Strategi AI Indonesia: Menyeimbangkan inovasi dan regulasi
Oleh Mochamad Azhar
Di tengah inovasi kecerdasan artifisial (AI) global yang semakin cepat, Indonesia mengambil posisi untuk menyeimbangkan antara inovasi dengan regulasi.

Indonesia mengambil langkah menjaga menyeimbangkan antara inovasi dan regulasi dalam strategi AI nasionalnya. Foto: Kementerian Komunikasi dan Digital
Ketika Albania menunjuk program kecerdasan artifisial (AI) sebagai menteri dan Uni Emirat Arab menempatkan AI sebagai pengambil keputusan strategis di perusahaan hingga penyusunan undang-undang hukum, dunia seolah melompat ke babak baru hubungan antara manusia dengan mesin.
Di panggung global, diskusi tentang AI generatif (GenAI) sudah bergeser cepat menuju physical AI, sebuah kombinasi antara model AI dengan robotika.
Menyadari begitu cepatnya perkembangan AI, tidak ada pilihan bagi Indonesia selain mengambil langkah dan ikut bergerak, kata Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria.
Menurut Nezar, strategi pengembangan AI nasional ke depan akan berpijak pada fondasi “menjaga keseimbangan antara inovasi dan regulasi”, dengan memastikan segala risiko AI dapat diatasi.
“Indonesia tidak sekadar ingin sekadar mengadopsi, tetapi juga sebagai pembentuk ekosistem AI yang etis, inklusif, dan bermartabat,” dia menambahkan.
Nezar berbicara arah pengembangan AI nasional saat menyampaikan government keynote di acara AI Innovation Summit 2025 yang diselenggarakan oleh Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) pada 16 September di Jakarta.
Menurut Nezar, upaya menyeimbangkan inovasi dan regulasi juga telah dilakukan negara-negara maju. Uni Eropa telah meluncurkan AI Act yang menekankan regulasi berbasis risiko, Amerika Serikat mengeluarkan Executive Order yang menekankan transparansi dan keamanan, sementara Tiongkok bergerak cepat dengan regulasi ketat atas GenAI.
“Kami ingin mengambil praktik-praktik terbaik yang ada di berbagai tempat, agar manfaat inovasi AI dapat rasakan dengan lebih cepat,” tandasnya.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini
AI yang berpusat pada manusia
Indonesia tengah memfinalisasi Peta Jalan AI Nasional, yang menurut Nezar bukan sekadar dokumen teknis, melainkan kompas moral dan strategis dalam menentukan arah perjalanan AI nasional.
“Peta jalan ini adalah panduan untuk mengembangkan AI yang human-centric,” jelasnya seraya menambahkan prinsip tersebut mencakup martabat, keadilan, akuntabilitas, perlindungan data pribadi, transparansi, keamanan, keberlanjutan, integritas, inklusivitas, hingga keterlibatan manusia dalam setiap keputusan.
Buku putih peta jalan AI disusun dengan melibatkan pemerintah, industri, akademisi, masyarakat sipil dan merupakan “tim kerja terbesar yang pernah dibuat oleh Kementerian Komdigi” dan saat ini sudah diedarkan secara luas untuk mendapatkan masukan publik.
Menurut Nezar, fokus utama peta jalan diarahkan pada pengembangan use case strategis AI dalam lima tahun ke depan yang meliputi ketahanan pangan, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan keuangan, serta reformasi birokrasi.
Dalam dokumen itu, penguatan riset dan pengembangan juga menjadi fokus utama.
Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto telah menargetkan peningkatan investasi riset dan pengembangan hingga 1 persen dari PDB, naik dari tahun sebelumnya yang berkisar di angka 0,4 persen.
“Semoga kita bisa mencapainya sehingga lebih banyak dana riset diarahkan untuk inovasi teknologi terbaru termasuk AI,” kata Nezar.
Ia juga menyoroti pentingnya kualitas data dan interoperabilitas data lintas sektoral untuk mendukung use case AI strategis.
“Data yang bagus adalah kritikal untuk bisa dikelola menjadi produk-produk AI nantinya,” ujar Nezar, seraya menambahkan pentingnya dukungan terhadap inisiatif Satu Data Indonesia sebagai fondasi integrasi data lintas kementerian.
Integrasi strategis, bukan sekadar adopsi
Berbicara pada sesi keynote yang lain, Direktur Jenderal Ekosistem Digital Kementerian Komunikasi dan Digital, Edwin Hidayat Abdullah, menambahkan bahwa “adopsi” saja tidak cukup.
“Kita ingin adanya integrasi strategis karena AI akan menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, mau tidak mau,” katanya.
Edwin menyoroti besarnya potensi ekonomi AI terhadap ekonomi nasional. Ia mengutip analisis Statista Market Insight yang menyebutkan kontribusi AI pada pertumbuhan ekonomi Indonesia naik dari 0,22 persen pada 2022 menjadi 1,09 persen di 2025, dan dalam skenario optimis bisa mencapai 3,67 persen pada 2030.
“Bayangkan lebih dari 3,6 persen (setara Rp1.200 triliun) pertambahan pertumbuhan ekonomi nasional per tahun hanya dari AI. Dana sebesar itu bisa kita alokasikan untuk membangun sekolah, rumah sakit, jalan, jembatan dan lainnya,” jelas Edwin.
Meski begitu, ada pekerjaan rumah besar untuk mewujudkan integrasi strategis AI di mana terdapat “kesenjangan antara kecepatan menerima teknologi dengan kemampuan kita menguasai teknologi tersebut”.
Di dalam peta jalan AI nasional, pemerintah akan berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mencapai target 100.000 talenta AI setiap tahun.
Tantangan infrastruktur AI
Tantangan lainnya bersifat teknis. Indonesia membutuhkan fondasi infrastruktur seperti National Data Center Hub, compute backbone berbasis high-performance computing (HPC), cloud, GPU, TPU cluster, yang kesemuanya harus saling terhubung melalui konektivitas yang andal: bandwidth yang tinggi dan latency rendah.
Tanpa itu, layanan AI real time seperti telemedicine, sistem kendali otomatis, hingga prediksi bencana tidak akan optimal.
Energi pun menjadi faktor penentu karena AI membutuhkan daya dalam jumlah besar dan harus datang dari sumber yang ramah lingkungan.
Di atas semua itu, ada satu syarat transparansi, tambah Edwin, adalah syarat mutlak. “Tanpa kepercayaan tidak ada adopsi yang berkelanjutan,” ujarnya.
