yang usang: Di banyak tempat, desain organisasi dan cara kerja masih terjebak dalam era analog. Kerangka akuntabilitas yang ada juga lebih menghargai kepatuhan prosedural dibandingkan inovasi:
-
Mayoritas pemerintah di Asia belum memiliki badan koordinasi terpusat atau kapasitas kelembagaan yang cukup untuk mengelola komponen sandbox secara efektif, seperti lingkungan cloud dan template hukum yang telah disetujui sebelumnya.
-
Kantor audit menilai kesuksesan berdasarkan apakah pejabat mengikuti peraturan secara ketat, bukan apakah warga menerima layanan digital yang lebih baik. Hal ini melanggengkan budaya "menghindari risiko” di dalam pemerintahan.
Lanskap vendor yang tidak transparan dan mempertahankan status quo: Menemukan vendor IT yang tepercaya menjadi tantangan karena satu logo perusahaan dapat menyembunyikan rantai subkontraktor yang panjang, sehingga proses due diligence dan akuntabilitas menjadi sulit. Vendor IT mapan juga cenderung merupakan integrator sistem yang lebih memilih kontrak multi-tahun berskala besar dibandingkan PoC yang kecil.
Siklus politik: Siklus pemilu dan timeline politik sering kali memaksakan batas waktu yang kaku. Meski tonggak politik terkadang dapat menjadi pemicu untuk menyatukan semua pihak dalam satu tujuan bersama, hal ini bisa menjadi mahal ketika bersinggungan dengan proyek yang penting. Kode perangkat lunak dapat “dipaksa” agar memenuhi tenggat, tetapi kualitasnya belum tentu terjaga.
Memulai dari sekarang
Walaupun tantangan yang dihadapi pemerintah terkadang mirip, jawaban terkait kunci sukses dalam melakukan prototyping, iterasi, dan scale-up bisa berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
Dengan saling belajar dari keberhasilan dan kegagalan satu sama lain, pemerintah di seluruh dunia dapat mengadaptasi praktik terbaik dan pelajaran yang telah didapat sesuai dengan konteks unik masing-masing.
Hal yang menggembirakan, beberapa pemerintah di Asia mulai mereformasi pendekatan pengadaan mereka untuk sistem digital. UU Pengadaan Pemerintah Baru Filipina 2024 memperkenalkan fit-for-purpose modalities dan ketentuan pengadaan elektronik yang dapat membuka peluang bagi kontrak yang lebih kecil dan berbasis hasil.
Pemerintah India melalui Government e-Marketplace (GeM) juga telah melonggarkan aturan untuk startup guna menciptakan kesetaraan dalam memberikan layanan kepada instansi pemerintah.
Kerumitan dan kecepatan inovasi digital yang tinggi memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel.
Pembuat kebijakan perlu mengevaluasi praktik saat ini, dan secara selektif mengadopsi metode iteratif pada area yang paling efektif untuk mengurangi risiko serta meningkatkan hasil.
Dengan belajar dari keberhasilan rekan-rekan mereka dan secara bijak mengintegrasikan teknik agile bersama metode yang ada, pemerintah dapat memastikan sistem digital dapat melayani warga negara dengan lebih baik sejak hari pertama.
Penulis memimpin inisiatif kemitraan di Asia Pasifik pada Tony Blair Institute for Global Change, dengan pengalaman lebih dari satu setengah dekade dalam kebijakan publik untuk memberikan nasihat kepada pemerintah terkait transformasi digital, anggaran, dan infrastruktur.
