Berbagi praktik terbaik digitalisasi sektor publik – DTI-CX 2025

By Yuniar A.

Dengan melakukan eksperimen, mengubah proses bisnis, hingga mengadopsi teknologi terbaru, para pemimpin digital lintas sektoral berbagi pengalamannya dalam mengatasi tantangan transformasi digital.

Para pemimpin sektor publik dan industri berbagi pengalamannya mendorong transformasi layanan publik di instansinya masing-masing. Foto: Adhouse Clarion Events

Para pemimpin sektor publik dan swasta berbagi praktik terbaik digitalisasi layanan publik di sebuah panel berjudul “Adopting digital government practices: Case studies and lessons learned” di acara Digital Transformation Indonesia Conference and Expo (DTI-CX) di Jakarta baru-baru ini.  


Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi Kesehatan Kementerian Kesehatan, Setiaji, membuka sesi dengan menyoroti tantangan inovasi di sektor kesehatan yang kerap berbenturan dengan regulasi yang ketat.


“Meski inovasi menjanjikan efisiensi dan efektivitas, tantangan utamanya adalah regulasi yang ada sering kali belum siap mengikuti perubahan sehingga menimbulkan disrupsi terhadap cara konvensional,” ujarnya. 


Sebagai langkah adaptif, Kementerian Kesehatan meluncurkan Regulatory Sandbox yang terinspirasi dari sektor keuangan yang lebih dulu menerapkan konsep serupa. 


Sandbox memungkinkan uji coba inovasi kesehatan digital dalam lingkungan terbatas, sambil memastikan aspek keamanan, standar layanan, dan kepatuhan regulasi tetap terjaga,” dia melanjutkan.


Salah satu contoh yang masuk dalam Sandbox adalah layanan telemedicine. Selama pandemi, telemedicine terbukti bermanfaat karena memungkinkan pasien berkonsultasi dengan dokter tanpa harus bertatap muka.


Dengan pendekatan ini, inovasi teknologi kesehatan dapat terus tumbuh tanpa mengorbankan keselamatan publik.  


“Kami ingin memastikan inovasi tetap berkembang, masyarakat bisa menggunakan layanan dengan aman dan terpercaya, sambil memastikan bahwa ini didukung oleh regulasi,” kata dia. 


Selain Setiaji, turut berbicara dalam panel tersebut adalah Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron, Deputi Sistem Informasi dan Digitalisasi Badan Kepegawaian Negara (BKN), Suharmen, Wakil Ketua KADIN bidang Kecerdasan Artifisial dan Perlindungan Data Pribadi, Eryk Budi Pratama, dan Direktur Interbio Technologies, Feri Risnandar. 


Panel dimoderatori Wakil Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Hernan Ramadhan. 

Meningkatkan service delivery 


Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron berbagi tentang bagaimana organisasinya menerapkan digitalisasi untuk memastikan akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 


“Dulu pasien bisa menunggu hingga enam jam untuk mendapatkan layanan di rumah sakit. Sekarang rata-rata kurang dari dua jam, bahkan antre dari rumah pun bisa dilakukan melalui aplikasi Mobile JKN,” ujar Ghufron.


Menurut Ghufron, perbaikan sistem pelayanan antrean berobat ini dimungkinkan dengan interoperabilitas data dengan rumah sakit dan Direktorat Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam Negeri. 


Interoperabilitas ini memungkinkan proses pendaftaran peserta JKN dan pendaftaran fasilitas kesehatan menjadi lebih cepat. 


Berlangganan bulletin GovInsider di sini 


Selain itu, aplikasi Mobile JKN kini dilengkapi asisten virtual berbasis AI bernama Vira yang mampu menjawab berbagai pertanyaan peserta terkait berbagai informasi yang dibutuhkan mulai dalam proses pendaftaran peserta, pengajuan fasilitas rawat jalan atau rawat inap, hingga pembayaran premi JKN. 


