Kemensetneg: Agentic AI potensial untuk analisis kebijakan

By Mochamad Azhar

Agentic AI akan mentransformasi cara pemerintah menganalisis kebijakan, guna menghadirkan proses yang lebih cepat, cerdas, dan proaktif dalam merespons dinamika publik.

Agentic AI akan memberikan analisa yang lebih cepat dan cerdas dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. Foto: Canva

Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) akan memanfaatkan potensi agen kecerdasan artifisial (agentic AI) untuk mendukung tugas-tugas analisa kebijakan penyelenggaraan negara secara lebih cepat, akurat, dan antisipatif terhadap dinamika publik.


“Selama ini kegiatan analisis di Kemensetneg dilakukan secara manual. Kini, agentic AI hadir bukan untuk menggantikan manusia, tetapi memperkuat proses pengambilan keputusan,” kata Kepala Badan Teknologi, Data dan Informasi Kemensetneg, Gogor Oko Nurharyoko.


Gogor berbicara pada pidato sambutan webinar bertajuk “Strategi Implementasi Agentic AI di Lingkungan Pemerintah”, 7 Oktober lalu. 


Berbeda dari AI generatif yang hanya menanggapi perintah pengguna, agentic AI mampu bekerja secara mandiri. Teknologi ini bisa memantau berbagai sumber data, memverifikasi informasi, dan menyusun analisis yang lebih kontekstual tanpa instruksi langsung.


Bagi Gogor, agentic AI membuka kemungkinan bagi pemerintah untuk melangkah dari pendekatan kebijakan yang bersifat reaktif menjadi lebih proaktif. Dengan sistem yang mampu membaca pola dan tren secara otomatis, pemerintah dapat menerima laporan yang tidak hanya menggambarkan kondisi saat ini, tetapi juga skenario masa depan.


“Bayangkan jika Presiden menerima analisis yang berisi prediksi dan kemungkinan skenario, kebijakan bisa jauh lebih proaktif dan tepat sasaran,” dia menambahkan. 


Langkah ini merupakan bagian dari ambisi Kemensetneg untuk membangun analisis berbasis bukti dalam tugasnya sebagai lembaga negara yang bertugas memberikan dukungan teknis, administrasi, dan analisis urusan pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menjalankan pemerintahan. 

Analisis real-time yang dibutuhkan Presiden


Menurut Gogor, kemampuan agentic AI akan dimanfaatkan untuk mendukung kerja Presiden yang membutuhkan informasi real-time lintas isu.


Kemensetneg mencontohkan program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Selama ini, laporan pelaksanaan program disusun melalui jalur birokrasi konvensional. Padahal, di media sosial masyarakat sudah mengunggah laporan lapangan hampir setiap jam.


Dengan agentic AI, data dari media sosial dan sumber publik lain dapat disaring dan diolah otomatis, memberikan rekomendasi kebijakan yang relevan dengan kondisi terkini. 


“Kalau kita masih mengandalkan cara lama, hasil analisis bisa tertinggal dari realitas di lapangan,” ujarnya. 


Namun, langkah menuju analisis otomatis belum sepenuhnya mulus. Salah satu tantangan utama adalah digitalisasi data. 


“Teknologi ini bergantung pada data yang sudah terformat digital, sementara sebagian besar dokumen pemerintah masih berbentuk fisik,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa Kemensetneg tengah mendorong digitalisasi arsip, laporan kebijakan, dan dokumentasi kegiatan agar dapat diintegrasikan untuk analisis menyeluruh. 


Berlangganan bulletin GovInsider di sini. 

Fondasi utama adopsi AI di pemerintahan 


Dalam sesi berikutnya, Guru Besar Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Prof Yudho Giri Sucahyo, menekankan tiga fondasi utama yang harus dipenuhi sebelum mengadopsi AI di pemerintahan: kesiapan data, infrastruktur komputasi, dan sumber daya manusia.


“Kalau data, infrastruktur, dan talentanya sudah memadai, barulah kita bicara implementasi,” tegasnya.  


Fondasi data adalah yang terpenting  karena AI tidak dapat bekerja tanpa dukungan data yang kuat. Karena itu, ia menyoroti pentingnya inisiatif Satu Data Indonesia, yang menghubungkan berbagai basis data melalui aplikasi pemrograman antarmuka (API) gateway pemerintah dan menyediakan standar pertukaran data antarinstansi. 


Standar ini, lanjutnya, penting untuk mengklasifikasikan data mana yang bersifat umum, pribadi, atau rahasia – isu yang selama ini kerap menjadi penghambat interoperabilitas. 


Fondasi kedua adalah infrastruktur. Dengan kebutuhan komputasi yang besar, pemerintah membutuhkan pusat data yang kuat dan aman untuk memproses serta melatih model AI. 


Fondasi ketiga adalah peningkatan literasi dan kapasitas sumber daya manusia. Pegawai negeri, katanya, tidak boleh hanya menjadi pengguna pasif teknologi, melainkan juga bagian aktif dalam pengembangan dan pengawasan. 


Untuk memperkuat kapasitas tersebut, perguruan tinggi dan lembaga penelitian siap berperan membangun ekosistem talenta AI nasional.  


“Langkah ini diharapkan memperkuat suplai tenaga ahli di tengah tingginya permintaan terhadap spesialis AI di Indonesia,” tambahnya. 


Universitas Indonesia bahkan berencana membuka program studi AI mulai tahun depan untuk mempercepat pengembangan kompetensi di bidang ini. 

Etika dan kendali manusia tetap utama 


Pada sesi tanya jawab, seorang peserta dari instansi pemerintah menanyakan siapa yang bertanggung jawab apabila agentic AI melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan.  


Prof Yudho menjawab bahwa penting untuk memastikan prinsip human in the loop, di mana AI tidak boleh beroperasi sepenuhnya otomatis tanpa kontrol manusia.


“Manajemen risiko, kerangka hukum, dan pedoman etika menjadi prioritas hampir semua negara di dunia. Indonesia pun akan segera menerbitkan Peraturan Presiden tentang Peta Jalan AI dan Pedoman Etika AI,” jelasnya. 


Menurutnya, etika sama pentingnya dengan kesiapan teknis. Tanpa pengawasan yang kuat, teknologi ini bisa menimbulkan bias, pelanggaran privasi, atau ketimpangan akses.


Pertanyaan lain muncul dari peserta yang menanyakan apakah pemerintah dapat memanfaatkan layanan cloud swasta untuk pemrosesan AI dan bagaimana aspek keamanannya dijamin.


Government Account Lead, AWS Indonesia, Muhamad Yopan, menjawab bahwa kekhawatiran tersebut sering kali disebabkan oleh miskonsepsi.


“Yang penting bukan lokasi datanya, tapi bagaimana security and compliance-nya. Penyedia cloud umumnya lebih siap menghadapi serangan karena memiliki audit dan pembaruan keamanan berkelanjutan,” ujarnya. 


Ia menambahkan bahwa regulasi terbaru dari Kementerian Komunikasi dan Digital kini memperbolehkan data berklasifikasi terbatas untuk diproses di cloud swasta dengan pengawasan ketat, memungkinkan pemerintah berinovasi tanpa mengkhawatirkan aspek keamanan. 


Menutup diskusi, Prof Yudho menekankan pentingnya sinergi kebijakan, birokrasi, dan teknologi. Sering kali masalah bukan di sistem, tapi di mentalitas silo dan kepemimpinan.


“Dalam konteks itu, AI bukanlah ancaman, tapi ujian bagi birokrasi untuk bertransformasi menjadi lebih adaptif dan tepercaya.”