Reformasi digital, GovTech, dan keterpaduan layanan publik – GovMesh Digest
Oleh Luke Cavanaugh
Pandu Putra dan Setiaji berbagi tentang bagaimana pemerintah Indonesia berupaya memberikan pengalaman digital yang menyeluruh bagi 280 juta penduduk Indonesia yang tinggal di 17.000 pulau.

Perjalanan pemerintahan digital Indonesia merupakan salah satu yang ditampilkan dalam laporan khusus GovMesh Digest. Foto: GovInsider
Cerita mengenai perkembangan pemerintahan digital di Indonesia adalah salah satu yang ditampilkan dalam laporan khusus GovMesh Digest. Anda dapat menemukan kisah-kisah individual dari pemerintah lain yang berpartisipasi dalam GovMesh 1.0 di sini.
Lanskap pemerintahan digital Indonesia secara historis merupakan ruang yang terfragmentasi.
Hingga saat ini, tanggung jawab untuk digitalisasi pemerintah tersebar di seluruh pemerintah pusat: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menangani tata kelola data; Kementerian Komunikasi dan Informatika mengelola infrastruktur digital; Kementerian Dalam Negeri menangani implementasi di pemerintah daerah; dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) mengembangkan kebijakan dan mengoordinasikan reformasi secara keseluruhan.
Hal ini sering kali menimbulkan tantangan dalam implementasi dan akuntabilitas.
Tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyoroti kemungkinan untuk menyatukan 27.000 aplikasi dan platform online yang berbeda di seluruh pemerintahan.
Sehubungan dengan hal ini, Penasihat Khusus Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Pandu Putra memulai presentasi GovMesh-nya dengan sebuah refleksi dari pola yang terjadi di banyak negara terkemuka dalam indeks e-Governance (EGDI) PBB.
Dari Denmark hingga Korea Selatan, Swedia hingga Australia hingga Inggris, sebagian besar negara dengan pemerintahan digital tercanggih di dunia memiliki badan implementasi pemerintahan digital yang terpusat.
Para peserta GovMesh telah mendengar sebelumnya tentang keberhasilan pemerintah Jepang dalam meluncurkan dan meningkatkan skala Badan Digital mereka sendiri.
Dengan pemikiran ini, pemerintah Indonesia meluncurkan agensinya sendiri pada tahun 2024 untuk mengurangi kompleksitas birokrasi digitalnya.
INA Digital, demikian nama badan tersebut, saat ini menjadi unit pelaksana nasional yang bertanggung jawab atas pengembangan sistem strategis dan prioritas secara internal.
Pandu menceritakan kisah lengkapnya. Tahun pertama INA Digital tidak sepenuhnya berjalan mulus, namun sudah mulai memberikan pembelajaran penting dari sebuah “percontohan” untuk menghasilkan versi alfa dari sistem pemerintahan digital yang terintegrasi – lewat rilis terbatas portal internal pemerintah (INA Gov), KTP Digital terintegrasi (INA Pas) dan portal untuk layanan warga negara (INA Ku).
Pembelajaran ini mencakup perlunya desain dari atas ke bawah, koordinasi kelembagaan yang lebih baik, dan pembelajaran seputar konsolidasi pendanaan dan pengadaan yang efisien.
Fokus pada prioritas, pergeseran lanskap pemerintahan digital
Dalam banyak hal, Indonesia memiliki posisi yang tepat untuk melanjutkan upaya transformasi digital pemerintah yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun.
Pandu menceritakan kepada peserta GovMesh bagaimana Presiden Prabowo Subianto dua kali menyebut pentingnya hal ini dalam pidato kenegaraannya, membahas peran krusialnya untuk “mengurangi korupsi secara signifikan” dan “memastikan bahwa subsidi menjangkau setiap keluarga yang membutuhkan”.
Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah mengadopsi proses tiga langkah untuk membangun pemerintahan digital yang sudah ada di pemerintahan sebelumnya
Pertama, ada fokus yang lebih besar pada sistem dan aplikasi prioritas, mulai dari platform dasar seperti Infrastruktur Publik Digital (DPI) hingga kasus-kasus yang berdampak besar seperti pengentasan kemiskinan.
Hal ini menunjukkan pergeseran pola pikir dari alokasi sumber daya yang tersebar menjadi fokus pada sistem dengan daya ungkit yang lebih besar.
Di samping itu, penguatan tata kelola kelembagaan juga terus dilakukan, baik pada komite koordinasi kebijakan maupun peningkatan INA Digital itu sendiri.
Harapannya, dengan adanya keselarasan kebijakan, arah produk, dan kualitas teknis yang terstandardisasi, akan memungkinkan integrasi dan interoperabilitas yang lebih sistematis.
Terakhir, ada juga dorongan untuk reformasi pendanaan dan pengadaan digital. Hal ini dilakukan di atas upaya konsolidasi anggaran untuk mendanai “Proyek Strategis Nasional” (PSN) yang dimandatkan untuk layanan digital pemerintah yang terintegrasi dalam 5 tahun ke depan.
