GovTech Edu tentang membangun ekosistem tech yang citizen-centric dan GovTech ideal

By Mochamad Azhar

Ibrahim Arief dari GovTech Edu bercerita tentang bagaimana merancang sebuah produk teknologi yang berorientasi pada kebutuhan pengguna.

Pemerintahan digital di Indonesia dinilai harus bertujuan pada bagaimana memberikan pelayanan yang berorientasi pada warga negara (citizen-centric) dan memiliki skalabilitas teknologi yang baik. Foto: Canva

Pemerintah Indonesia telah menerbitkan peraturan tentang penyusunan 9 aplikasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) prioritas melalui Peraturan Presiden Nomor 82/2023 tentang Percepatan Transformasi Digital dan Keterpaduan Layanan Digital Nasional.  

 

Peruri telah ditunjuk sebagai pelaksana organisasi GovTech yang dinamai Presiden Joko Widodo sebagai “INA Digital” dan akan diluncurkan secara resmi dalam waktu dekat

 

Bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), GovTech Edu telah mengembangkan produk-produk teknologi yang mampu mendorong proses transformasi pendidikan.  

 

GovInsider mewawancarai Ibrahim Arief, Chief Technology Officer GovTech Edu, tentang bagaimana teknologi yang berpusat pada warga negara menjadi faktor kunci kelangsungan sebuah aplikasi layanan publik, desain GovTech yang ideal untuk Indonesia, dan harapan tentang pemerintahan digital Indonesia di masa depan. 

Berdasarkan Perpres 82/2023, setiap aplikasi layanan publik harus terintegrasi. Bagaimana proses integrasi yang dilakukan di sektor pendidikan? 

Sebenarnya beberapa platform yang dikembangkan saat ini seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM), Rapor Pendidikan (platform yang digunakan guru dan sekolah untuk mengevaluasi sistem pembelajaran dengan tujuan menyempurnakan kualitas), dan ARKAS (aplikasi yang digunakan pengurus satuan pendidikan untuk  menyusun rencana anggaran pendidikan), sudah terintegrasi karena berada di dalam satu ekosistem teknologi yang sama, yakni sektor pendidikan.

 
Ibrahim Arief, CTO GovTech Edu, menekankan aplikasi-aplikasi teknologi pendidikan harus didesain secara terintegrasi di dalam satu ekosistem yang sama untuk meningkatkan pengalaman pengguna. Foto: GovTech Edu

Ketiganya saling terintegrasi baik dari segi aplikasi, pengalaman pengguna, hingga pemanfaatan data. 

 

Ambil contoh PMM sebagai wadah pembelajaran dan peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan dan Platform Rapor Pendidikan yang bertujuan untuk mendapatkan umpan balik dari para pemangku sektor pendidikan dalam meningkatkan kapasitas sekolah-sekolah.

 

Kalau keduanya dianggap sebagai platform yang berdiri sendiri-sendiri, pengalaman yang didapatkan oleh guru-guru dari kedua platform tersebut akan terpisah. Nyatanya, pengalaman ini menjadi suatu kesatuan.  

 

Di dalam platform Rapor Pendidikan, ketika skor numerasi suatu sekolah kurang, maka guru bersangkutan akan direkomendasikan untuk mengambil pelatihan yang terdapat di dalam PMM.  

 

Lewat integrasi antar-platform ini, experience seorang guru tak hanya ditentukan fungsi-fungsi individualnya sebagai pengajar maupun pengurus sekolah, melainkan mendapat pengalaman lebih lengkap dan berkelanjutan. 

Apakah ada rencana membuat satu superapp pendidikan? 

Superapp bukan berarti menyatukan semua fungsi di dalam satu aplikasi yang sama. Yang terpenting adalah fungsi-fungsi itu secara teknologi berada di dalam satu ekosistem yang sama. Tinggal kita sajikan interaksi antar muka yang paling cocok untuk masing-masing aplikasi tersebut. 

 

Kita juga perlu mengetahui apa yang menjadi kebutuhan pengguna dan seperti apa bentuk interaksi pengguna sebelum merancang aplikasi. Tidak semua kebutuhan pengguna itu sama.  

 

Pada aplikasi ARKAS, pengguna diharuskan melakukan input data dan memasukkan perencanaan anggaran sekolah ke dalam sistem. Hal ini tentunya lebih mudah dilakukan melalui aplikasi di desktop ketimbang ponsel pintar mengingat banyaknya lembar yang harus diisi. 

