Catatan perjalanan pemerintah digital Indonesia
Oleh Mochamad Azhar
Di edisi spesial 10 tahun GovInsider, kami memotret bagaimana usaha pemerintah Indonesia membangun sistem pemerintahan digitalnya untuk mencapai layanan publik yang lebih terintegrasi, inklusif, dan berkelanjutan.

Dalam kurun 10 tahun terakhir, lanskap pemerintah digital Indonesia kerap berkutat dengan kompleksitas birokrasi, perubahan kebijakan, dan keberlanjutan. Foto: Canva
Perjalanan transformasi digital Indonesia menunjukkan satu pelajaran penting: euforia teknologi saja tidak cukup. Tanpa tata kelola yang adaptif, komitmen lintas sektor, serta kepercayaan publik terhadap keamanan dan manfaat layanan digital, progres akan terus berjalan lambat dan terfragmentasi.
Lanskap pemerintah digital Indonesia selama satu dekade terakhir Indonesia masih berkutat pada pertanyaan mendasar: apa cara yang paling efektif dalam menyediakan layanan publik yang mudah diakses, inklusif dan berkelanjutan.
Meskipun berbagai upaya pemerintah telah dilaksanakan untuk mewujudkan itu, namun implementasinya tidaklah semulus yang dibayangkan.
“Digitalisasi” sempat menjadi kata kunci semua lembaga pemerintah dalam satu dekade terakhir. Masing-masing kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah berlomba mengembangkan aplikasi digitalnya sendiri.
Fenomena “latah aplikasi” ini menjadi bumerang di kemudian hari. Pada 2022, terdapat 27.000 aplikasi yang sebagian besar memiliki fungsi tumpang tindih dan tidak saling terhubung satu sama lain (interoperable).
Hasilnya, warga kebingungan memilih aplikasi dan menginput data berulang hanya untuk berakhir dengan keluh kesah sebab tidak semua aplikasi tersebut dapat diakses secara real-time.
Salah satu yang menonjol hanyalah aplikasi PeduliLindungi, sebuah platform yang mengintegrasikan data vaksinasi dan sistem pelacakan berbasis geotagging, digunakan lebih dari 60 juta orang – meski capaian ini lebih dipengaruhi “paksaan” akibat pandemi.
Platform digital terpadu
Untuk mengatasi berbagai kerumitan, pemerintah kemudian mengubah pendekatan ke platform digital terpadu yang bersifat menyeluruh dan terpusat dengan konsep one stop services.
Di tahun terakhirnya memerintah, Presiden Joko Widodo meluncurkan INA Digital sebagai GovTech yang akan memimpin integrasi layanan pemerintah sekaligus memecahkan masalah klasik: sistem yang terfragmentasi, input data pengguna yang berulang, hingga pemeliharaan aplikasi yang tidak efisien.
Platform ini terdiri dari tiga pilar: INA Pass (single sign-on nasional), INA Ku (portal layanan publik esensial), dan INA Gov (portal layanan khusus pemerintah).
Proyek ini disiapkan sebagai puncak pencapaian sistem pemerintahan digital negara ini dan menjadi salah satu warisan Presiden Joko Widodo selama tahun membenahi tata kelola pemerintah digital.
Sayangnya, setelah dua kali uji coba di akhir 2024 – bersamaan dengan masa transisi kepemimpinan – Implementasi (roll out) nasional belum kunjung terjadi.
Hal ini lagi-lagi memberikan pelajaran. Tanpa menyelesaikan terlebih dahulu kompleksitas birokrasi, kesenjangan infrastruktur digital antarwilayah, dan komitmen pimpinan negara untuk keberlanjutan proyek, implementasi penuh sulit dicapai dalam waktu singkat.
Berlangganan bulletin GovInsider di sini.
Pergeseran ke pendekatan use case
Transisi kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto membawa arah baru. Dalam berbagai pidatonya, Presiden Prabowo mengatakan digitalisasi diarahkan untuk memperkuat postur penerimaan dan belanja negara yang lebih efisien, sekaligus mendukung program-program populisnya.
Setelah melalui berbagai penyesuaian, strategi kini bergeser ke pendekatan use case dengan berangkat dari kebutuhan konkret warga (citizen-centric), bukan lagi sekedar membangun sistem besar (system-centric).
Use case pertama yang diujicobakan adalah program perlindungan sosial (Perlinsos), yang merupakan program prioritas pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial rutin kepada penduduk berpendapatan rendah yang memenuhi syarat.
Perlinsos menggunakan fondasi infrastruktur publik digital (DPI) – mulai dari digital ID Dukcapil hingga interoperabilitas data sosial ekonomi – untuk memastikan penyaluran bantuan lebih tepat sasaran, transparan dan akuntabel.
Pilot project ini sedang berjalan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Jika berhasil, pendekatan ini akan direplikasi untuk program-program prioritas lainnya.
Dengan menjadikan program yang mendapatkan sorotan luas publik sebagai etalase, pemerintah ingin mengunci komitmen lembaga yang terlibat dan memastikan kerja sama lintas sektor berjalan mulus.
Membangun kepercayaan publik
Kepercayaan publik adalah pilar utama pemerintah digital yang efektif. Negara-negara seperti Singapura, Estonia, dan Denmark meraih indeks e-government tertinggi karena warganya percaya bahwa data mereka aman, layanan berguna, dan suara mereka didengar.
Indonesia masih menghadapi tantangan besar pada aspek-aspek ini.
Serangan ransomware ke Pusat Data Nasional (PDN) Sementara tahun lalu menegaskan urgensi pengesahan Rancangan Undang-Undang Keamanan Siber, di samping mempercepat pembentukan badan pelaksana perlindungan data pribadi yang sudah tertunda tiga tahun lamanya.
Selain keamanan, manfaat nyata bagi warga dan sejauh mana mereka dilibatkan dalam proses kebijakan akan menentukan tingkat adopsi.
Ambil contoh program digital ID nasional, Identitas Kependudukan Digital (IKD). Warga harus mendapatkan penjelasan yang komprehensif tentang apa manfaat nyata beralih ke digital ID, ketika penggunaan KTP fisik sudah cukup bagi mereka untuk mengakses layanan-layanan esensial.
Tanpa jawaban yang jelas, tingkat adopsi akan stagnan di kisaran 20 juta pengguna atau 10 persen dari total pemilik KTP.
Dengan menjamin keamanan data dan memperkaya fitur-fiturnya, angka itu berpotensi meningkat signifikan.
Situasi tersebut serupa dengan yang terjadi di Malaysia, di mana MyDigital ID baru diadopsi 2,2 juta orang dari total 20 juta pemilik MyKad.
Dengan kondisi geografis yang luas, kesenjangan digital yang tinggi, dan kompleksitas birokrasi, perjalanan pemerintah digital Indonesia tidak akan pernah ideal.
Saat ini adalah momentum yang tepat untuk menata ulang fondasi tata kelola, memperkuat kepercayaan publik, serta memastikan setiap inisiatif digital benar-benar menjawab kebutuhan nyata warga.
Hanya dengan cara itu transformasi digital dapat menjadi alat perubahan yang inklusif, berkelanjutan, dan relevan bagi seluruh lapisan masyarakat.