Ini merupakan langkah penting untuk memungkinkan pendanaan “berbasis produk” yang berkelanjutan, fleksibel, dan berkesinambungan, dibandingkan dengan mekanisme “berbasis proyek” yang kaku dan bersifat satu kali.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Merampingkan layanan kesehatan
Pada bagian kedua dari presentasi Indonesia di GovMesh, Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Teknologi, Setiaji, membahas konsekuensi dari pendekatan yang telah direformasi dan tersentralisasi di tingkat kementerian.
Menetapkan konteks untuk layanan kesehatan digital di Indonesia, ia mengingatkan peserta tentang geografi dan demografi Indonesia, dengan lebih dari 60.000 fasilitas kesehatan yang melayani populasi yang tinggal di seluruh kepulauan yang terdiri dari 17.000 pulau.
Dengan kondisi itu, sangat mudah untuk melihat bagaimana tantangan seperti fragmentasi muncul.
Tanggapan Kementerian Kesehatan terhadap tantangan-tantangan ini adalah dengan mengejar fokus yang sama untuk meningkatkan aplikasi digital prioritas dengan merampingkan apa yang sudah ada di luar sana.
Dalam hal ini, ini adalah aplikasi Covid-19, PeduliLindungi. Awalnya dibuat untuk mengelola sertifikat vaksinasi Covid-19 warga negara dan sebagai mekanisme testing dan tracing, saat ini aplikasi ini berfungsi sebagai pusat penyimpanan rekam medis dan berkembang menjadi aplikasi SATUSEHAT.
Memiliki informasi medis warga negara dalam satu aplikasi – yang dapat terkoneksi ke Apple Health dan segera Google Health – meletakkan dasar untuk pendekatan “moment of life” dengan memungkinkan interoperabilitas yang lebih besar. Aplikasi itu sendiri dapat digunakan oleh warga negara dan praktisi kesehatan, seperti yang terlihat pada kebijakan pengecekan kesehatan pada tabel di gambar.
Beberapa tahun yang lalu, saat menjadi moderator sebuah panel tentang aplikasi super (superapp) pemerintah, penulis mencatat pergeseran yang mencolok dari dunia pemerintahan digital di mana Government Digital Service (GDS) di Inggris menyatakan bahwa mereka “sama sekali tidak siap” pada tahun 2014 dengan alasan bahwa aplikasi itu “sangat mahal untuk diproduksi dan sangat mahal untuk dipelihara”.
Kemudian, seperti yang kita lihat sekarang, para pemimpin mengatakan bahwa hal ini hanyalah cerminan dari pergeseran ekspektasi masyarakat.
Sebagian besar dari kita memulai hari dengan menggulir X atau menonton YouTube, dan oleh karena itu, aplikasi seperti SATUSEHAT di Indonesia dapat mengurangi beban kognitif kita.
Jalan digital Indonesia ke depan
Menjelang akhir presentasinya, Pandu mengungkapkan optimismenya tentang kemampuan Indonesia untuk memenuhi ekspektasi yang meningkat.
Dia berbicara tentang tahun ini sebagai periode “momentum bonus” dalam pemerintahan digital Indonesia yang didorong oleh tiga faktor: pemerintahan baru, peraturan baru, dan munculnya inisiatif digitalisasi yang sukses yang dapat menjadi fondasi untuk dikembangkan.
Pemerintahan baru membawa perencanaan jangka menengah dan panjang yang baru, dan hal ini terjadi pada waktu yang tepat, dengan peraturan presiden yang lama tentang digitalisasi yang akan berakhir pada tahun 2025.
Reformasi utama yang direncanakan dalam peraturan baru ini akan mencakup strategi pemerintah yang berfokus pada sistem prioritas, peningkatan tata kelola kelembagaan, serta perampingan pendanaan dan pengadaan digital.
Hal ini akan memajukan momentum awal dari produk percontohan awal INA Digital atau layanan digital yang sudah ada seperti e-Katalog, sistem pengadaan Indonesia.
Melakukan hal ini dengan benar akan sangat penting.
Pandu berbicara tentang kasus penggunaan prioritas pemerintah baru seperti layanan warga negara (melalui pendekatan “moment of life”), pengentasan kemiskinan melalui sistem bantuan sosial yang lebih baik, belanja publik melalui reformasi pengadaan, pendapatan negara melalui layanan pajak, dan layanan bisnis melalui izin usaha terintegrasi.
Masing-masing prioritas ini – jika diterapkan pada populasi 280 juta jiwa – dapat menjadi perubahan besar bagi Indonesia.
Untuk mencapainya, jelas masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, seperti yang diakui oleh Pandu sendiri.
Masih ada tantangan untuk menghilangkan kebutuhan akan dokumen identitas fisik, memperkenalkan pengarsipan otomatis melalui berbagi data berbasis persetujuan, dan mengintegrasikan penawaran yang ada ke dalam jumlah sistem yang minimum.
Menyelaraskan semua pemangku kepentingan dalam proses ini juga tidak akan mudah, tetapi dengan fokus yang tajam, reformasi yang berani, pemerintah pusat telah membangun fondasi untuk ekosistem pemerintahan digital yang modern dan terintegrasi di negara yang terdiri dari 17.000 pulau ini.
