Dekarbonisasi menuju Indonesia net zero emission 2060, apakah sudah sesuai jalur?

By Mochamad Azhar

Indonesia berjuang keras untuk mencapai target emisi nol bersih pada tahun 2060. Pada forum Indonesia Net Zero Summit baru-baru ini, para pemimpin pemerintahan berbagi tentang peluang yang dapat dimanfaatkan negara untuk mencapai tujuan ambisiusnya.

Pemerintah Indonesia berupaya memenuhi target emisi nol bersih pada tahun 2060 melalui strategi ekonomi hijau. Foto: Canva

 

Decarbonization is the most important thing to do. Maka selama 2-3 tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan menunjukkan komitmen yang konkret terkait dekarbonisasi,” beber Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, saat memberikan sambutan pembuka pada forum Indonesia Net Zero Summit 2023 di Jakarta, 24 Juni 2023.


Menko Luhut optimistis bahwa proses dekarbonisasi di Indonesia sedang berjalan pada jalurnya untuk mencapai target net zero di tahun 2060 dan sekaligus memenuhi Perjanjian Paris 2015 menjaga kenaikan suhu rata-rata tidak melebihi 1,5 derajat celcius. Bahkan, target tersebut bisa dicapai lebih cepat melalui berbagai komitmen dan strategi.


Strategi kebijakan dekarbonisasi

Pemerintah mengakui bahwa tantangan mewujudkan emisi nol karbon sangat besar. Hambatan utama adalah pendanaan. Indonesia membutuhkan uang US$266 miliar atau setara Rp 4.000 triliun untuk membiayai penanganan iklim melalui skema konversi energi, reforestasi dan penanganan limbah hingga tahun 2030.


“Karena itu kami menyambut baik kerja sama internasional yang sinergis dalam pembangunan ekonomi dan dekarbonisasi, seperti pada Just Energy Transition Program,” ujar Menko Luhut.


Tantangan kedua adalah pesatnya industrialisasi. Menurut Luhut, Indonesia sebagai negara ekonomi ketujuh dunia perlu menggenjot pertumbuhan untuk menjadi negara maju pada 2045 dan keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah. Dekarbonisasi tidak mungkin mengorbankan industrialisasi dan sebaliknya.


“Diperlukan strategi yang tepat agar proses dekarbonisasi berjalan beriringan dengan industrialisasi. Salah satunya menjajaki investasi green economy sesuai dengan profil emisinya,” Luhut melanjutkan.


Sebagai contoh, pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang hilirisasi nikel untuk membangun ekosistem kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Produksi baterai listrik akan dimulai pada 2024. Aturan hilirisasi juga akan membatasi pembangunan smelter yang tidak memenuhi persyaratan green industry dan green economy.


Indonesia juga menjajaki proyek penimbunan karbon (carbon capture and storage) dengan kapasitas potensial 1 miliar ton CO2 di tiga lapangan milik Pertamina dan ExxonMobil di Jawa Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur.


“Pemerintah juga bekerja sama dengan swasta dan Bank Dunia untuk membuat 108 pusat pengolahan limbah yang bisa mengolah sampah menjadi energi dengan kapasitas hingga 30 ribu ton per hari di seluruh Indonesia,” beber Luhut.


Menurut Luhut, proyek besar dekarbonisasi tidak akan terwujud apabila tidak ada peran aktif dari pemerintah, swasta, komunitas dan individu yang peduli. Luhut meminta semua pihak yang hadir dalam forum untuk tidak perlu khawatir pemerintah salah mengambil langkah.


Menuju revolusi industri hijau

Mewakili pembicara kalangan swasta, Anindya Bakrie, Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri, menekankan bahwa Indonesia berkesempatan untuk menjadi penentu kebijakan penanganan iklim global.


Indonesia memiliki seluruh materi yang dibutuhkan untuk memimpin dekarbonisasi. Sumber daya nikel Indonesia adalah nomor 1 di dunia, timah nomor 2 dunia. Kemudian potensi energi terbarukan berkapasitas 500 gigawatt dari solar, panas bumi, angin dan air. Di sekeliling kepulauan ada keanekaragaman hayati yang bisa menyerap CO2 sampai 100 giga ton.


Bagi pengusaha, peluang yang tersaji sudah cukup menjanjikan bagi Indonesia untuk memulai revolusi industri hijau. “Lalu apa yang dapat dilakukan oleh sektor swasta? Banyak sekali. Dimulai dengan cara yang sederhana seperti membuat kendaraan listrik yang ramah emisi,” ujar Anindya yang juga Presiden Komisaris PT VKTR Teknologi Mobilitas.


Sektor transportasi menyumbang 23 persen dari total emisi karbon di Indonesia. Di Jakarta, bus listrik telah mengantarkan 10 juta orang selama 14 bulan dan mengurangi emisi karbon sebesar 5,5 juta ton Co2. Bayangkan seberapa besar emisi karbon yang bisa dikurangi jika seluruh transportasi publik di Indonesia menggunakan kendaraan listrik.


Kedua, menggunakan energi hijau untuk bahan bakar industri hijau. Ini merupakan konsep net zero industrial ecosystem, di mana industri membuat sumber energinya sendiri untuk digunakan bagi kepentingan bisnisnya.


Sebagai contoh, Pulau Sulawesi memiliki cadangan nikel yang besar sekaligus tenaga angin yang potensial sebagai sumber energi. “Dengan teknologi, tenaga angin 5-6 m/s sudah cukup untuk menggerakkan mesin. Di sana kami mencoba untuk membuat pembangkit listrik 1 gigawatt untuk mengolah nikel menjadi baterai.”


Namun, pengusaha tidak bisa sendirian untuk mewujudkan revolusi baru tersebut. Berbagai skema, aturan dan insentif dibutuhkan untuk menjalankan industri yang berkelanjutan.


“Kita semua baik pemerintah, swasta, NGO, akademisi, harus berkolaborasi untuk memanfaatkan peluang kemitraan bukan hanya di tingkat lokal, tapi juga internasional," tutup Anindya.


Indonesia telah memperbarui dokumen enhanced nationally determined contribution (NDC). Hal-hal yang dimutakhirkan di dalam dokumen tersebut adalah peningkatan target NDC 2030 dengan kemampuan sendiri dari 29% ke 31,89%. Kemudian target NDC dengan dukungan internasional dari 41% ke ke 43,20%.


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga telah menyusun roadmap transisi energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil hingga dan membangun lebih banyak lagi sumber energi bersih dan ramah lingkungan.


Poin penting roadmap transisi energi ialah menghentikan operasional 33 unit pembangkit listrik berbahan bakar batubara, serta membangun pembangkit listrik berkapasitas total 600 gigawatt yang berasal dari energi terbarukan sampai tahun 2060. Hingga saat ini, kontribusi energi fosil untuk pembangkit listrik mencapai 87%, sementara energi baru dan terbarukan hanya 11,5%.