Saat ini BPJS Kesehatan mengelola lebih dari 280 juta data peserta, 3.000 rumah sakit, serta total 23.000 fasilitas kesehatan termasuk klinik dan puskesmas. Setiap hari tercatat lebih dari 2 juta transaksi layanan, dan klaim kesehatan mencapai lebih dari 1 juta per hari. 


“Tidak ada asuransi kesehatan lain di Indonesia, bahkan di dunia, yang mengelola klaim sebesar itu. Dan itu tidak mungkin kami lakukan tanpa digitalisasi,” tegasnya. 

Mengubah cara kerja 


Deputi Sistem Informasi dan Digitalisasi BKN, Suharmen, membagikan pengalamannya mendorong transformasi digital dalam manajemen pelayanan pegawai negeri (ASN) untuk menciptakan efisiensi, transparansi, dan kemudahan bagi ASN.


Lewat roadmap digitalisasi BKN yang ia susun pada 2019, Suharmen menjelaskan bahwa inti dari upayanya adalah “melakukan penyederhanaan proses bisnis yang berbelit-belit”. 


Salah satu contoh konkret adalah proses kenaikan pangkat ASN. Sebelumnya, proses ini bisa memakan waktu enam hingga delapan bulan dengan 14 tahapan dan tumpukan dokumen. 


“Melalui reformasi digital, tahapan itu dipangkas menjadi hanya tiga langkah tanpa mengurangi kualitas layanan. Sekarang proses kenaikan pangkat bisa selesai kurang dari satu hari,” katanya.    


Menurut Suharmen, roadmap ini juga mengamanatkan interoperabilitas data dengan lembaga lain, misalnya Taspen – perusahaan negara yang mengelola dana pensiun ASN.  


Jika sebelumnya ASN yang memasuki masa pensiun harus mengurus ulang dokumen ke Taspen, kini data otomatis mengalir dari BKN ke sistem Taspen sehingga pembayaran pensiun dapat diproses lebih cepat. 


Feri dari Interbio Technologies menambahkan, transformasi digital tidak hanya soal teknologi. Aspek terpentingnya justru terletak pada bagaimana manajemen perubahan (change management) dapat berjalan, termasuk perubahan dalam model bisnis dan proses kerja.  


“Intinya, teknologi seharusnya digunakan untuk mendukung dan memperkuat proses bisnis yang baik dan bukan untuk menutupi kelemahan proses bisnis yang buruk.” 


Berdasarkan pengalamannya menjadi mitra strategis pemerintah, ia menilai bahwa sektor swasta dapat berkontribusi pada aspek proses bisnis pemerintahan dan mengembangkan interoperabilitas data. 

Meningkatkan kepercayaan publik 


Di penghujung sesi, moderator menanyakan tentang bagaimana digitalisasi dapat membangun kepercayaan dan transparansi publik.


Feri menyambut pertanyaan itu dengan mengatakan bahwa fondasi utama kepercayaan adalah keamanan siber sehingga investasi pada keamanan adalah sebuah keharusan. 


“Sebagus apa pun sistem yang dibangun, jika terjadi peretasan atau gangguan, maka kepercayaan publik bisa runtuh seketika.”  


Suharmen menyoroti pentingnya transparansi. Contohnya dalam proses rekrutmen aparatur sipil negara, hasil ujian peserta langsung ditampilkan secara terbuka secara daring sehingga tidak ada celah intervensi.  


Setiaji menambahkan bahwa setiap layanan digital harus didesain untuk berorientasi pada pengguna, bukan sekadar kebutuhan birokrasi. Karenanya, aplikasi perlu terus diperbarui sesuai masukan masyarakat. 


Ghufron dari BPJS Kesehatan menekankan pentingnya dampak dari implementasi digitalisasi. Apabila dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat, maka kepercayaan akan muncul dengan sendirinya. 


Terakhir, Eryk dari KADIN mengingatkan bahwa teknologi secanggih apa pun tidak akan berarti jika kebijakan yang diterapkan justru menyulitkan masyarakat.  


“Pengabdian terbaik pejabat adalah melahirkan kebijakan yang memudahkan, dan konsistensi dalam menjaga kebijakan yang pro-rakyat,” tegasnya.