 

Hal yang sama juga berlaku di PMM di mana interaksi pengguna difokuskan pada fungsi-fungsi guru sebagai pengajar. Fitur-fitur yang terdapat di dalam PMM seperti pembelajaran, pelatihan, komunitas belajar, dan bukti karya, akan lebih mudah diakses guru melalui aplikasi di ponsel pintar.

 

Meski antarmuka kedua aplikasi berbeda, di belakangnya layer terjadi integrasi teknologi dan data dalam satu ekosistem, sehingga memungkinkan perencanaan kinerja di PMM menjadi data masukan bagi penggunaan anggaran sekolah di ARKAS.

Bagaimana tanggapan anda atas pembentukan GovTech Indonesia? 

Kami sangat mengapresiasi kehadiran GovTech Indonesia dan melihat ini sebagai cara pemerintah untuk fokus pada bagaimana menciptakan ekosistem teknologi yang komprehensif, terintegrasi, dan berkualitas.

 

Semua usaha yang telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir akan mendapatkan dukungan yang lebih kuat dan menghasilkan dampak yang lebih signifikan. 

Apa bayangan anda tentang GovTech ideal yang cocok diterapkan di Indonesia? 

Kita bisa mengacu pada GovTech Singapura di mana mereka memiliki lebih dari 4.000 karyawan yang bertugas melayani sekitar 6 juta jiwa dan ditunjang dengan infrastruktur digital yang sudah relatif baik.

 

Namun, Indonesia berbeda dengan Singapura. Ada beberapa tantangan yang harus diatasi terlebih dahulu terutama di masalah infrastruktur digital.

 

Di GovTech Edu, kami merancang aplikasi yang sebisa mungkin mampu mengakomodasi pengguna yang tinggal di daerah yang koneksi internetnya rendah. Aplikasi-aplikasi kami didesain agar berkapasitas 5-6 megabytes, jauh dari aplikasi-aplikasi e-commerce yang bisa mencapai 100 megabytes, demi memudahkan pengguna yang ingin mengunduh dan melakukan instalasi.

 

GovTech Indonesia juga harus memiliki skalabilitas teknologi yang jauh lebih baik dari Singapura, mengingat jumlah pengguna aplikasi di Indonesia puluhan kali lebih banyak dibanding Singapura. Sistem harus elastis agar mampu menopang beban tinggi pada saat terjadi traffic.

 

Selain itu, GovTech Indonesia juga harus fokus pada bagaimana memberikan pelayanan yang dapat diakses oleh seluruh warga negara. Penduduk yang paling membutuhkan pelayanan ialah mereka yang tinggal di daerah terpencil. Kita harus berupaya seoptimal mungkin untuk menyediakan infrastruktur yang memadai di daerah tersebut. 

Apa model yang tepat untuk Indonesia? 

Berdasarkan pengalaman kami di GovTech Edu, ada dua model fleksibel yang dapat kami tawarkan dan kolaborasikan dengan stakeholders sektor publik. Pertama adalah model di mana pemerintah membentuk tim pengembang sendiri untuk melakukan rancangan, riset, implementasi, roll out hingga pengembangan lebih lanjut.

 

Model yang kedua adalah pemerintah telah memiliki tim pengembangnya sendiri dan kami dapat memberikan advisory service agar sistem bekerja lebih baik lagi. Model yang kedua ini juga dilakukan oleh GovTech di berbagai negara. 

Apa harapan anda terhadap pemerintahan digital Indonesia di masa depan? 

Satu benang merah yang mengikat kami dalam proses transformasi digital ialah bagaimana menghadirkan pelayanan yang berorientasi pada warga negara (citizen-centric).  

 

Berdasarkan pengalaman kita membangun teknologi di sektor swasta maupun di Kemendikbudristek, banyak sekali ide peningkatan skala sistem datang dari observasi pengalaman pengguna. Prinsip iteratif ini dilakukan secara berkala dan terus menerus sehingga menghasilkan produk yang benar-benar bermanfaat bagi pengguna. 

 

Harapan saya, prinsip ini diadopsi dalam menyusun GovTech Indonesia ke depan, sehingga semua umpan balik dari pengguna dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas teknologi pemerintahan.




Berlangganan Bulletin GovInsider untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai inovasi sektor publik.