Menteri PANRB dorong birokrasi yang berpusat pada warga
By Mochamad Azhar
Melalui reformasi kebijakan, digitalisasi dan kolaborasi, pemerintah berupaya menghadirkan layanan publik yang tak hanya efisien, tetapi juga berkeadilan dan dipercaya masyarakat.

Menteri PANRB Rini Widyantini berbicara tentang pentingnya mewujudkan birokrasi yang tidak hanya efisien, namun juga berpusat pada kebutuhan warga. Foto: Kementerian PANRB
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Rini Widyantini, menyerukan transformasi birokrasi untuk bergerak ke arah yang lebih humanis, dengan tidak hanya mengedepankan tata kelola yang lebih efisien namun pelayanan dan kepercayaan sebagai ujung tombaknya.
“Birokrasi harus adaptif, terbuka, dan berorientasi pada kebutuhan warga,” ujar Rini dalam program kursus internasional “Building a Resilient and Innovative Indonesia” pada 27 Oktober di Universitas Bakrie, Jakarta.
Menurut Rini, membangun birokrasi yang berpusat pada masyarakat harus dimulai dari perubahan cara pandang pemerintah terhadap masyarakat itu sendiri, dari yang sebelumnya diposisikan sebagai objek penerima layanan menjadi mitra aktif dalam perumusan dan evaluasi kebijakan.
Perubahan ini, lanjutnya, harus dimulai dari tiga hal utama: reformasi kebijakan, digitalisasi layanan publik, dan kolaborasi di antara komunitas aparatur sipil negara (ASN).
Dalam aspek reformasi kebijakan, setiap kebijakan publik perlu disusun berdasarkan kajian berbasis data, diperkuat dengan kemampuan analitik melalui policy intelligence platform, dan disaring lewat fungsi clearing house agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan, kata Rini.
Ia juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat melalui pendekatan co-design dan co-creation agar kebijakan lebih kontekstual dan inklusif.
Dengan birokrasi yang partisipatif dan berbasis data, pemerintah berharap dapat menciptakan sistem pelayanan publik yang tidak hanya efisien, tetapi juga bermakna.
“Kami ingin masyarakat tidak hanya menerima layanan yang baik, tetapi juga merasa dihargai sebagai warga negara yang memiliki hak atas pelayanan publik yang bermartabat,” ujarnya.
Digitalisasi sebagai fondasi kepercayaan publik
Menurut Rini, digitalisasi bukan sekadar penerapan teknologi, melainkan transformasi menyeluruh yang mencakup perbaikan struktur organisasi, penguatan sumber daya manusia, pembentukan budaya kerja baru, hingga peningkatan keamanan siber.
Lebih jauh, digitalisasi birokrasi harus diarahkan untuk membangun kepercayaan publik melalui tata kelola yang terintegrasi, transparan dan “bukan dengan menambah jumlah aplikasi”.
“Pemerintah digital bukan proyek teknologi, tapi upaya menyatukan seluruh sistem agar masyarakat mendapatkan layanan yang benar-benar relevan dengan kebutuhannya,” ia menambahkan.
Rini juga menggarisbawahi bahwa pemerintah melalui kerja sama antarlembaga tengah mengembangkan Infrastruktur Publik Digital (Digital Public Infrastructure/DPI) yang mencakup digital ID, pertukaran data, dan pembayaran digital, sebagai tiga fondasi utama untuk membangun keterpaduan layanan publik di masa depan.
Menurut Rini, setiap isu pembangunan lintas instansi seperti pemenuhan gizi nasional atau koperasi desa, dikerjakan melalui proses bisnis tematik dan dikelola secara terpadu dengan pembagian peran yang jelas dan terukur.
Pendekatan baru ini menegaskan bahwa kebijakan publik idealnya tidak hanya lahir dari prosedur administratif, tetapi juga dari pemahaman mendalam terhadap kebutuhan masyarakat.
Dengan melibatkan partisipasi masyarakat di dalam setiap prosesnya, langkah ini diharapkan dapat menciptakan layanan publik yang cepat, dapat dipercaya, sekaligus memperkuat rasa kepemilikan masyarakat terhadap kebijakan publik, tambah Rini.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Dari ego-system menuju eco-system
Bagi Menteri Rini, kunci dari transformasi birokrasi adalah kolaborasi, terutama dalam pengembangan kompetensi ASN. Ia menilai pengembangan kapasitas aparatur tidak bisa lagi dilakukan secara eksklusif di lingkup birokrasi.
Ia menekankan pentingnya birokrasi “bergeser dari ‘ego-system’ menuju ‘eco-system’ di mana pemerintah, dunia usaha, akademisi, media, dan komunitas berkolaborasi dalam satu ekosistem pembelajaran”.
“Melalui kolaborasi, kita memperkaya perspektif dan menyiapkan talenta ASN yang siap menghadapi tantangan masa depan,” tambahnya.
Pendekatan kolaboratif ini juga ingin diangkat ke dalam inti penyelenggaraan layanan publik di mana “kinerja pemerintah harus bergeser dari orientasi individu atau institusi menuju hasil bersama (shared outcome)”.
Melalui penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (SAKP) sebagai tolok ukur efektivitas kebijakan, fokus keberhasilan kini tidak lagi diukur dari pencapaian masing-masing instansi, melainkan dari sinergi lintas kementerian dan lembaga untuk mencapai target pembangunan nasional secara kolektif.
“Kami ingin memastikan setiap kementerian bergerak dalam satu arah, satu irama, dan satu tujuan,” dia menekankan.
Mengatasi hambatan-hambatan transformasi
Dalam satu tahun terakhir, upaya reformasi layanan publik yang didorong kementerian telah mencatat kinerja positif, yang ditunjukkan dengan meningkatnya skor Indeks Pelayanan Publik (IPP) ke angka 4,02 (kategori sangat baik) dan skor Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang mencapai 88,9.
Meski demikian, masih ada sejumlah tantangan yang perlu diatasi agar transformasi birokrasi benar-benar terwujud.
Pertama, ketimpangan kapasitas daerah. Meski kebijakan pusat terus diperkuat, implementasi di daerah masih terbentur keterbatasan sumber daya manusia, infrastruktur digital, dan budaya kerja yang masih kaku.
Kedua, perubahan mindset aparatur. Transformasi birokrasi menuntut perubahan dari “pelayanan berdasarkan prosedur” menjadi “pelayanan berdasarkan kebutuhan warga”.
Kedua tantangan ini membutuhkan solusi berupa penguatan kapasitas ASN melalui pelatihan berkelanjutan, pengembangan sistem monitoring, serta insentif yang tepat.
Ketiga, koordinasi lintas lembaga dan sektor. Layanan publik sering kali melibatkan banyak instansi, sehingga sinergi antara pusat dan daerah, antar sektor, serta dengan masyarakat sipil menjadi kunci agar birokrasi benar-benar berpusat pada masyarakat.
Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, visi birokrasi yang humanis dapat terwujud secara nyata di seluruh Indonesia.